AGAR OTONOMI TAK JADI LADANG KORUPSI

Political turbulance pada tahun 1998 yang ditandai dengan lengsernya Jendral Soeharto dari kursi kepersidenan, dan berberakhirnya romansa 32 tahun masa pemerintahan orde baru, didasari oleh semangat untuk melahirkan suatu era baru yang demokratis, bebas dari korupsi dan didasari semangat perubahan ke arah yang lebih baik (Reformasi).

Hadirnya UU No.22 tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah serta UU No.21 Tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No.33 Tahun 2004 tetang Perimbangan Keuangan Pusat dan daerah, telah membawa arus balik kekuasaan pemerintahan yang semula locus nya berada pada pemerintahan pusat (sentralisitik) kini mengucur kepada pemerintah Provisi serta Kabupaten/Kota (desentralistik), melalui asas desentralisai, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Yang menjadi "sexy" untuk kita bahas pada kali ini adalah, mengenai kebijakan desentralisai, khususnya dibidang fiskal. Desentralisasi fiskal adalah pelimpahan kewenangan di bidang fiskal (penerimaan dan pengeluaran) dari level pemerintahan yang lebih tinggi kepada  level pemerintah yang lebih rendah. Hal ini berarti uang yang biasanya hanya beredar pada level pemerintah pusat kini peredarannya sudah mengucur pada level pemerintah daerah, mulai dari proses pengumpulan sumber-sumber pendapatan, budgeting APBD, sampai pelaksanaan program dan kegiatan.

Secara teoritis dapat dikatakam bahwa dengan desentralisasi, maka pemerintah daerah akan lebih dekat kepada masyarakat (their constituent), sehingga pemerintah daerah diharapkan dapat memahami kebutuhan dan keinginan masyarakat lokal (local needs and local prefereces). Dengan demikian diharapkan  dapat terwujudnya peningkatan pelayanan publik kepada masyarakat lokal, efisiensi sektor publik dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Namun, otonomi daerah yang diharapkan mampu menjadi jalan emas (golden way) untuk mendekatkan negara (sate) kepada masyarakat (society) sehingga diantara keduanya terjadi interaksi yang dinamis dan harmonis, yang berimplikasi pada tercapainya percepatan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan, ternyata menciptakan penyakit baru, yaitu munculnya praktek "desentralisasi korupsi".

Di masa Orde Baru korupsi dilakukan setelah kebijakan dan realisasi anggaran berjalan, namun saat ini sejak perundang-undangan atau kebijakan pemerintah dibahas saja sudah menimbulkan korupsi, dan saat pelaksanaan. Tentu bisa dibayangkan, seperti apa realisasinya, tinggal berapa sisa anggaran yang real sampai pada sasaran?.

Solusinya, Agar otonomi daerah yang dapat kita nikmati sekarang ini semakin optimal dan penyelenggaraanya terbebas dari praktek KKN, diperlukan upaya yang serius dari berbagai pihak. Ada beberapa solusi yang kami ajukan:
  • Dibutuhkannya jaminan sistem akuntansi publik, transparansi dan tersedianya informasi keuagan dan pembangunan daerah yang memadai sehingga memungkinkan masyarakat untuk memantau kinerja aparat Pemda, sehingga memungkinkan masyarakat kita untuk merespon secara proporsional terhadap kinerja Pemda. Lingkungan ini dapat membuat aparat daerah dan DPRD lebih responsif terhadap asirasi masyarakat dan hilangnya celah untuk melakukan korupsi.
  • Instrumen desentralisasi utamanya aspek peraturan perundang-undangan, yang mendukung tegaknya rule of law, penegakan hukum yang adil dan tepat harus dipertajam dan dipertegas.
  • Fungsi pengawas internal (Inspektorat) dan pengawas eksternal (BPK) musti diperjelas, diperkokoh, dan dipertajam.
  • Penanaman nilai-nilai integritas dan peningkatan sumber daya aparatur pemerintahan. Karena beberapa kasus korupsi motivnya tidak hanya mengeruk keuntungan pribadi, tetapi terkadang karena kurangnya penguasaan terhadap peraturan perundang-undangan dibidang keuangan, yang berimplikasi  kepada kerugian negara.
  • Meningkatkan social control, dengan menghidupkan kembali nilai-nilai dan norma yang berlaku ditengah masyarakah. Perkokoh lagi peran lembaga adat untuk dapat menanamkan doktrin dan nilai-nilai anti korupsi kepada generasi muda. Karena cara terampuh membasmi korupsi ialah penanaman paradigma dan budaya pada generasi muda.
Kita tentu saja harus memiliki ekspektasi positif terhadap masa depan pemerintahan kita. Mari bahu membahu untuk berperan aktif dalam mengoptimalisaisaikan otonomi daerah yang dahulu sudah susah-susah kita perjuangkan, agar otonomi tidak sekedar menjadi ladang baru tumbuh liarnya korupsi. (ZA)

0 comments: