MEMAHAMI INFLASI: PENGERTIAN DAN METODE PENARGETAN

INFLASI



“Inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus.”

Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Kebalikan dari inflasi disebut deflasi.
Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat.
Indikator inflasi lainnya berdasarkan international best practice antara lain:
  1. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). Harga Perdagangan Besar dari suatu komoditas ialah harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama atas suatu komoditas. [Penjelasan lebih detail mengenai IHPB dapat dilihat pada web site Badan Pusat Statistik www.bps.go.id]
  2. Deflator Produk Domestik Bruto (PDB) menggambarkan pengukuran level harga barang akhir (final goods) dan jasa yang diproduksi di dalam suatu ekonomi (negeri). Deflator PDB dihasilkan dengan membagi PDB atas dasar harga nominal dengan PDB atas dasar harga konstan.


Pengelompokan Inflasi
Inflasi yang diukur dengan IHK di Indonesia dikelompokan ke dalam 7 kelompok pengeluaran (berdasarkan the Classification of individual consumption by purpose - COICOP), yaitu :
  1. Kelompok Bahan Makanan
  2. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau
  3. Kelompok Perumahan
  4. Kelompok Sandang
  5. Kelompok Kesehatan
  6. Kelompok Pendidikan dan Olah Raga
  7. Kelompok Transportasi dan Komunikasi.

PENARGETAN INFLASI
Pencapaian target inflasi yang rendah merupakan agenda besar yang saat ini sedang dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Target ini tentunya tidak terlepas dari strategi kebijakan moneter baru yang saat ini sedang diimplementasikan oleh Bank Sentral yaitu Inflation Targeting (IT).
Krisis keuangan dan moneter dimulai pada tahun 1997 banyak mendorong reformasi di bidang ekonomi, termasuk reformasi dalam strategi kebijakan moneter yang diarahkan untuk pelaksanaan pencapaian target stabilitas harga. Peralihan strategi kebijakan moneter IT ini diemban menggantikan amanat-amanat lama yang kurang realistis untuk diemban oleh otoritas moneter, seperti: pencapaian target pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran, dll. Hal ini tentu sangat terkait secara teoritis bahwa dalam jangka panjang, peningkatan jumlah uang beredar hanya berpengaruh pada peningkatan harga. Sehingga ranah Inflasi inilah yang dianggap sangat relevan untuk diemban oleh BI tentu didasarkan dengan instrumen-instrumen yang dimiliki oleh BI.
Secara umum ada beberapa karakterisitik yang harus diemban bank sentral jika menerapkan kebijakan IT, antara lain :
  1. Adanya publikasi mengenai target inflasi kedepan pada publik.
  2. Adanya komitmen untuk menjaga stabilitas harga sebagai tujuan utama kebijakan moneter.
  3. Penggunaan information inclusive strategy, yang mana banyak variabel-variabel, tidak hanya variabel moneter, digunakan sebagai informasi dalam implementasi IT.
  4. Peningkatan transparansi strategi kebijakan moneter
  5. Peningkatan akuntabilitas dari bank sentral tentang pencapaian tujuan IT. (Mishkin, 2000)

Pemilihan strategi kebijakan IT tentu juga tidak terlepas dari beberapa Negara-negara maju yang lebih dulu sukses mengimplementasikan kebijakan ini. Namun tentunya tidak bisa ditelan mentah bagi Negara-negara lain yang ingin mengimplementasikan kebijakan IT, hal ini disebabkan karena ada perbedaan mendasar antara Negara maju dan berkembang. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain :
  1. Lemahnya institusi fiskal di Negara berkembang
  2. Lemahnya institusi dan sistem keuangan, termasuk regulasi dalam implementasi prinsip kehati hatian dan supervisi bank
  3. Rendahnya kredibilitas institusi moneter, dalam hal ini bank sentral
  4. Currency  substitution and liability dollarization
  5. Negara berkembang sangat rentan terhadap sudden stop khususnya dalam keluar masuk modal. (Mishkin, 2000)
Keadaan inilah yang secara umum mempertanyakan kembali apakah negara berkembang termasuk Indonesia relevan dalam mengimplementasikan strategi moneter.
Pemilihan target inflasi (IT) didasari oleh rasional bahwa inflasi yang rendah akan mendorong pencapaian stabilitas makroekonomi yang kuat. Selain itu, kebijakan IT juga sangat mudah difahami oleh masyarakat dan sangat transparan karena adanya sosialiasi rutin dari bank sentral untuk menjelaskan keadaan ekonomi dan strategi moneter kedepan.
Disisi lain, strategi kebijakan IT juga mendorong peningkatan independensi BI yang diyakini akan mengurangi kemungkinan jatuhnya bank sentral dalam keadaan ”Time inconsistency trap”. Dimana salah satu sumbernya berasal dari political pressure dari pemerintah yang menekan bank sental untuk melakukan kebijakan yang terlalu ekspansif (overly expansionary). Kebijakan ini biasanya dilakukan untuk menstimulasi perekonomian, karena kebijakan moneter ekspansif (ex: peningkatan jumlah uang beredar) dianggap dapat menurunkan suku bunga, yang pada akhirnya dapat mendongkrak investasi dan output. Meski perlu disadari juga, kebijakan ini beresiko pada terjadinya inflasi yang tinggi. Oleh karena itu mengapa optimalitas pencapaian strategi kebijakan moneter IT ini membutuhkan syarat ”Independensi” Bank Sentral yang kuat, karena memang Bank Sentral harus terlepas dari tekanan-tekanan yang dapat menggugurkan sasaran atau target BI itu sendiri.
Meskipun kebijakan IT memiliki peran dalam mendukung perekonomian, namun harus difahami bahwa kebijakan IT tidak semudah kebijakan-kebijakan moneter lain dalam pencapaiannya (seperti, target moneter ataupun target nilai tukar). Hal ini disebabkan karena begitu kompleksnya faktor-faktor yang berkontribusi terhadap naik turunnya tingkat harga atau inflasi, dan begitu sulitnya mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi Inflasi. Sebagai contoh, efek kebijakan moneter BI memiliki lag atau waktu tunda yang panjang terhadap inflasi. Hal ini berbeda sekali dengan efek intervensi BI dipasar valas untuk mencapai target nilai tukar yang mudah sekali dilihat pengaruhnya dalam jangka pendek.
Secara umum, Mishkin (2000) menginventarisir 7 poin kerugian dalam implementasi IT antara lain :
  1. IT terlalu rigid (adanya kekakuan harga. karena sifat harga yang sticky).
  2. Implementasi IT memungkinan terjadinya banyak diskresi.
  3. Implementasi IT berpotensi meningkatkan instabilitas output.
  4. Implementasi IT berpotensi mengurangi pertumbuhan ekonomi.
  5. Implementasi IT hanya akan berpotensi mengurangi akuntabilitas bank sentral karena sulitnya mengontrol inflasi dan lamanya Lag  dari instrumen kebijakan moneter dalam mempengaruhi inflasi.
  6. Implementasi IT sulit untuk menghambat dominasi fiskal.
  7. Fleksibilitas nilai tukar yang dipentingkan dalam kebijakan IT, dapat mengancam instabilitas sistem keuangan.
Bagi negara-negara berkembang, poin kelima, enam dan tujuh memliki tendensi yang dapat mengurangi keberhasilan implementasi IT di negara berkembang. Oleh karena itu keberhasilan implementasi IT sangat tergantung dari upaya Bank sentral dalam mencari solusi untuk mengantisipasi permasalahan tersebut.

3 fondasi utama
Dalam rangka mensukseskan kebijakan IT, ada 3 fondasi dasar kesuksesan untuk menjamin terlaksananya pencapaian target inflasi secara optimal. Pertama, kebijakan IT membutuhkan independensi yang kuat dari Bank Sentral. Kedua, Kebijakan IT membutuhkan posisi fiskal yang sehat. Ketiga, Kebijakan IT membutuhan sistem keuangan yang kuat.
Faktor independensi Bank Sentral memiliki alasan kuat bahwa otoritas moneter seharusnya dberi ruang gerak yang luas dan independen untuk menentukan strategi kebijakan moneter kedepan. Dalam konteks ini BI tentunya harus terbebas dari tekanan-tekanan ekonomi politis dari pemerintah, meskipun pada akhirnya sinkronisasi tujuan bersama yaitu kesejahteraan ekonomi masyarakat harus dapat diwujudkan secara bersama-sama antara pemerintah dan bank sentral.
Dalam pengimplementasian kebijakan IT, bank sentral tentu akan dihadapkan pada pilihan yang sulit yaitu pengorbanan tingkat output. Karena memang pencapaian target inflasi yang rendah berpotensi menimbulkan instabilitas output. Oleh karena itu Bank Sentral dituntut jeli untuk melihat dan menimbang pencapaian targetnya. Jangan sampai pencapaian target inflasi yang rendah harus dibayar mahal dengan pengorbanan penurunan output yang tinggi, karena penurunan output tentu juga akan berpotensi menimbulkan pengangguran dan permasalahan sosial ekonomi di masyarakat.
Faktor kedua yaitu fiskal memiliki potensi yang kuat dalam menjamin keberhasilan pencapaian target inflasi. Pelajaran penting dari  “unpleasant monetarist arithmatic” yang di diskusikan dalam Sargent and Wallace (1981) dan teori fiskal tentang tingkat harga (woodford, 1994 dan 1995) adalah bahwa kebijakan fiskal yang terlalu ekspansif akan memberi tekanan terhadap otoritas moneter untuk memonetisasi hutang yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan uang dan inflasi yang tinggi. Jika ketidakseimbangan yang terjadi sangat besar (fiscal dominance) maka kebijakan moneter untuk menjaga inflasi tetap pada kisarannya akan sulit untuk di realisasikan. Selain itu, IT akan memungkinkan partisipasi dari pemerintah yang pada akhirnya akan membatasi ekspansi fiskal yang berlebihan (kebijakan ini menyangkut koordinasi dari penyesuaian jangka panjang untuk goverment-controlled prices).
Sama halnya dengan kebijakan fiskal, disektor keuangan juga dibutuhkam kondisi yang sehat untuk menjamin implementasi IT, sebagai contoh jika sistem perbankan tidak sehat maka kebijakan moneter ”peningkatan suku bunga” untuk menurukan inflasi akan sulit dilakukan  karena suku bunga yang tinggi akan membahayakan kinerja sektor perbankan. Jika pasar menyadari bahwa telah terjadi krisis di sektor perbankan maka akan terjadi aliran modal keluar (sudden stop) yang akan menyebabkan depresiasi yang tajam terhadap nilai tukar yang pada akhirnya akan mendorong terjadinya inflasi.
Ketiga fondasi utama diatas tentu bisa dijadikan acuan pokok pelaksanaan strategi IT. Bagi Indonesia, faktor pertama yaitu tentu independensi Bank Sentral sudahlah mutlak dimiliki oleh BI. Hal ini telah diperkuat oleh regulasi dan perundang-undangan tentang independensi Bank Sentral. Namun apakah kondisi fiskal dan sistem keuangan di Indonesia telah memenuhi syarat atau paling tidak sudah mendukung pelaksanaan IT? Pertama, Jika kita lihat posisi fiskal negri ini, sudah jelas bahwa jeratan hutang (debt trap) masih mendominasi pembiayaan fiskal. Tingginya pembiayaan bunga dan modal hutang luar negri pemerintah tentu masih memberikan kontribusi yang besar terhadap implementasi IT. Kesehatan posisi fiskal secara sederhana dapat dianalisis dari besar gap penerimaan dan pengeluaran pemerintah, jika ketidakseimbangan yang terjadi nilainya negatif dan signifikan maka sangat sulit bagi bank sentral untuk mencapai srategi IT.
Kedua, jika kita lihat secara umum kondisi perbankan di tanah air memang belum banyak memberikan kejutan yang signifikan jika dilihat dari perkembangan aset, kredit dan intermediasi perbankan. Selain itu dominasi pemberian kredit di sektor konsumsi yang sangat tinggi juga berpotensi menimbulkan tekanan terhadap Inflasi. Belum lagi, semakin bermunculannya lembaga-lembaga keuangan non bank dalam pemberian kredit tentu akan menjadi ancaman tersendiri bagi pencapaian target inflasi. Hal ini disebabkan karena pemberikan kredit yang ”terlalu” mudah akan berpotensi untuk meningkatkan konsumsi masyarakat diluar batas kemampuan seharusnya. Resiko default atau resiko tidak terbayarnya pinjaman akan terjadi ketika situasi ekonomi menurun secara tiba-tiba, yang akan mengurangi pendapatan masyarakat secara umum. Sehingga kemampuan masyarakat untuk membayar pinjamannya akan berkurang yang pada akhirnya akan mempengaruhi performa institusi keuangan dan perbankan karena tingginya angka non performing loans atau kredit macet.
Penetapan Target Inflasi
Target atau sasaran inflasi merupakan tingkat inflasi yang harus dicapai oleh Bank Indonesia, berkoordinasi dengan Pemerintah. Penetapan sasaran inflasi berdasarkan UU mengenai Bank Indonesia dilakukan oleh Pemerintah. Dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah dan Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan untuk tiga tahun ke depan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Berdasarkan PMK No.66/PMK.011/2012 tentang Sasaran Inflasi tahun 2013, 2014, dan 2015 tanggal 30 April 2012  sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk periode 2013 – 2015, masing-masing sebesar 4,5%, 4,5%, dan 4% masing-masing dengan deviasi ±1%.
Sasaran inflasi tersebut diharapkan dapat menjadi acuan bagi pelaku usaha dan masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonominya ke depan sehingga tingkat inflasi dapat diturunkan pada tingkat yang rendah dan stabil. Pemerintah dan Bank Indonesia akan senantiasa berkomitmen untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan tersebut melalui koordinasi kebijakan yang konsisten dengan sasaran inflasi tersebut. Salah satu upaya pengendalian inflasi menuju inflasi yang rendah dan stabil adalah dengan membentuk dan mengarahkan ekspektasi inflasi masyarakat agar mengacu (anchor) pada sasaran inflasi yang telah ditetapkan (Lihat Peraturan Menteri Keuangan tentang sasaran inflasi 2013, 2014, dan 2015)
Angka target atau sasaran inflasi dapat dilihat pada web site Bank Indonesia atau web site instansi Pemerintah lainnya seperti Departemen Keuangan, Kantor Menko Perekonomian, atau Bappenas. Sebelum UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan oleh Bank Indonesia. Sementara setelah UU tersebut, dalam rangka meningkatkan kredibilitas Bank Indonesia maka sasaran inflasi ditetapkan oleh Pemerintah.
Tabel perbandingan Target Inflasi dan Aktual Inflasi
Tahun
Target Inflasi
Inflasi Aktual
(%, yoy)
2001
4% - 6%
12,55
2002
9% - 10%
10,03
2003
9 +1%
5,06
2004
5,5 +1%
6,40
2005
6 +1%
17,11
2006
8 +1%
6,60
2007
6 +1%
6,59
2008
5 +1%
11,06
2009
4,5 +1%
2,78
2010
5+1%
6,96
2011
5+1%
3,79
2012
4.5+1%
4,30
2013*
4.5+1%
-
2014*
4.5+1%
-
2015*
4+1%
-

*) berdasarkan PMK No.66/PMK.011/2012 tanggal 30 April 2012.
Jangka Waktu
Design jangka waktu nya adalah pengumuman target tahunan dan medium term 5 tahun. Sejak tahun 2006, target tahunan dirubah jangka waktunya menjadi 2 tahun sesuai dengan lag kebijakan moneter untuk dapat mempengaruhi inflasi. Pertimbangan pemilihan jangka waktu tersebut mengacu pada jangka waktu target yang ideal yakni sesuai dengan lag kebijakan moneter mempengaruhi inflasi s.d. 8 triwulan. Namun demikian, untuk acuan bagi pelaku pasar, maka diperlukan pula target atau path tahunan. Jangka waktu target ini berpengaruh pada respon kebijakan moneter yaitu cenderung reaktif untuk target yang berjangka waktu pendek dan respon yang lebih smooth apabila jangka waktunya lebih panjang.
Target yang panjang akan memberikan ruang bagi BI untuk mengembalikan inflasi ke dalam targetnya dan semakin besar kesempatan bagi stabilitas output. Namun apabila target yang ditetapkan terlalu panjang (lebih dari 2 tahun), maka hal ini akan mengurangi kepercayaan akan komitmen BI untuk mengembalikan inflasi ke dalam targetnya. Sebaliknya, jangka waktu yang terlalu pendek dengan range yang sempit dapat mengakibatkan masalah kontrolabilitas inflasi, ketidakstabilan instrument yang digunakan BI, dan fluktuasi output yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, untuk menghindari masalah kontrolabilitas, instabilitas instrument dan fluktuasi output terdapat 2 jalan keluar yang dapat ditempuh yaitu dengan escape clause dan melebarkan deviasi target.

BI Rate sebagai sinyal dari respon kebijakan moneter
Respon kebijakan moneter ditetapkan untuk menjamin agar pergerakan inflasi dan ekonomi kedepan tetap berada pada jalur pencapaian sasaran inflasi yang telah ditetapkan. Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam kenaikan, penurunan, atau tidak berubahnya BI Rate. Perubahan BI Rate dilakukan secara konsisten dan bertahap. Perubahan BI Rate dilakukan sebesar 25 basis point (bps). Dalam kondisi untuk menunjukkan intense Bank Indonesia yang lebih besar terhadap pencapaian sasaran inflasi, maka perubahan BI Rate dapat dilakukan lebih dari 25 bps dalam kelipatan 25 bps.
BI Rate adalah suku bunga instrumen sinyaling Bank Indonesia yang ditetapkan pada RDG triwulan untuk berlaku selama triwulan berjalan, kecuali ditetapkan berbeda oleh RDG bulanan dalam triwulan yang sama. BI Rate diumumkan ke publik setelah ditetapkan dalam RDG sebagai sinyal dari respon kebijakan moneter dalam merespon prospek pencapaian sasaran inflasi ke depan. BI Rate digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan operasi pengendalian moneter untuk mengarahkan agar rata-rata tertimbang suku bunga SBI 1 bulan hasil lelang operasi pasar terbuka (OPT) berada di sekitar BI Rate.
BI Rate merupakan respon bank sentral terhadap tekanan inflasi ke depan agar tetap berada pada sasaran yang telah ditetapkan. BI Rate ditetapkan oleh Dewan Gubernur secara diskresi dengan mempertimbangkan dua hal. Pertama adalah rekomendasi BI Rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi kebijakan dalam model ekonomi untuk pencapaian sasaran inflasi. Perimbangan kedua didasarkan pada berbagai informasi lainnya seperti leading indicators, survey, pendapat para ahli ekonomi, asesmen faktor resiko dan ketidakpastian serta hasil-hasil riset ekonomi dan kebijakan moneter.
Perubahan BI Rate dilakukan terutama jika deviasi proyeksi inflasi terhadap targetnya (inflation gap) dipandang telah bersifat permanen dan konsisten dengan informasi dan indikator lainnya.

 Kesimpulan
Implementasi kebijakan IT membutuhkan suatu strategi yang integral menyangkut kekuatan institusi BI yang terefleksi dari kekuatan independensi dan kredibilitas dalam penyelenggaraan tugas pengelolaan moneter. Dalam konteks ini BI membutuhkan partisipasi berbagai pihak termasuk pemerintah khususnya dalam mengembangkan koordinasi dan pencapaian sinkronisasi kebijakan makro-moneter dalam rangka pencapaian target inflasi yang diharapkan. Disisi lain, BI juga diharapkan dapat berperan aktif dalam fungsi komunikasi dengan masyarakat. Hal ini dilakukan sebagai upaya membekali pengetahuan masyarakat atas objectives dan framework kebijakan moneter BI dalam pencapaian target inflasi, disisi lain komunikasi dibutuhkan untuk memberikan pengaruh yang positif terhadap pembentukkan ekspektasi masyarakat. Sehingga pada akhirnya upaya tersebut dapat berkontribusi pada upaya pencapaian stabilitas makroekonomi dan pencapaian target inflasi yang diharapkan.


0 comments:

PENYEDERHANAAN MEKANISME PELAKSANAAN PEMILU DAN PEMILUKADA DI INDONESIA

PENYEDERHANAAN MEKANISME PELAKSANAAN
 PEMILU DAN PEMILUKADA DI INDONESIA

Oleh: Zulfikri Armada, Laode Syarif Indrawan, Nurul Millah
(Institut Pemerintahan Dalam Negeri)



Salah satu wujud pelibatan masyarakat dalam proses politik adalah terselenggaranya  pemilihan umum di suatu negara. Pemilu merupakan media bagi rakyat untuk dapat menyalurkan aspirasinya dalam menentukan figur dan arah kepemimpinan negara atau kepemimpinan daerah dalam satu periode tertentu. Di era globalisasi saat ini, demokratisasi merupakan salah satu agenda Dunia untuk mewujudkan pemerintahan yang representatif, efektif dan pro rakyat.

Demokrasi sebagaimana yang lazimnya kita fahami merujuk pada argumen dari Linclon (1963) by the people, rule the people and for the people[1]. Di dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khas yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian diharapakan akan memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga negara[2].

Implementasi nyata dalam pelaksanaan pemilu dapat kita temukan kepada pelaksanan Pemilihan Umum, Pemilihan Umum merupakan suatu sistem yang memberikan rakyat hak yang kuat dalam menentukan wakil-wakilnya baik di parlemen maupun di eksekutif sebagai kepala pemerintahan (pejabat politik).

Demokrasi di Indonesaia mengalami keterpasungan selaman puluhan tahun kurun era orde lama dan orde baru, dan antiklimaksnya pada tahun 1998 munculah geraka reformasi yang dimotori oleh para mahasiswa, reformasi timbul karena semangat untuk menciptakan pembaharuan di Indonesia. Ada 6 tuntutan utama masyarakat pada saat itu, yaitu Amandemen UUD1945; Pengahapusan doktrin Dwi Fungsi ABRI; Penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan KKN, Otonomi Daerah; Kebebasan Pers; dan Mewujudkan Kehidupan Demokrasi.

Salah satu substansi penting pada Amandemen UUD 1945 adalah diberlakukannya sistem pemilhan Presiden secara langsung[3] melalui mekanisme pengajuan calon melalui partai politik atau gabunga partai politik peserta pemilu[4], yang kemudian secara lebih lanjut diatur dalam UU No.42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum.

Pada UU No.42 Tahun 2008 Proses pemilihan presiden di Indonesia dilaksanakan setelah pemilu legislatif digelar, dan dalam hal pengajuan pasangan Presiden dan Wakil Presiden oleh Parpol atau gabungan parpol, diberlakukannya syarat kepeilikan jumlah kursi di parlemen sebesar 20% atau memperoleh 25% dari suara sah nasional pemilu anggota DPR sebelum pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Mekanisme dan persyaratan pengajuan pasangan calon Presiden dan wakil Presiden ini tidak sejalan denga prisip sistem pemerintahan Presidensil yang dianut oleh Indonesia, sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Montesque bahwa pemisahan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam artian seharusnya pemilahan presiden tidak memerlukan prasyarat ketercapaian kuota kursi di parlemen.

Praktik yang lazim di negara-negara penganut sistem presidensial adalah pemberlakuan ambang batas minimum bagi keterpilihan presiden. Dengan kata lain, konteks pemberlakuan presidential threshold bukanlah untuk membatasi pencalonan presiden, melainkan dalam rangka menentukan persentase suara minimum untuk keterpilihan seorang presiden. Dalam konteks Indonesia, prasyarat presidential threshold sudah sangat jelas dalam konstitusi. Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden”.

Pola pemilu Presiden dan Wakil Presiden saat ini selain tidak konsisten dengan sistem Presidensil, sangat boros biaya, juga mengakibatkan instabilitas pemerintahan, karena pemilu legilatif dan eksekutif dilaksanakan secara parsial, sehingga mematikan kecerdasan berpolitik masyarakat. Seandainya pemilu legislatif dan eksekutif dilaksanakan serentak maka masyarakat dapat memilih presiden serta mendukung partai pengusung Capres/Cawapres yang ia dukung, sehingga stabilitas pemerintahan lebih tercapai.

Dalam tuntutan pelaksanaan otonomi daerah dan mewujudkan kehidupan yang demokratis, maka lahir lah UU No.22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, yang didalamnya diatur mengenai sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung baik pada tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota[5].

Secara teoritis Pelaksanaan pilkada secara langsung dan pemilihan anggota DPRD merupakan salah satu syarat utama terwujudnya pemerintahan daerah yang akuntabel, akomodatif dan responsif (Smith, 1985; Arghiros, 2001). Pemilihan secara langsung ini memberikan kedudukan politis yang kuat bagi kepala daerah terhadap DPRD, seperti pola ”strong mayor” di Amerika Serikat (USA) dan ”Oberbuergermeister” di Jerman.  Hal ini juga sejalan dengan amanat konstitusi Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan soal penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Asas langsung dimaknai publik secara langsung memberikan suaranya menurut hati nuraninya tanpa perantara dan tanpa tingkatan.

Konsekuensi dari rumusan ayat tersebut dengan keadan Indonesia sekarang yang memiliki 34 Provinsi, 417 Kabupaten dan 94 Kota[6] timbulnya beberapa permasalahan serius, yaitu, pertama, tingginya ongkos demokrasi. Berdasarkan catatan Fatah (2008)[7], pemilukada dilaksanakan rata-rata setahun kurang lebih 103 kali[8]. Dari sisi ongkos pemilukada, menurut Jusuf Kalla (2008), setiap tahun negara menganggarkan biaya kurang lebih 200 triliun[9].

Imbas lain dari kesalahan sistem pilkada adalah terciptanya oligarki kekuasaan di daerah, dan munculnya politisi “haji mumpung”, Keluarga Ratu Atut di Prov.Banten dan Keluarga Syahrul Yasin Limpo di Sulawesi Selatan merupakan bentuk nyata dari oligarki kekuasaan elit di daerah. Hal ini terjadi karena jadwal Pilkada yang tidak serentak, sehingga memberikan kesempatan yang luas kepada seseorang yang terlebih dahulu terpilih menjadi kepala daerah untuk mendorong keluarganya maju pada pemilihan kepala daerah di daerah lain. Muncul juga calon yang setelah gagal pada Pilkada disatu daerah mencoba lagi peruntungannya di daerah lain.

Anomali antara teori dan praktik penyelenggaran dalam konteks pemilukada terjadi karena kesalahan konsep Pemilu kita yang memiliki banyak sekali celah dan kekurangan. Kita sepakat bahwa membangun demokrasi adalah suatu keharusan, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah membangun bangsa (nation building), agar Indonesia mampu menjadi Negara yang maju, cerdas, sejahtera, aman, dan terhindar dari berbagai konflik. Penataan ulang kembali pelaksaan Pemilu merupakan suatu kebutuhan bagi Indonesia, agar energi bangsa tidak terkuras setiap hari hanya untuk mengurusi persoalan pemilu.


Pilkada dan Disharmonisasi Perencanaan Pembangunan Nasional-Daerah

Pemilu di Indonesia yang dilaksanakan terpisah-pisah dan tidak terjadwal dengan baik menciptakan problema serius pada tingkat lokal maupun nasional, salah satunnya yaitu tidak berkesinambungannya perencanaan pembangunan pada tingkat nasional dan daerah.

Menurut Conyers & Hills (1994), perencananaan didefinisikan sebagai suatu proses yang berkesinambungan yang mencakup keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan berbagai alternatif penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pada masa yang akan datang. dari definisi Conyer & Hills tersbut jelas bahwa dalam proses perencanaan diperlukan kesinambungan dalam pengambilan kebijakan guna peroleh hasil yang maksimal. Dalam konteks perencanaan pembangunan di Indonesia maka dengan sistem desentralisasi saat ini maka Pemda diberikan kewenangan untuk merekonseptualisasikan model perencanaan pembanganunan sesuai dengan kondisi yang ada di tiap-tiap daerah otonom. Akan tetapi proses perencaan tersebut tetap saja harus mendukung dan berkesinambungan dengan perencanaan pembangunan Nasional.

Berdasarkan konsep pembangunan nasional, perencanaan daerah dan penganggaran daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari (proses) manajemen strategis, dimana dalam proses formalnya diawali oleh penyusunan rencana strategis (renstra).  Dengan demikian, dalam aplikasinya di sektor publik, penganggaran daerah (juga) dikaitkan dengan renstra daerah. Dalam khazanah tata urutan konstitusi, “renstra daerah”, merupakan bagian dari “renstra nasional” untuk memenuhi tujuan-tujuan strategis dan tujuan nasional/negara sebagaimana tertuang dalam UUD 1945[10].

Secara sederahana alur perencanaan pembangunan kami sajikan dalam bagan alur 1 berikut ini (berdasarkan UU No.25/2004):








Dari bagan alur mekanisme perencanaan pembangunan tersebut jelas bahwa sistem perencanaan pembangunan nasional merupakan satu kesatuan tata cara perencanaa pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan dipusat dan daerah dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Dengan kata lain, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, perencanaan pembangunan daerah merupakan subsistem dari pernecanaa pembangunan nasional sehingga disusunlah pernecanaan pembangunan daerah tersebut sebagai satu kesatuan dalam sistem pernecanaan pembangunan nasional.
Permalasalahan yang terjadi adalah realitas dilapangan berkata sebaliknya. Akibat sistem pemilu kita yang tidak terjadwal dengan baik, terjadi disharmonisasi perencanaan pembangunan tingkat pusat-daerah. Hal ini terjadi akibat perbedaan periodesasi masa jabatan kepemimpinan politik anatara pimpinan eksekutif di pusat dan didaerah yang berbeda-beda. Semisal Presiden yang terpilh pada tahun 2005 telah menetapkan RPJM Nasional tahun 2005-2010, sedangkan satu daerah yang baru selesai melaksanakan Pilkada tahun 2008 akan menyusun RPJM 2008-2013, yang berbeda pula dan tidak mengakomodir keberlanjutan perncanaan pembangunan yang telah ditetapkan oleh kepala daerah periode sebelumnya, hal ini menciptakan missing link antara perencanaan pembangunan nasional dan daerah.
Salah satu indikasi adanya ketidaksingkronan perencanaan pembangunan Pemerintah  dan Pemerintah Daerah adalah, diluncurkannya program Master Plan Perencanaan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) oleh Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian.
Sebagai dokumen kerja, MP3EI berisikan arahan pengembangan kegiatan ekonomi utama yang sudah lebih spesifik, lengkap dengan kebutuhan infrastruktur dan rekomendasi perubahan/revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang perlu dilakukan maupun pemberlakuan peraturan-perundangan baru yang diperlukan untuk mendorong percepatan dan perluasan investasi[11]

MP3EI sebenarnya tidak perlu dilakukan jika saja perencanaan pembangunan nasional dan daerah dapat bersinergi dan berjalan dengan baik, selain itu MP3EI tidak konsisten dengan semangat otonomi daerah yang terkandung dalam UU No.32/2004.

SOLUSI

Dari pemaparan diatas ada beberapa permaslahan pokok yang terjadi akibat mekanisme Pemilu yang kita gunakan saat ini, antara lain:
1.      Inkonsistensi sistem presidensil, dan instabilats pemerintahan. Karena pengajuan Capres/Cawapres bergantung kepada hasil perolehan kursi legislatif yang telah dilaksanakan terlebih dahulu.
2.      Pemilukada Provinsi dan Kabupaten/Kota yang waktu pelaksanaannya tidak serentak,  menggerogoti Keuangan Negara dan menganggu porsi belanja publik di daerah.
3.      Munculnya tren politik dinasti atau oligarki kekuasaan pada tingkat pusat dan daerah.
4.      Disharmonisasi perencanaan pembangunan nasional dan daerah.

Salah satu solusi logis untuk menjawab permasalahan diatas adalah melalui upaya penataan ulang pelaksanaan Pemilu di Indonesia. Pentaan ulang yang kami maksudkan adalah penyederhanaan pelaksanaan Pemilu yang lebih efektif, efisien, serta mampu menghadirkan output pemerintahan yang baik dan handal.

Pada saat ini kita mengenal denga tiga kali penyelenggaraan pemilu, yaitu pemilihan legislatif, presiden, dan kepala daerah, akan tetapi jika kita bedah lebih dalam lagi kemungkinan penyelenggaran pemilu  saat ini bisa sampai 7 (tujuh) kali dalam 5 tahun[12], yang secara psikologis dapat menciptakan kebosanan masyarkat hingga angka partisipasi Pemilu menjadi rendah. Selain itu pola seperti ini sangat boros anggaran.

Oleh karena itu kia dapat menyederhanakan penyelenggaran pemilu menjadi dua momentum saja, yang pertama Pemilu Presiden dan Pemilu legislatif yang dislenggaran serentak dalam satu hari-H, kemudia Pemilu Kepala Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota serentak se-Indonesia.

Selain penghemantan anggaran hal penting lainnya adalah tersiptanya Stabilitas dan efektivitas pemerintahan pascapemilu inilah yang menjadi dasar pelaksanaan pemilu serentak (Mark Pyane dkk, 2002). Konsep dan desain ini lahir berdasarkan pengalaman negara-negara Amerika Latin yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial, tetapi justru jalannya pemertihanan menjadi tidak stabil akibat pertikaian antara presiden terpilih dengan parlemen yang mayoritas anggotanya tidak berasal dari partai presiden atau partai koalisi pendukung presiden.
Pemilu serentak mulai diterapkan di Brazil sejak awal 1994 dan berhasil menstabilkan dan mengefektifkan pemerintahan, sehingga dalam kurun 15 tahun kemudian, Brasil menjadi kekuatan ekonomi dunia. Sukses Brasil kemudian diiukuti oleh negara-negara lain di kawasan tersebut.
Mengapa pemilu serentak yang menggabungkan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif dapat menciptakan kekuatan legislatif dan eksekutif yang kongruen? Shugart (1996) bilang, pemilu serentak menimbulkan coattail effect, di mana keterpilihan calon presiden akan mempengaruhi keterpilihan calon anggota legislatif. Maksudnya, setelah memilih calon presiden, maka pemilih secara cerdas akan cenderung memilih partai politik atau koalisi partai politik yang mencalonkan presiden yang dipilihnya.

Dalam hal Oligarki kekuasaan didaerah, dengan melaksanakan pemilu secara serentak. Merupakan solusi yang aplikatif dapat mencegah terjadi politik dinasti. Apalagi memang dalam sistem pemerintahan presidensil dapat diaplikasikan pemilu serentak. Yang mana eksekutif dan legislatif dipilih  secara langsung oleh rakyat. Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer, pilihan eksekutif ditentukan oleh pilihan legislatif yang menjadi pemenang  pemilu dan menguasai mayoritas kursi parlemen. Dengan melakukan desain ulang terhadap waktu penyelenggaraan pemilu dapat dipetik beberapa keuntungan.

Pertama, desain pemilu secara serentak. Dengan pemilu yang bersamaaan antara pemilu legisltif dan eksekutif. Dapat mempertegas sistem presidensil yang kita anut, secara dapat mereduksi praktek politik transaksional, dan pragmatis antara eksekutif dan legislatif. Karena sedari awal partai politik sudah menguatkan barisan koalisinya, agar terpilih Capres yang diusungnya. Pada saat yang  sama Presiden juga tidak akan “menguras tenaga” membangun koalisi jika terpilih. Bangunan koalisi yang ideal yang dapat mengatrol dan mendukung kebijakan eksekutifpun pada titik ini. Terbangun dalam format koalisi yang proporsional. Bukan lagi format koalisi yang rapuh atau format koalisi obesitas, yang pada akhirnya tidak efekif dan kabinetpun disesaki oleh menteri-menteri yang ditempatkan karena politik transaksional dan pragmatis, sehinnga dapat menghambat efektifitas penyelenggaran pemerintahan.

Kedua, penyelenggaraan pemilu serentak pemilu legislatif dan pemilu eksekutif bisa dikongkritkan dan akan menghemat uang negara yang tidak sedikit. Karena selama ini pos terbesar dalam pengeluaran dana biaya pemilu adalah pada honorarium petugas pemilu, yaitu sebanyak 65 persen biaya pemilu, yang harus dibayarkan setiap kegiatan pemilu. Kalau dalam kurun lima tahun hanya terjadi dua kali kegiatan pemilu, yakni pemilu legislatif dan pemilu eksekutif serta pemilu kepala daerah, dana negara yang digunakan untuk membiayai pemilu bisa ditekan sampai tiga atau empat kali lipat.

ketiga, karena pemilu yang dilaksanakan hanya satu kali dalam satu periode (lima tahun). Maka secara otomatis akan menghalangi niat dan politik para kerabat, untuk melanggengkan anggota keluarganya, mengganti kedudukannya yang dijabati saat itu. Logikanya bagaimana mungkin menggiring angota keluarganya kedalam lingkatan kekuasaan dengan posisi yang ia miliki. Kalau pada waktu mencalonkan dirinya sebagai pejabat eksekutif terkendala dengan batasan waktu. Kondisi ini juga sejatinya akan memaksimalkan kinerja anggota legislatif. Agar tidak mencalonkan lagi sebagai kepala daerah di provinsi, kabupaten  atau kota. Kita bisa membandingkan kondisi yang terjadi sekarang, setiap orang pada memburu kursi DPR, DPD, dan DPRD. Mereka yang sudah merebut kursi diparlemen maupun yang gagal, bergerak ke bawah berebut jatah kursi kepala daerah. Bagi pemilik kursi yang telah merasakan kursi empuk senayan, jika berhasil menjadi kepala daerah, akan meninggalkan kursinya untuk orang lain, yang boleh jadi adalah  kerabatnya sendiri. Sementara yang kalah pada pemilu legislatif memiliki tempo/jeda untuk kembali meraih kursi jabatan eksekutif sebagai kepala daerah. Sehingga praktek “Haji mumpung” dapat kita hapuskan dan mati dengan sendirinya jika pola Pemliu serentak ini kita terapkan

Mengenai penjadwalan ulang adalah bagaimana menata ulang jadwal pilkada yang berserakan agar kekosongan masa jabatan kepala daerah tidak menimbulkan instabilitas politik lokal. Sesungguhnya, instabilitas politik lokal bisa terjadi apabila kekosongan masa jabatan kepala daerah itu tidak didesain sebelumnya. Namun jika sedari awal sudah direncanakan dan diumumkan, maka kekosongan masa jabatan kepala daerah akibat penataan jadwal pilkada tidak perlu dikhawatirkan. Pemerintah dalam hal ini Kementrian Dalam Negri dapat mendisain payung hukum yang mengatur masalah penunjukan Pejabat pengisi kekosongan jabatan kepala daerah akibat dari penjadwalan ulang pelaksanaan Pilkada serentak ini.
Keempat, Dengan penataan ulang jadwal Pilkada maka harmonisasi perencanaan jangka panjang, menengah dan tahunan antara pemerintah dan pemerintah daerah dapat dioptimalkan, sehingga tidak perlu lagi pemerintah membuat program MP3EI untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di Indonesia, karena semuanya sudah tertuang didalam RPJP nasional. Meskipun kementrian koordinator bidang eknomi mengatakan bahwa MP3EI bukan dimaksudkan untuk mengganti dokumen perencanaan pembangunan yang telah ada seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025 (UU No. 17 Tahun 2007) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, akan tetapi pada tahap pelaksanaannya akan bertentangan dengan semangat otonomi daerah karena MP3EI sendiri merupakan wujud dari ketidakpercayaan pemerintah kepada pemerintah daerah untuk mampu mengakselerasi pembangunan infrastruktur dan ekonomi di daerahnya, sehingga akan muncul tarik-ulur asas-asas otonomi daerah yang seharusnya dijalankan sebagai konsensus yang telah kita putuskan bersama.

2019
2020
2024
Pemilu Presiden dan
Pemilu Legislatif
Pemilihan Kepala Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota Serentak se Indonesia

Eksekutif dan Leegislatif Nasional menyusun RPJM Nasional, berisi kangkah strategis percepatan pembangunan di Indonesia, baik aspek pembanungan fisik (ifrastruktur) mapun non fisik (regulasi, SDM, dsb)
Harmonisasi dan sinkronisasi pelaksanaan dokumen RPJM Nasional-Daerah


Untuk proyek-proyek infrastruktur strategis dapat dilempahkan kepada daerah melalui intensifikasi dan transfer apakah itu DAU ataupun DAK, sehingga pemerintah daerah apat terlibat aktif dalam perencanaan pembangunan strategis nasional mapun daerah, dan hal ini hanya akan mungkin terlaksana apabila periodisasi kepemimpinan nasional dan daerah seragam, sehingga tidak akan muncul dokumen perencanaan pembangunan baru ditengah pelaksanaan perencanaan pembangunan nasional yang telah ada.

Pada akhirnya keseriusan dan ketegasan pemrintah kita nantikan dalam menyikapi kesemerawutan pelaksanaan Pemilu di Indonesia. Penyederhanaan dan penataan waktu pelaksaan merupakan opsi logis yang segera harus diambil, agar permasalahan-permasalahan yang muncul akibat dari ketidakberesan sistem pemilu kita tidak terus-menerus terjadi, yang dalam waktu lama akan menjadi bom waktu bagi keberlangsungan bangsa dan negara ini.




[1] Dielaborasi kembali oleh Ryaas Rasyid dalam Makna Pemerintahan, Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan, Yarsif Watampone, 2002, hal.39
[2] Drs. Astim Riyanto, SH., MS. (2000). Teori Konstitusi. Bandung: Penerbit YAPEMDO. Hal 336
[3] Pasal 6A ayat (1) UUD 1945
[4] Pasal 6A ayat (2) UUD 1945
[5] Pada uu 32 tahun 2004 pasal 56 ayat (1) disebutkan bahwa Kepala daerah dan Wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
[6] Data sampai diundangkannya UU No.16 Tahun 2013 tentang Pembentukan Kabupaten Musi Rawas Utara di   Provinsi Sumatera Selatan
[7] Eep Saeful Fatah, bahan ceramah dalam seminar Konsolidasi Demokrasi oleh MIPI
[8] Artinya, dengan logika sederahana, setiap satu bulan ada kurang lebih 8 pemilukada, dalam seminggu ada 2 kali pemilukada, atau setiap 3 hari rata-rata di Indonesia terdapat satu kali pemilukada
[9] Jusuf Kalla, Republika, 2008
[10] Dijelaskan oleh Sony Yuwono dkk, dalam buku memahami APBD dan Permasalahannya (Panduan Pengelolaan Keuangan Daerah)
[11] Dikutip dalam buku Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, diterbitkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
[12] Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden putaran I, Pemilu Presiden Putaran II, Pilkada Provinsi putran I, Pilkada Provinsi putaran II, Pilkada Kabupaten putran I, Pilkada Kabupaten Putaran II

0 comments: