MENJADI KARTINI YANG CUT NYAK DIEN

Menjadi KARTINI yang CUT NYAK DIEN
(Oleh: Zulfikri Armada, S.IP)



Mengenal Kartini dan Cut Nyak Dien
           
R.A. Kartini dan Cut Nyak Dhien
            Pada tanggal 21 April nanti, Perempuan disegenap penjuru tanah air akan memperingati kembali hari lahir salah seorang sosok/ikon atas perjuangan emansipasi wanita di Indonesia. Sosok tersebut tidak lain dan tak bukan adalah Raden Ajeng Kartini. Pertanyaan yang kemudian muncul dalam benak kita ialah syapa sebenarnya R.A. Kartini ini.
           
            R.A. Kartini lahir di Desa Mayong Kabupaten Jepara pada tanggal 21 April 1879, Ia adalah putri dari seorang Bupati dan hidup berkecukupan layakanya seorang bangsawan. Saat kecil, Kartini dimasukkan ke sekolah elit orang-orang Eropa yaitu Europese Lagere School (ELS) dari tahun 1885-1892. Di sekolah itulah, Kartini banyak bergaul dengan anak-anak Eropa, sehingga Kartini mempunyai modal untuk bisa membaca dan menulis.
           
            Kemampuannya untuk mengejawantahkan pemikiran serta kritiknya atas situasi sosial-budaya-agama yang dihadapinya kedalam tulisanlah yang selanjutnya membuat Kartini di Kenang. Hasil korespodensi surat antara kartini dengan sahabat penanya di Belanda yang sebagian berisikan kritik dan kegelisahan hati atas budaya Jawa yang membatasi ruang gerak wanita (memingit mereka didalam rumah saja), sehingga Kartini merasa kaum wanita termarjinalkan dalam hal pendidikan dan kehidupan sosial. Kumpulan surat-surat Kartini tersebutlah yang kemudian disusun oleh Mr. J.H. Abendanonmenamai, dan diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku kumpulan surat Kartini ini kemudian diterbitkan pada tahun 1911.

            Kemudian, selain RA Kartini, ada juga Srikandi Indonesia lainnya yang patut kita tauladani, beliau adalah Cut Nyak Dhien. Lain halnya dengan R.A. Kartini, perjuangan Cut Nyak tidak sebatas emansipasi wanita semata, tetapi yang ia perjuangkan lebih luas daripada itu, ia berjuang demi kemerdekaan dan kedaulatan Bangsa Indonesia dari Imperialisme Kaphee Belanda (Sebutan Cut Nyak bagi orang Belanda) secara utuh, baik lahiriah maupun bathiniah. Cut Nyak lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848. Dari keturunan bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar.

Ketika Perang Aceh meluas tahun 1873, Cut Nyak Dien memimpin perang di garis depan, melawan Belanda yang mempunyai persenjataan lebih lengkap. Setelah bertahun-tahun bertempur, pasukannya terdesak dan memutuskan untuk mengungsi ke daerah yang lebih terpencil. Dalam pertempuran di Sela Glee Tarun, Teuku Ibrahim gugur.

Mendapatkan cobaan sebegitu hebat, Cut Nyak seakan tak gentar, semangatnya tetap berapi-api untuk mengusir Kaphee Belanda dari Indonesia. Ia terus melanjutkan perjuangan dengan Suami Keduanya Teuku Umar. Beliau terus bertempur hingga dimasa tuanya ia tertangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Sumedang Jawa Barat.

Kedua sosok Srikandi Indonesia tersebut sebenarnya telah memberikan pesan kepada para kaum Hawa tentang konsepsi emansipasi wanita yang ideal. Yang satu bergerak melalui pemikiran dan pendidikan, yang satunya lagi bergerak dalam kancah pengimplementasian gagasan dan cita-cita secara lebih konkrit da nyata.


Emansipasi VS Kesetaraan Gender

Jika dilihat dari  sejarah,    konsep ”Emansipasi “  itu muncul sejak  adanya Deklarasi  Hak-Hak Azazi Manusia pada  tahun 1984, karena pada saat itu perlakuan dari kaum laki-laki yang saat mendominasi dan memarjinalkan perempuan, maka pada tahun 1963  melalui badan Ekonomi PBB (ECOCOC) konsep Emansipasi ini dideklarasikan. Dilanjutkan dengan  World Conference International Year of women PBB di Mexico City tahun1975, muncul beberapa ketentuan tentang  persamaan hak yang diinginkan antara lain tentang; pendidikan, pekerjaan, pembangunan bagi kaum perempuan, partisipasi dalam pembangunan, tersedianya data dan informasi perempuan serta analisis perbedaan peran berdasarkan jenis kelamin, dan untuk mewadahi aktifitas kegiatannya dilakukan melalui  Women In Development (WID). 

Dalam konteks Indonesia baik secara kultur maupun kelembagaan sebenarnya kita tidak terlalu asing dengan konsep emansipasi. Catatan sejarah menyatakan bahwa kerajaan Majapahit yang kekuasaanya meliputi hampir seluruh kawasan Asia Tenggara hingga ke Formosa dibagian utara dan Madagaskar di barat, ternyata dalam silsilahnya pernah dipimpin oleh 2 dua perempuan masing-masing “Tribhuwanatunggadewi (1328-1350) M”. dan Kusuma Wardhani (1389-1429) M.

Emansipasi artinya memberikan hak yang sepatutnya diberikan kepada orang atau sekumpulan orang di mana hak tersebut sebelumnya dirampas atau diabaikan dari mereka. Dimana refleksi emansipasi yang diperjuangkan oleh Raden Ajeng Kartini adalah untuk membawa perubahan besar kepada perempuan Indonesia, yaitu perjuangan menuntut hak pendidikan bagi perempuan. Karena kita ketahui bahwa dizaman dahulu, pendidikan bagi perempuan ataupun kaum pribumi adalah hal yang sangat tabu dan sangat susah untuk dicapai.  Begitupun dengan Cut Nyak Dien yang maju sebagai tokoh sentral dalam usaha mempertahankan harkat dan martabat dari penjajahan kaum Belanda hinnga titik darah penghabisan, tidak hanya bagi kaumnya tetapi seluruh bangsa Indonesia dalam satu kebulatan.

Sedangkan kesetaraan gender adalah suatu keadaan setara dimana antara pria dan wanita dalam hak (hukum) dan kondisi  (kualitas hidup) adalah sama. Gender adalah pembedaan peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dan peran gender terbagi menjadi peran produktif, peran reproduksi serta peran sosial kemasyarakatan.

Dari pemaparan diatas jelas tampak perbedaan antara emansipasi dan kesetaraan gender. Dewasa ini banyak kaum feminist yang menggembar-gemborkan kesetaraan Wanita dan Pria. Menurut penulis dari tinjuan teologis dan kulutral wanita tidak bisa berpaling dari kodratnya sebagai wanita seutuhnya, yaitu peran ia sebagai seorang istri dan seorang ibu, yang tentu saja fungsi tersebut merupakan unifikasi alamiah yang diamanahkan Tuhan kepada kaum hawa. Pria dan Wanita tentu saja boleh dipandang sebagai partner yang sejajar hak dan kewajibannya, akan tetapi menyamakan secara total seluruh hak, kewajiban dan peranan antara Pria dan Wanita tentu saja sebuah kesalahan sintesis dalam berfikir.  Spirit emansipasi yang harus kita pelihara dewasa ini adalah perlawanan terhadap budaya “kolot” yang tak memberikan banyak hak kebebasan perempuan untuk menentukan nasibnya sendiri dan spirit tentang penghilangan diskriminasi bagi perempuan. Sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Kartini dan Cut Nyak.


Peringatan Hari Kartini, hiruk-pikuk tanpa esensi

            Dalam Islam perempuan diwajibkan menggenakan jilbab, hal ini menurut penulis, secara tersirat merupakan revolusi besar terhadap cara seluruh semesta memandang wanita. Dahulu dizaman jahiliah wanita hanya dijadikan objek keindahan dan pelampiasan hasrat durjana dari kaum Pria. Kemudian Islam datang memberikan antithesa atas kesesatan yang telah terjadi, Wanita diagungkan kedudukannya, jilbab selain kewajiban, juga merupakan pesan bahwa wanita tidak boleh dipandang sebagai objek keindahan karena fisiknya semata, tetapi yang harus diutamakan dan dihormati adalah akhlaq, budi-pekerti, pemikiran, idealisme serta visi kehidupan yang ia punya.
           
            Begitupun selanjutnya dengan R.A Kartini dan Cut Nyak Dhien, perjuangan mereka menitikberatkan kepada perlawanan terhadap dehumanisasi baik itu kepada perempuan secara khusus dan keseluruhan elemen bangsa secara umum.

            Karena mampu membaca surat kabar dan majalah kartini bisa mengetahui berbagai macam kemajuan-kemajuan yang dimiliki oleh kaum wanita di Negeri Belanda, hal itulah yang menimbulkan dan membangkitkan pemikiran-pemikiran beliau. Karena semangat anti keterjajahan dan ideologi yang teguhlah lantas Cut Nyak Dhien tak gentar angkat senjata mengusir belanda. Pertanyaanya sekarang, lantas apa yang dilakukan perempuan-perempuan muda Indonesia dalam meperigati Woman’s Day (Hari Kartini)?

            Sebuah keprihatinan yang sangat mendalam bahwa sebagian besar hanya memperingatinya dengan berkebaya-ria dalam satu hari saja. Bahkan dilembaga pendidikan sebesar IPDN-pun tak luput dari perayaan tanpa esensi. Sudah menjadi sebuah tradisi setiap hari kartini akan diadakan pemilihan Putri Nusantra, yang katanya dinilai dari 3 aspek: brain, beauty, and behaviour. Sejarah kembali terulang wanita bangga dijadikan objek keindahan karena lahiriahnya, fisiknya, parasnya. Hal ini merupakan bentuk resistensi dari semangat Kartini maupun Cut Nyak Dhien yang berusaha mengeluarkan perempuan dari “kekolotan nilai” yang di-amini oleh masyarakat pada saat itu.

            Momen Hari Kartini pada tahun ini, semoga bisa menjadi titik renungan bagi seluruh kalangan, para feminist, pejuang emansipasi, dsb. Untuk kembali mendudukkan spirit emansipasi ketataran ideal sebagaimana yang diperjuagkan oleh para Srikandi Indonesia, perempuan Indonesia harus maju, perempuan Indonesia tentulah harus cerdas, ia boleh mengaktualisasikan dirinya, setinggi yang ia mau, tetapi jangan lupa tugas lebih penting lainya bahwa ia adalah calon ibu bagi anak-anaknya (garda terdepan dalam membina generasi, fondasi dari sebuah peradaban), ia adalah istri bagi suaminya (penopang dikala lelah, pendorong untuk mencapai asa), ia adalah matahari bagi peradaban Indonesia yang mandani.

Wanita Indonesia jangan ragu  untuk menjadi Kartini yang Cut Nyak Dhien! (ZA)



             




0 comments:

DISKRIMINASI PROFESI DALAM UU APARATUR SIPIL NEGARA (ASN)

DISKRIMINASI PROFESI DALAM UU ASN
Oleh : Empi Muslion
PNS pada Setjen DPD RI,
Purna Praja, Alumnus Universitas Lumiere Lyon 2 dan ENTPE Perancis

Awal tahun 2014, PNS Indonesia sebagai salah satu elemen personifikasi negara, dihadiahi sebuah kado istimewa untuk perlindungan terhadap profesi mulianya, tentu disamping peningkatan kompetensi dan kualifikasi dirinya. Yakni disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Dibalik maksud baik pembuatan UU ini, yakni untuk menjadikan PNS sebagai sosok yang berintegritas, profesional, netral, apolitis, bebas KKN, nasionalis, dan sebagainya. Ada terselip pasal yang menurut saya menjegal eksistensi PNS untuk berbuat lebih jauh lagi bagi negara ini. Hal tersebut menyebabkan keadilan profesi di Indonesia dalam mengaktualisasikan dirinya tidak setara dan diskriminasi. Terutama bagi profesi PNS yang teramputasi haknya memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Pasal tersebut adalah pasal 119 dan 123 ayat (3) yang intinya jika PNS mencalonkan diri atau dicalonkan untuk menduduki jabatan negara (Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota), mereka diwajibkan menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon.

Profesi PNS

Bahwasanya Pegawai Negeri Sipil, adalah sebuah profesi dan sebuah pekerjaan. PNS sama halnya dengan profesi lainnya seperti pengacara, akuntan publik, notaris, pengusaha, konsultan, artis, wartawan, petani, buruh pabrik dan sebagainya.

Sebagaimana pengertian ASN yang termaktub dalam  UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, bahwasanya ASN itu adalah sebuah profesi yang menyatakan bahwa : “Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.”

Karena PNS adalah profesi maka PNS selaku warga negara berhak untuk mendapatkan perlindungan profesi dari negara, dan ini dijamin oleh konstitusi UUD 1945 yakni; pasal 27 ayat (2) yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Pasal 28 D ayat (2) yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Oleh sebab itu,  PNS sebagai sebuah profesi, maka segala hak dan kewajiban PNS haruslah sama, adil dan setara dengan segala macam jenis pekerjaan dan profesi yang ada di Indonesia.

Diskriminasi Profesi

Profesi PNS dalam kaitannya dengan pengejewantahan UUD 1945 yakni hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Dan Pasal 28 (D) ayat (3) yang berbunyi “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Maka profesi PNS  untuk menduduki jabatan negara adalah hak azazi mereka yang tidak boleh dibatasi dan diamputasi.

Namun akibat pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 pasal 119 dan 123 ayat (3) tersebut, menimbulkan konsekuensi diskriminasi terhadap persamaan hak didepan hukum dan pemerintahan bagi PNS. Dimana PNS jika mencalonkan diri atau dicalonkan untuk menduduki jabatan negara (sebagaimana yang disebutkan diawal), mereka diwajibkan menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon.

Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar bagi keberadaan profesi PNS, mengapa bagiPNS jika mereka mencalonkan diri atau dicalonkan untuk menduduki jabatan negara tersebut, mereka harus mengundurkan diri sejak pencalonannya ? disini sangat kentara terlihat perlakuan yang tidak adil dan tidak sama perlakuannya dengan profesi lainnya. Mengapa hak azazi mereka untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan diamputasi dan  didiskriminasi ?

Jika kita bandingkan dengan profesi lainnya, maka sangat terlihat dengan jelas betapa diskriminasi profesi sangat kentara dililitkan pada profesi PNS. Diantaranya dapat kita bandingkan dengan beberapa profesi yang telah memiliki kekuatan hukum, seperti profesi advokat yang diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2003, bagi advokat jika mereka menjabat dalam jabatan negara sebagaimana yang diatur dalam pasal (20) ayat (3)  bahwa “Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi advokat selama memangku jabatan tersebut.”

Dalam UU ini jika advokat mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi pejabat negara tidak ada aturan yang mewajibkan advokat untuk berhenti dari profesi keadvokatannya. Hanya tidak boleh melaksanakan tugas profesi advokat selama memangku jabatan negara, artinya jika tidak menjadi pejabat negara lagi mereka bisa otomatis kembali menjadi advokat.

Begitupun halnya dengan profesi notaris, yang dikuatkan dengan UU nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 11 ayat (1) “Notaris yang diangkat menjadi pejabat negara wajib mengambil cuti.”Ayat (2) “Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama Notaris memangku jabatan sebagai pejabat negara.” Ayat (6) “Notaris yang tidak lagi menjabat sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan kembali jabatan Notaris dan Protokol Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan kembali kepadanya.”

Dalam UU tentang jabatan notaris ini, diakui dan dilindungi hak warga negara dalam menjalankan profesinya dan hak politiknya untuk menduduki jabatan negara. Tidak ada klausal yang mewajibkan profesi notaris untuk menyatakan pengunduran diri dari profesinya secara tertulis jika mencalonkan diri atau dicalonkan untuk menduduki jabatan negara. Tetapi diwajibkan cuti selama memangku jabatan negara, dan dipulihkan kembali profesi notarisnya jika sudah tidak mengabdi lagi di jabatan negara, sangat adil dan fair.

Begitupun dengan profesi lainya, seperti profesi akuntan publik, profesi dokter, profesi guru dan dosen yang bukan PNS dan berbagai profesi lainnya.

Beberapa contoh perbandingan profesi diatas yang ada di Indonesia, yang sudah jelas diatur dalam UU,  berbeda sekali perlakuan yang disematkan bagi profesi PNS yang mana jenis, materi dan subjek hukumnya sangat sama yakni untuk menduduki jabatan negara.

Perbandingan jenis profesi ini akan sangat panjang dan akan semakin kelihatan diskriminasinya jika kita tambah perbandingannya dengan berbagai macam jenis profesi lainnya yang tidak atau belum diatur oleh Undang Undang, seperti profesi pengusaha, profesi buruh, profesi petani, profesi wartawan, profesi artis dan sebagainya. Mereka bebas mencalonkan dirinya dalam jabatan negara apapun dan apabila tidak terpilih atau telah selesai pengabdiannya sebagai pejabat negara mereka bisa kembali menekuni profesi awalnya. Sehingga hak azazi mereka untuk kembali beraktifitas pada jenis pekerjaan/profesi mereka semula tidak hilang dan dilindungi.

Adanya diskriminasi terhadap jenis profesi ini, maka bagi PNS menimbulkan akibat hukum yakni terjadinya pelanggaran dan pengingkaran terhadap hak azazi PNS sebagai warga negara sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945 yakni, Pasal 28 I ayat (2) yang berbunyi : “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Karena itu seyogyanya UU ASN ini dikaji kembali oleh segenap elemen bangsa terutama PNS sendiri jika ingin membangun bangsa ini dalam koridor keadilan, kesetaraan dan kebersamaan.


0 comments:

Koalisi Partai Islam: Mungkinkah?

Koalisi Partai Islam: Mungkinkah?
(Oleh. Zulfikri Armada, S.IP)

            Artikel ini berangkat dari sebuah pertanyaan sederahana dari sahabat saya ketika kami sedang melihat perkembangan hasil quick count pemilu 2014 di Televisi, “fik, mungkin ngak ya partai islam berkoalisi?” spontan saya menjawab “mungkin saja”. Jawaban sederhana tersebut saya lontarkan karena hasil quick count memperlihatkan jumlah perolehan partai islam (PKS, PAN, PKB, PPP, PBB) yang mencapai 30%, artinya secara teoritik, legalistik dan empiris, dimungkinkan untuk mengajukan pasangan capres dan cawapres sendiri.

            Lebih lanjut pertanyaan tersebut mulai mengusik fikiran saya untuk mengulasnya lebih lanjut, apalagi belakangan mulai ramai juga diperbincangkan kemungkinan “islah” nya partai Islam untuk mampu membangun poros koalisi baru di Pilpres Juli mendatang. Jika kita lebih jeli mengamati pencapaian “fantastis” yang diperoleh pada 9 April lalu, perolehan yang mampu merobohkan semua hasil berbagai macam survey pra-Pileg yang meramalkan bahwa rata-rata partai Islam hanya memperoleh 2-3% suara saja. Sadarkah elit parpol Islam bahwa 2014 ini bisa menjadi momentum kebangkitan mereka.

Parpol Islam Berpotensi Galang Koalisi Mandiri
            Dalam sejarahnya kesatuan partai islam dalam bentuk konvensi baru sekali terlaksana pada  November 1945 yang melahirkan Masyumi sebagai satu-satunya Parpol Islam di Indonesia. Kemudian periode selanjutnya mulai terjadi disharmonisasi, perselisihan dan perpecehan, dengan puncaknya keluarnya Nahdatul Ulama (NU) dari masyumi pada tahun 1952 melalui muktamar NU di Palembang. Babak selanjutnya pada era reformasi, partai islam melalui tangan dingin Amien Rais mampu berkonsolidasi kembali membentuk poros tengah yang akhirnya mengantarkan KH.Abdurrahman Wahid duduk sebagai RI1 pada tahun 1999.

            Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Fachri Ali menilai PKB, PAN, PPP, PKS dan PBB berpotensi mengulang koalisi poros tengah  1999. “Syaratnya koalisi hanya satu, pimpinan lima parpol itu harus punya keberanian mengambil sikap politik”[1]. Dan dalam hal ini penulis sependapat dengan Fachri Ali, harus ada keberaian dan political will yang kuat jika ingin momentum akan kerinduan publik atas corak politik Islam di 2014 ini tidak sekedar berlalu saja.

            Penulis menangkap ada kerinduan dan harapan besar dari publik Indonesia pada partai Islam untuk mampu memberikan warna baru dalam perpolitikan nasional. Kemungkinan “islah Politik” Parpol Islam terbuka lebar dan dengan kekuatan 30% suara pileg potensi untuk menang juga bukan mimpi disiang bolong. Untuk persoalan figur yang bakal diusung, banyak tokoh dengan track record  bersih yang memiliki kedekatan dengan Parpol Islam, sebut saja Anies Baswedan, Mahfud MD, Jusuf Kalla, Hatta Rajasa, Abraham Samad, dsb.

Namun untuk mewujudkan kembali koalisi poros tengah ada beberapa permasalahan yang cukup pelik yang dihadapi antara lain: Parpol Islam cenderung oportunis dan cari aman dalam berkoalisi sehingga lebih suka menempel kepada kubu yang potensial menang;  Kemudian belum ada tokoh kuat yang mampu megkonsolidasikan parpol Islam kedalam satu kekuatan; Selanjutnya, tidak ada unifikasi dalam tataran praktik maupun dalam warna berpolitik para Parpol Islam di Senayan jika dibandingkan dengan Partai Nasionalis, sehingga membuat basis konstituen menjadi tidak kokoh; Sebagian Parpol Islam masih belum mampu “move on” dari kenangan pahit pelengseran Gusdur terlebih lagi kubu PKB.

            Kembali penulis sampaikan jika Parpol Islam memiliki keberanian dan political will yang kuat maka koalisi parpol islam mampu merobah peta perpolitikan secara besar-besaran.  Jika hal ini benar-benar terwujud maka momentum atas kerinduan publik akan corak politik islam bisa terpelihara dalam suasana kebatinan politik yang sangat decisive/menentukan ini. Pertanyaan terakhir dari penulis: “Cukup cerdaskah partai politik Islam menangkap peluang sejarah yang begitu besar ini?”

            Entahlah,,,, Wassalam.(ZA)



[1] Koalisi Islam Tunggu Figur, Republika 12 April 2014

0 comments:

EPISODE INI TELAH BERAKHIR

Suatu hari seorang suami mengadakan perjalanan bersama istri dan anak-anaknya. Dalam perjalanan, mereka berpapasan dengan sebuah sosok. Sang lelaki bertanya kepadanya:

"Engkau siapa?"  

Dia menjawab:   "Aku adalah 'HARTA'

 Maka sang suami bertanya kepada istri dan anak-anaknya:  

"Apa kita biarkan dia bersama kita (dalam mobil) melakukan perjalanan?"

  Istri dan anak-anaknya menjawab:  
"Tentu saja boleh. Dengan keberadaannya memungkinkan kita untuk melakukan apa saja dan mempengaruhi siapa saja sesuai kehendak kita."

Jadilah si HARTA ikut bersama mereka dalam perjalanan tersebut.
Beberapa saat setelahnya, mereka berpapasan dengan sosok lain.  

Suami bertanya kepadanya:
"Siapa engkau?"  

Dia menjawab:  
"Aku adalah KEKUATAN"

 Maka sang suami bertanya kepada istri dan anak-anaknya:  
"Apa kita biarkan dia bersama kita (dalam mobil) melakukan perjalanan?"  

Istri dan anak-anaknya menjawab:  
"Tentu saja boleh. Dengan keberadaannya memungkinkan kita untuk melakukan apa saja dan mempengaruhi siapa saja sesuai kehendak kita."  

Jadilah si KEKUATAN ikut bersama mereka dalam perjalanan tersebut
Begitulah seterusnya, mereka bertemu dengan banyak sosok dan mengajak mereka bersama dalam perjalanan hingga penuhlah mobil dengan syahwat dan kelezatan dunia.  

Beberapa saat kemudian, mereka berjumpa dengan sebuah sosok yang penampilannya berbeda dengan sosok-sosok sebelumnya.  

Suami bertanya kepada sosok tersebut:  
"Engkau siapa?"  

Dia menjawab:  
"Aku adalah AGAMA"  

Lantas suami istri tersebut dan anaknya mengatakan dengan suara kompak:  
"Maaf, ini bukan saatnya. Kami ingin dunia dan kenikmatannya namun engkau akan mengharamkannya untuk kami. Engkau akan mengajak kami menuju keistiqamahan.   Engkau akan mengajarkan kami tentang halal, haram, puasa, hijab, shalat, dan dan dan dan lain sebagainya.   Namun, barangkali nanti kami bisa kembali kepada AGAMA setelah meneguk dunia dan apapun yang ada di dalamnya."  

Bertemulah mereka dengan sosok terakhir yang benar-benar mengharuskan mereka berhenti dan tidak dapat melanjutkan perjalanan.  

Sosok tersebut berkata kepada sang suami:  
"Perjalanan ini akan berakhir disini. Engkau mesti turun dan ikut bersamaku."  

Sang suami tak bisa berbuat dan berkata apa-apa. Sosok tersebut kemudian bertutur:  
"Aku mencari AGAMA. Apakah dia bersamamu saat ini?"

Sang suami berkata:  
"Aku meninggalkannya baru saja. Biarkan aku kembali mengambil AGAMA dan menemuimu nanti bersamanya."  

Maka sosok tersebut menjawab:  
"Engkau tak akan mampu kembali karena perjalanan ini telah berakhir dan kembali lagi adalah suatu hal yang amat mustahil."  

Sang suami berrkilah:  
"Tunggu, tapi di dalam mobilku ada HARTA, KEMAMPUAN, ISTRI dan ANAK-ANAK dan dan dan…"  

Sosok tersebut menukas:  
"Apakah tak cukup sedikitpun Allah bagimu? Engkau biarkan dan tinggalkan AGAMA di jalan."  

Sang suami bertutur: Lantas engkau ini siapa?"  

Sosok menjawab:   "Aku adalah kematian yang dahulunya engkau lalaikan dan tak kau duga-duga kedatangannya."  

Lantas sang suami menoleh sejenak ke arah mobilnya. Istrinya mengambil alih untuk menggantikannya mengendarai mobil tersebut.   Mobil yang berisi ISTRI, ANAK-ANAK, HARTA, KEDUDUKAN, dan kenikmatan dunia itu pun berlalu meninggalkan dia seorang diri.

(Dan penggalan episode ini telah berakhir)

0 comments:

Indonesia: Demokrasi Konstitusional atau Khilafah ?

Indonesia: Demokrasi Konstitusional atau Khilafah ?
Oleh: Zulfikri Armada

            Penulis tertarik untuk menuliskan artikel pendek  ini karena berapa kesempatan dengan tidak sengaja baik secara langsung (diskusi) maupun secara tidak langsung (melihat perbincangan di media online) melihat perdebatan yang mempertentangkan antara mana yang lebih ideal, Demokrasi atau Khilafah.

            Salah satu statement paling ajek dari kelompok yang menggugat demokrasi antara lain, mereka menyatakan ada jurang yang dalam yang memisahkan antara sistem Khilafah (Islam) dengan Demokrasi,  sistem Khilafah menjadikan kedaulatan ditangan hukum syara' (syariah Islam) yang bersumber dari al Khaliq Allah SWT. Sedangkan sistem Demokrasi kedaulatan di Tangan Rakyat padahal manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki keterbatasan dan kelemahan.  Jadi dengan dasar apa manusia (kedaulatan rakyat) mengambil alih fungsi Allah SWT untuk membuat hukum mengatur bermasyarakat dan bernegara, kemudian demokrasi juga dianggap sebagai produk impor barat yang berbahaya.

            Kelompok penggiat khilafah getol menyerang adagium vox populi vox dei (Suara rakyat suara Tuhan) yang merupakan bentuk pembangkangan dari keesan Tuhan. Penulis berpendapat bahwa esensi dari demokrasi bukanlah persoalan vox populi vox dei  secara saklek, tetapi lebih luas dari pada itu. Menurut Amartya Sen, peraih Nobel di bidang ekonomi tahun 1998, demokrasi bukan sekedar suatu mekanisme, melainkan sistem yang membutuhkan kondisi-kondisi tertentu. Kondisi-kondisi tertentu tersebut merupakan wujud dari nilai dan prinsip dasar dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi tidak hanya berupa mekanisme pemilihan dan legitimasi atas hasil pemilihan semata, melainkan juga meliputi perlindungan atas kemerdekaan dan kedaulatan untuk mempertahankan hidup dan kehidupan, penghormatan dan ketaantan atas aturan hukum yang berlaku, kemudian jaminan akan kebebesan untuk menyampaikan aspirasi/berpendapat dan kebebasan memperoleh informasi. Demokrasi tidak hanya dimanifestasikan dalam bidang politik semata, tetapi juga dalam bidang ekonomi dan sosial budaya.

            Vox populi vox dei , jangan dimanifestasikan sebagai pendewaan manusia, karena memang Islam tidak ingin rakyat dipertuhankan dan tidak pula menghendaki bahwa suara rakyat disetarakan dengan suara tuhan. Manusia diciptakan sebagai khalifah dimuka Bumi, dan sebagai khalifah wajiblah kita menjalani dan  mengelola kehidupan ini berdasarkan syariah-Nya. Pada intinya, pemerintah adalah penerima mandat dari rakyat yang berkewajiban menjalankan pemerintahan dan memakmurkan negeri dan rakyatnya, sesuai dengan syariah Allah SWT. Sedangakan rakyat adalah para khalifah Allah yang memberikan mandat kepada pemerintah, mereka berkewajiban mengarahkan dan mengawasi pemerintahan dalam menjalankan tugas[1]. Mengenai proses pemilihan pemimpin apakah itu pemilihan one man one vote, musyawarah perwakilan, ataupun penunjukan, itu  lebih kepada persoalan metode, substansi utamanya adalah melindungi kedaulatan rakyat untuk dapat hidup damai dan sejahtera bersama.

Oleh karena itu penghakiman bahwa demokrasi itu mengambil alih kekuasaan Tuhan dalam memerintah dengan memberikan kekuasaan memerintah kepada manusia/rakyat, tidaklah benar. Karena pembentukan pemerintahan yang didukung dan dievaluasi oleh rakyat adalah untuk menghindari tirani kekuasaan atau diktatorisme politik oleh seorang individu atau kelompok elit tertentu. hal ini sejalan dengan doktrin Lord Acton bahwa “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” yang menjadi postulat dalam pembatasan kekuasaan dan pentingnya check and balences system.



Sistem Khilafah Alternatif Terbaik (?)

Berkembang diskursus mengenai keinginan untuk menegakkan kembali khilafah pada era globalisasi saat ini,  menurut penulis adalah gejala yang wajar-wajar saja, sebagai alternatif jawaban dari kemunduran dan lemahnya daya tawar (politik-sosial-ekonomi) negara-negara dengan mayoritas penduduk islam, pada era globalisasi saat ini, dan romantisme untuk menghidupkan kembali kenangan kejayaan islam sebelum runtuhnya kesultanan Turki Utsmani, banyak yang menjadi rindu kembali akan sistem tersebut.

Jika penyatuan yang dimaksudkan adalah penguatan hubungan kerjasama dibidang ekonomi, sosial dan keagamanaan, penulis sangat bersepakat akan hal tersebut, tetapi jika penyatuan lebih dalam bentuk penggabungan kedalam satu sistem pemerintahan tunggal, hal ini yang menjadi titik perdebatan. Coba lihat keberhasilan konsolidasi UNI EROPA dalam kekuatan ekonomi tunggal berangkat bukan karena pertalian agama, tetapi lebih karena mereka mampu mengikat diri dalam sistem kerjasama yang saling menguntungkan dan membutuhkan, sehingga mereka saling melindungi demi menjaga kepentingan rakyatnya.

  Kemudian perjumpaan dan pengalaman negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Indonesia dan Turki atau berdasarkan Islam di Dunia Arab semacam Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, dan Syria menunjukkan banyak perbedaan signifikan. Perbedaan-perbedaan itu bersumber dari beberapa faktor. Pertama, penafsiran dan pemahaman tentang hubungan antara Islam dan negara (din wa siyasah); kedua, corak keislaman arus utama penduduk Muslim; ketiga, tradisi dan realitas sosial-budaya; dan keempat latar belakang historis.

Islam Indonesia dapat disebut sebagai Islam washatiyah, Islam jalan tengah; umumnya kaum Muslimin Indonesia tidak suka dengan berbagai bentuk ekstrim, apakah ekstrim ke kanan (fundamentalis) atau ekstrim ke kiri (komunis). Sepanjang sejarahnya, meski selalu ada upaya untuk menyebarkan wacana dan praksis ekstrim, kaum Muslim Indonesian umumnya tidak tertarik untuk mengikutinya[2]. Hal ini juga yang mungkin menjelaskan kenapa partai Islam kalah populer dibanding partai berhaluan tengah (nasionalis) pada Pemilu dari masa ke masa di Indonesia, kemudian secara sosiologis masyarakat Indonesia yang majemuk ini kurang tertarik dengan sektarianisme agama yang menyala-nyala, seperti di Timur Tengah, masyarakat Indonesia lebih akomodatif terahadap nilai-nilai kearifan lokal maupun internalisasi dari luar.

Kemudian anggapan bahwa demokrasi merupakan produk impor barat yang dipaksakan seprtinya kurang tepat juga. Hal ini dibuktikan dengan nilai-nilai Pancasila yang merupakan kristalisasi nilai-nilai kearifan leluhur Bangsa Indonesia. Menurut Bung Karno, Lima (5) sila dari Pancasila itu bisa diperas kedalam 3 poin utama (trisila) yaitu sosio-demokrasi, sosio-nasionalisme, dan ketuhanan yang berkudayaan. Namun 3 poin tersebut sesungguhnya bersumber dari satu nilai yang paling esensial bagi bangsa Indonesia yaitu gotong royong, nilai kegotongroyongan inilah yang menjadi pijakan sistem demokrasi konstitusional kita.

Kita juga harus objektif bahwa pelaksanaan sistem demokrasi konstitusional yang ada di Indonesia masih belum sampai pada titik ideal. Para pendiri bangsa melihat demokrasi secara utuh, sebagai suatu sistem yang memiliki nilai dan prinsip dasar di samping mekanisme instrumental[3]. Usaha-usaha perbaikan terus dilakukan untuk menuju demokrasi yang substantif dengan ikhtiar menyempurnakan tata aturan yang harus dilaksakan sesuai dengan prinsip supremasi hukum, guna menciptakan pemerintah yang aspiratif dan amanah serta membuka ruang partisipasi rakyat secara luas.

Keberhasilan usaha tersebut bergantung kepada para aktor pelaku demokrasi itu sendiri yaitu suprastruktur dan infrastruktur politik Republik tercinta ini, Suprastruktur politik terdiri dari lembaga-lembaga negara dan aparatur penyelenggaranya. Sedangkan infrastruktur adalah masyarakat sebagai warga negara serta organisasi-organisasi kemasyarakatan-politik.

Pada akhirnya sistem demokrasi konstitusional maupun khilafah jika suprastrukturnya diisi orang-orang sejenis Gayus, Ahmad Fatanah atau Akil Mochtar, ujung-ujungya adalah duka peradaban yang tak berkesudahan. Lalu jika ada pembaca yang bertaya, sistem mana yang akan menemani Republik ini menuju peradaban madani, biar sejarah saja nanti yang menceritakan. J




[1] Mengislamkan Demokrasi; bahan renunga bagi politikus muslim, lembaran dakwah “uswatun hasanah”, No.1323/28-feb-2014, Jakarta: Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Jakarta.
[2] ISLAM DAN DEMOKRASI: PENGALAMAN INDONESIA, TURKI, DAN NEGARA-NEGARA ARAB*
 Prof.Dr.Azyumardi Azra**,  http://paramadina.or.id/?p=2460
[3] Demokrasi Konstitusional; Praktik Ketatanegaraan Indonesia setelah peruabahan UUD 1945, Janaedjri M. Gaffar, Jakarta: Konpress, Hal:37 

0 comments: