ENGKAU YANG KINI MENDUA (Dilema Independensi Pers ditengah Kontestasi Pemilu)

ENGKAU YANG KINI MENDUA
(Dilema Independensi Pers ditengah Kontestasi Pemilu)

“You can not have a democracy
unless the people have an independent source of quality information
on which they can make and form decision “
 (Bill Kovach-Investigative Reporting Workshop, interviewed by Charles Lewis, 2012)

            Kita tampaknya harus bersepakat dengan apa yang disampaikan oleh Bill Kovach, bahwa adalah sebuah kenaifan jika kita mengimpikan sebuah Negara yang matang dalam berdemokrasi tanpa adanya sebuah seluran informasi yang berkualitas dan independen didalamnya, yang dapat dijadikan tumpuan bagi masyarakat dalam mengolah berbagai kepingan-kepingan informasi yang ada sebagai dasar mereka dalam membentuk sebuah presepsi yang muaranya adalah dasar bagi berbagai keputusan dalam partispasinya atas berbagai dinamika dalam kehidupan sebagai entitas sosial dan politik.
           
Pers Harus Menjaga Independensinya
Terkait dengan Pemilu sebagai salah satu perhelatan akbar demokrasi di Republik ini, Tugas media informasi sebagaimana diamanatkan UU No.40 Tahun 1999 tentang pers, satu diantaranya adalah mendidik  masyarakat, termasuk didalamnya memberikan pendidikan politik. Pers diharapkan mampu mengemukakan persoalan dan menawarkan pencerahan. Dalam konteks konsepsi kebebasan berekspresi sesuai dengan kerangka clean and good governance, tugas media masa tak lain adalah membantu mengupayakan well-informed vooter, para calon pemilih yang kaya dengan informasi aktual dan berimbang atas rekam track record para kontestan Pemilu.
                       
Jika pada masa orde baru pers kita sempat tersandera kebebasannya dengan berbagai kebijakan dan kepentingan “cendana” dan kemudian reformasi 1998 memecahkan kebekuan tersebut, namun apa lacur, independensi pers untuk dapat memuat berita yang tajam dan berimbang, seiring berjalannya waktu hanyut dalam anomali negatif.   Kini nasibnya tak lebih baik setelah pasca reformasi, puncaknya adalah ketika pada saat masa konstestasi para peserta Pemilu Presiden 2014 ini.

Lepas dari cengkraman cendana kini media kita dikangkangi marwahnya oleh para pemegang dana. Ketua KPI (Komite Penyiaran Indonesia) Judhariksawan (2/6/2014) menjelaskan bahwa lima media nasional dinilai tidak netral dalam menyiarkan kegiatan capres-cawapres. TVOne, RCTI, MNCTV, dan Global TV dinilai memberikan porsi berlebihan pada pasangan Prabowo-Hatta. Metro TV dinilai memberikan porsi pemberitaan yang lebih banyak kepada pasangan Jokowi-Kalla. Belum lagi media cetak dan elektronik yang banyak bermain mata dengan pasangan tertentu dalam preferensi pemberitaannya.

Menurut McQuail dalam catatan Joyo Nursuryanto dkk[1], kepemilikan media (properitorial) amat berperan secara signifikan dalam mendukung independensi editorial berita, lebih lanjut ia menjelaskan bahwa berpindahnya kebebasan dalam status kelompok (yaitu kedalam status monopoli) mengurangi independensi dan semangat editorial sebuah surat kabar. Kalau boleh saya meminjam kata-kata Syahrini bahwa fenomena ini  begitu “terpampang nyata” didepan kita, dengan penguasaan media oleh individu atau kelompok tertentu, media begitu vulgar didikte dan dikebiri demi kepentingan-kepentingan para pemilik, media kita kini berjalan tanpa visi dan harga diri.

Kita berharap pemerintah dapat tegas dan tidak membiarkan media berlarut-larut “melacurkan” dirinya dalam pusaran kepentingan pragmatis dan temporal. Sesuai dengan amanat UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, disebutkan bahwa “Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepetingan golongan tertentu.” Lebih lanjut pada pasal 55 diatur bahwa, pelanggar pasal diatas dapat diberkan sanksi administratif. Ketentuan pemberian sanksi berupa denda, penghentian siaran, pembekuan kegiatan siaran, atau pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran. Namun sayangnya hingga tulisan ini dimuat belum ada peraturan pelaksana untuk mengeksekusi hal tersebut, sehingga KPI tak mampu menyeret pemilik media yang nakal ke jalur hukum.

Tanpa bermaksud mengamini cara orde baru mengelola pers, namun ada baiknya kita kembali melirik sistem pers pancasila yang ada pada masa itu (tentu saja dengan pelbagai peneyempurnaan), sistem yang merupakan refleksi atas falsafah tanggung jawab sosial pers, yang berlandaskan pada ideologi Pancasila, falsafah tersebut disesuaikan dengan tuntutan perkembangan dan dinamika zaman. Sistem ini menekankan keseimbangan sebagai kata kuncinya, keseimbangan antara 3 komponen utama: Pers, Pemerintah, dan Publik.

          Pemerintah tentu saja tidak boleh membatas-batasi kebebasan pers, tetapi membiarkan media kita disetir oleh para pemilik kapital yang begitu haus dengan agenda dan kepentingan, juga tak elok.Pemerintah harus tegas dan mau merangkul pers untuk tetap menjaga independensinya, guna membangun budaya demokrasi dan pemerintahan yang baik untuk kemaslahatan rakyat Republik ini. Thomas Jefferson (Ilmuan-Presiden US) berkata: When the press is free and every man able to read, all is safe. The press is the best instrument for enlightening the mind of man, and improving him as a rational, moral, and sosial being. Semoga pers kita mau bertaubat dan berhenti untuk mendua, sehingga kembali mampu memberikan pencerahan kepada setiap orang, bukan malah menyesatkan.

Semoga.(Bang Zul)







[1] Laporan Penelitian: Kampanye Pemilu Dalam Pers: Analisis Isi Berita Kampanye Pemilu 1997 Dalam Pers Jawa Tengah dan DIY, Joyo Nursuryanto dkk, 1997, FISIPOL UNDIP Semarang 

0 comments:

3 Kado Pahit di Hari Ulang Tahun Ibu Kota


Tepat pada tanggal 21 Juni 2014   DKI Jakarta, salah satu kota tersibuk, terpadat di Indonesia berulang  tahun yang ke-487. Pada perayaan hari jadi Provinsi DKI Jakarta tahun ini ada peristiwa menarik yang patut kita cermati. Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia ini menerima 3 kado pahit, yang secara beruntun harus mereka buka satu persatu menjelang hari jadinya tahun ini.

“Kado” pertama yang dibuka oleh Pemprov DKI adalah: Jakarta gagal meraih Piala Adipura. Salah satu Piala Prestisius yang begitu diidam-idamkan oleh setiap daerah yang ingin menunjukan kapasitasnya sebagai wilayah yang tidak hanya maju, tetapi juga memiliki tata ruang yang bersih, apik, dan teratur, serta mengedepankan pembangunan berwawasan lingkungan.

Selanjutnya Ahok sebagai Plt.Gubernur dengan berat hati kembali harus membuka kado kedua: Pada perhelatan MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an) 2014 yang diselenggarakan di Batam,  kontingen DKI Jakarta hanya berhasil menempati urutan ke-6. Padahal pada tahun sebelumnya khafillah dari DKI Jakarta begitu perkasa di peringkat pertama.

Belum usai rasanya pahit kado pertama dan kedua dikecap, tanpa tendeng aling-aling Ahok kembali dipaksa untuk membuka kado pamungkas yang teramat pahit. Pemprov DKI Jakarta harus menerima tamparan keras dari Badan Pemeriksa Keuanngan yang mengeluarkan lapor merah pada hasil audit laporan keuangan pada tahun anggaran 2013. Pada laporan hasil audit tersebut dibunyikan bahwa ditemukan setidaknya 86 kejanggalan yang berpotensi merugikan keuangan negara senilai 1,54 Triliun.  Perihnya lagi temuan-temuan tersebut justru banyak ditemukan pada proyek-proyek unggulan yang dicanangkan oleh Jokowi-Ahok.

Pemprov DKI Jakarta yang walaupun kini sedang ditinggal sang-Kapten bertarung di arena perebutan singasana RI-1, layaknya harus segera merapatkan berisan dan melakukan pembenahan yang nyata, yang tidak sekedar manis di layar kaca atau koran nasional saja, tetapi juga kerja nyata yang terukur dan bertanggungjawab, konsen kembali dalam pembenahan sistem manajemen pengawasan, serta meningkatkan kecermatan dalam perenacaan, pelaksanaan dan pelaporan keuangan daerah. Agar “Jakarta Baru” tidak berevolusi menjadi “Jakarta Rapopo”.




0 comments: