Prahara Friendzone dan Instabilitas Nilai Tukar Rupiah

Zulfikri Armada, S.IP

          Beberapa pekan terakhir publik dalam negeri mulai resah dengan pergerakan mata uang rupiah yang secara bertahap terus terdepresiasi terhadap dollar amerika, bahkan minggu ini sejak tahun 1998 untuk pertama kalinya nilai tukar rupiah terhadap dollar jatuh hingga ke titik Rp14.000,-. Lantas pertanyaan yang mengemuka adalah, apa penyebab hal ini terjadi? Siapa yang harus bertanggung jawab dan bagaimana penyelesaiannya?. Tulisan berikut mencoba untuk sedikit (saya ulangi lagi: sedikit) mencari jawaban dari beberapa pertanyaan diatas.

          Pelemahan rupiah terhadap dolar menjadi komoditi yang laku diperjual belikan di media masa kita beberapa pekan terakhir, sering kali beberapa talkshow maupun diskusi publik yang diadakan menjadi sekedar alat penyalur syahwat dan fantasi sekolompok orang untuk saling menyalahkan. Bagi oposisi, isu ini dijadikan amunisi untuk memojokan buruknya kinerja pemerintahan Jokowi-JK, ada pula yang berpendapat ini buah dari kegagalan pemerintahan SBY yang tidak dapat menata fundamental ekonomi negara kita dengan benar. Dan bagi sekelompok penikmat fantasi, ini adalah kesempatan baik unuk mengatakan bahwa “ini adalah konspirasi wahyudi, mamarika dan remason, titik!”. Dan ketiga meinstream diatas tampaknya tidak ada yang salah, karena ekonomi itu sendiri adalah ilmu sosial yang scientific, kuantitatif, terukur, tetapi disisi lain juga melibatkan fantasi, spekulasi dan kelabilan.

          Untuk tidak memperpanjang mukadimah mari kita bahas pertanyaan pertama: apa penyebab rupiah melemah terhadap dolar? Jawabannya:  “Friendzone”. Alkisah begini, pada tahun 2008 Amerika mengalami resesi ekonomi terburuk sejak 1930, perekonomian melambat dan imabasnya cukup mengguncang hampir separuh belahan Bumi. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut maka digagaslah format stimulus fiskal oleh Alan Greenspan berupa Quantitative Easing (QE) guna merangsang ekonomi US. Caranya adalah, The Federal Reserve/The Fed (Bank sentral US) menggelontorkan dollar untuk membeli obligasi (surat hutang) US, dengan harapan dollar tersebut dapat mengucur dan bisa digunakan oleh perusahaan dan untuk keperluan lainnya. Lebih lanjut dollar yang melimpah tersebut juga mengalir deras ke negara-negara berkembang seperti Indonesia, Brazil, Vietnam, dll. Sesuai denga hukum suply/demand ketika suply (penawaran) suatu barang meningkat maka harganya akan menurun. Periode 2009-2012 mata uang negara berkembang terapresiasi terhadap USD. Malangnya mayoritas dollar tersebut datang bukan dalam bentuk foreign direct investment (investasi pada aset riil), tetapi lebih kedalam bentuk portofolio investment  (investasi pada aset finasial: pasar uang dan pasar modal) yang sifatnya sangat labil dan mudah berpaling hati.

          Pada tahun 2013 Perekonomian mulai membaik, ternyata 4 Triliyun USD yang disuntikan dalam program QE itu mujarab juga. Dan akhirnya US melakukan tapering off atas usulan om Bernanke, stimulus pembelian obligasi dikurangi secara bertahap. Walhasil sang dollar yang parkir di Indonesia dalam bentuk portofolio investment pun hanya singgah sesaat dan kembali kepujaan hatinya negeri Paman Sam (sial betul…)  Ditambah lagi dengan spekulasi The Fed akan menaikan suku bunganya pada september nanti, maka USD yang beredar semakin turun, padahal permintaannya tetap dan implikasinya nilai USD akan semakin naik (hukum suply/demand)  dan akhirnya rupiah kembali loyo secara bertahap. Dan pada saat inilah Pemerintah Indonesia baru sadar bahwa kita kena friendzone, perihnya lagi yang kena PHP-pun bukan cuma Indonesia, tetapi lusinan negara berkembang lainnya.  Mengapa “wanita” satu ini begitu digdaya? Karena 20% produksi barang dan jasa dunia di produksi di Amerika, dan secara de facto USD dipakai dalam transaksi internasional antar negara, Ia adalah perpaduan Raissa dan Oki Setiana Dewi. Oleh karena itu rumor-rumor kecil di The Fed dan seputar kebijakan ekonomi Amerika bisa membuat lusinan negara berkembang "Baper" dan tak bisa tidur siang dan malam..

          Lantas apakah ini semua salah Amerika, tentu saja banyak faktor lain, saya hanya mencoba menyederhanakan saja, Mulai dari suasana geopolitik global, harga minyak dunia, perlambatan ekonomi China, manuver pelemahan Yuan, hingga konsistensi anggota Platos Institute seperti: Ketut WahyuAhmad Oktabri, Laode Buzyali, Laode Syarif dan Hardiyanto Rahman yang selalu abu-abu kelabu dalam urusan asmara, semakin  membuat situasi kian pelik. Belum lagi dari segi internal fundamental ekonomi kita kurang baik. Negara kita tipikal jomblo yang kurang instropeksi diri, mengapa saya kata demikian, karena pertama, pola pembangunan kita dari zaman dahulu  fokus ke industri ekstraktif, sehingga kita bergatung kepada komoditas, tumpuan ekspor kita berada pada barang tambang dan tanaman perkebunan (migas, karet, kelapa sawit, dsb) yang sangat volatile terhadap kondisi ekonomi negara tujuan eksportnya, ekspor dengan basis SDM yang bernilai tambah tinggi (industri teknologi/manufaktur) yang cenderung tidak terlalu sensitif dengan pelemahan China dan Amerika justru belum tergarap dengan baik. Dan juga dari aspek impor, hampir 90% impor Indonesia adalah bahan baku dan bahan modal yang digunakan oleh industri manufaktur dalam negeri untuk meproduksi barang jadi untuk diekspor, inilah yang membuat pelemahan nilai rupiah tidak mendongkrak daya saing ekpor kita, tetapi justru sebaliknya jusru membebani biaya produksi karena komoditas bahan bakunya berasal dari impor. 

         Jadi ini salah siapa? Ya salah kita (baca: Pemerintah), selain karena fundamental ekonomi yang rapuh, negeri kita terkenal memiliki kepastian hukum yang rendah, sehingga orang takut untuk menaruh kapitalnya dalam bentuk foreign direct investment di negeri ini, karena penuh resiko. Lantas bagaimana solusinya? Dalam jangka pendek Pemerintah telah mengeluarkan 10 (Sepuluh) paket kebijakan, yaitu:
1.     Penguatan pembiayaan ekspor melalui National Interest Account.
2.     Penetapan harga gas untuk industri tertentu di dalam negeri.
3.     Kebijakan pengembangan kawasan industri.
4.     Kebijakan memperkuat fungsi ekonomi koperasi.
5.     Kebijakan simplifikasi perizinan perdagangan.
6.     Kebijakan simplifikasi visa kunjungan dan aturan pariwisata.
7.     Kebijakan elpiji untuk nelayan.
8.     Stabilitas harga komoditas pangan, khususnya sapi.
9.     Melindungi masyarakat berpendapatan rendah dan menggerakan ekonomi pedesaan.
10.   Pemberian Raskin atau Beras Kesejahteraan untuk bulan ke-13 dan ke-14.
Threatment ini diharap dapat menahan depresiasi rupiah terhadap USD. Namun perlu diingat dalam jangka panjang kita benar-benar harus memperbaiki fundamental ekonomi negara ini, dan hal tersebut tentu saja membutuhkan political will yang kuat dan kerja keras yang berkesinambugan.

        Pada akhirya kita semua harus mangut-mangut dan setuju bahwa sama halnya seperti cinta,  Perekonomian yang stabil dan maju bisa tercapai jika kita mampu melakukan pembenahan internal yang dapat memperbaiki daya tawar kita dalam percaturan perekonomian global yang begitu dinamis. Pantaskanlah dirimu agar mampu mendapatkan cinta yang berkualitas,  Demikian lah kira-kira.

Sekian, ayo kerja! 

0 comments:

Perkembangan Otonomi Daerah dan Pemekaran Daerah Pasca Reformasi di Indonesia

Perkembangan Otonomi Daerah dan Pemekaran Daerah
Pasca Reformasi di Indonesia
Zulfikri Armada, S.IP

Pasca terjadinya social and political turbulance pada tahun 1998 yang ditandai dengan berakhirnya rezim orde baru, terjadi banyak perubahan yang cukup dinamis dan signifikan dibawah semangat gerakan reformasi. Salah satu diantaranya ialah perubahan paradigma pengelolaan kekuasaan pemerintahan, yang pada awalnya lokus kewenagannya lebih dominan berada pada pemerintah pusat (sentralistik) kini kewenangan tersebut mengalir kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota (desentralistik) yang kemudian kita kenal dengan konsep otonomi daerah.      

Berbicara mengenai Otonomi daerah, maka kita tidak dapa memisahkannya dengan penataan/pembagian kewenangan,  lebih lanjut pemaknaan dari kewenangan tentu tidak dapat dilepaskan dari konsep kekuasaan. Salah satu bentuk dari kekuasaan adalah kewenangan. Namun keduanya memiliki perbedaan pada dimensi keabsahan (legitimasi), kewenangan adalah kekuasaan yang memiliki keabsahan (legitimate power)[2]. Oleh karena itu pembahasan tentang perkembangan otonomi daerah di Indonesia tidak bisa lepas dari Peraturan perundangan-undangan yang menjadi landasan pelaksanaanya.

Dalam UUD 1945 Pasal 17 dan Pasal 18, istilah baku yang dipakai adalah “urusan pemerintahan” bukan ”kewenangan”. Pemerintah Daerah, baik Provinsi, Kabupaten/Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi (desentralisasi dan dekonsentrasi) dan tugas pembantuan. Urusan pemerintah dibidang  Hankam; Moneter dan Fiskal Nasional; Yusitisi dan Politik Luar Negeri menjadi domain mutlak Pemerintah Pusat (urusan absolut). Selebihnya, menjadi domain Pemerintah Daerah, yang dibagi menjadi urusan wajib dan urusan pilihan (urusan konkuren).

Desentralisasi merupakan bentuk relasi pusat dan daerah dalam kerangka negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, seluruh bagian negara dikelola oleh pemerintah pusat. Karena luas wilayah dan karakter daerah yang luas, disamping keterbatasan pemerintah pusat untuk menangani seluruh urusan pemerintahan yang menjamin pelayanan publik, maka beberapa urusan diserahkan ke pemerintahan daerah. Hal ini berbeda dengan bentuk federal dimana bagian dari negara federal pada dasarnya adalah negara-negara bagian yang menyatu menjadi satu negara. Urusan yang tidak bisa dilakukan negara bagian, misalnya yang menyangkut hubungan lintas negara bagian, diserahkan ke pemerintah federal. Jika pada negara kesatuan kewenangan yang diberikan ke daerah merupakan pemberian pemerintah pusat, dalam negara federal urusan pemerintah federal disepakati diantara negara-negara bagian

Otonomi Daerah dimaksudkan untuk mempercepat pemerataan ekonomi, demokratisasi ditingkat lokal, peningkatan pelayanan publik, mendorong pemberdayaan masyarkat, dan menumbuhkan prakarsa serta kreatifitas dan peran serta masyarakat dalam pembangunan. Konsep otonomi di Indonesia berbeda dengan konsep otonomi yang diterapkan diberbagai negara. Jika otonomi di negara lain bercorak simetris (seragam), Di Indonesia, otonomi daerah diterapkan secara asimetris (tidak seragam). Desentralisasi asimetris adalah bentuk pelimpahan kewenangan khusus yang hanya diberikan kepada daerah-daerah tertentu. Dalam penelitian yang dilakukan oleh JPP Fisipol UGM (JPP-UGM 2010) menunjukkan setidaknya terdapat lima alasan mengapa desentralisasi asimetris harus dilakukan di Indonesia[3], antara lain:

1.    Sebagai affirmative action untuk menyelesaikan permasalahan konflik dan tuntutan separatisme. (Aceh, Papua, Papua Barat)
2.    Alasan Sebagai Ibukota Negara. (DKI Jakarta)
3.    Alasan Sejarah dan Budaya. (DI.Yogyakarta)
4.    Alasan Perbatasan. (Belum diterapkan)
5.    Pusat pengembangan ekonomi. (Belum diterapkan)

            Pasaca revisi UU No.32 Tahun 2004, perkembangan otonomi daerah di Indonesia terbagi kedalam 3 hal pokok, antara lain mengenai Pemerintahan Daerah (UU No.23 Tahun 2014); Desa (UU No.6 Tahun 2014) dan Pemilukada (UU No.1 2015 Jo.UU No.8 Tahun 2015). Sedangkan mengenai pemekaran daerah hanyalah bagian dari pengaturan di rezim UU Pemerintahan Daerah.

Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah memiliki perbedaan persepsi terhadap maksud dan tujuan serta proses pemekaran daerah. Pemerintah pusat, ketika merumuskan PP 129/2000 berkeinginan untuk mencari daerah otonom baru yang memang dapat berdiri sendiri dan mandiri. Oleh karena itu disusunlah seperangkat indikator yang pada hakekatnya berupaya mengidentifikasi kemampuan calon daerah otonom baru. Namun dari sisi lain, pemerintah daerah memiliki pandangan yang berbeda, Pemda melihat pemekaran daerah sebagai upaya untuk secara cepat keluar dari kondisi keterpurukan ekonomi.

Namun pada kenyataannya daera otonom baru (DOB) ternyata tidak berada dalam kondisi awal yang lebih baik dibandingkan daerah induk atau daerah kontrolnya. Bahkan evaluasi setelah lima tahun perjalanannya, DOB secara umum masih tertinggal dibanding daerah induknya, baik dalam aspek kinerja perekonomian daerah, kinerja keuangan pemerintah daerah, kinerja pelayanan publik, kinerja aparatur pemerintah daerah[4].

            Agar kedepan pemekaran daerah benar-benar diputuskan dengan matang dan dapat memberikan manfaat keada masyarakat, maka dirumuskanlah pengaturan baru tentang mekanisme pemekaran daerah dalam UU No.23 Tahun 2014, poin perbaikannya antara lain:

  1. Usulan pemekaran dari masyarakat dapat disampaikan kepada DPR, DPD atau Pemerintah, namun pembentukannya hanya melalui Pemerintah;
  2. Daerah tidak langsung diberi status daerah otonom, namun terlebih dahulu menjadi daerah persiapan selama 3 tahun. (dengan PP)
  3. Terdapat syarat dasar mutlak yaitu luas wilayah minimal dan jumlah penduduk minimal.
  4. Pembentukan daerah tidak hanya berdasarakn usulan dari daerah, tetap juga dapat atas pertimbangan kepentingan strategis nasional. (Top-down)

Perubahan peraturan terakit Otonomi Daerah ini terjadi akibat dari evaluasi dari implemetasi UU No.32 Tahun 2004 yang belum mencapai format ideal. Beberapa permasalahan yang terjadi seperti: lemahnya konsep/aturan tentang pilkada langsung; ketidakjelasan dalam pembagian urusan pemerintahan; Belum jelasnya posisi Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat; Lemahnya kapasitas kelembagaan dam pelaku/aktor Otonomi Daerah; Kurang Intensifnya pembimbingan, pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah, dan; Kultur birokrasi dan aparatur di daerah yang masih belum maksimal. Diharapkan dengan perbaikan regulasi terkait pengaturan otonomi daerah di Indonesia dapat menjadi aras perubahan bagi penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik, yang dapat memberikan kesejahteraan dan keadilan kepada seluruh rakyat Indonesia.



[2] Lihat Ramlan Surbakti, memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT.Gramedia, 1992, hal.57
[3] JPP-UGM (2010). Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi. Yogyakarta, Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM.
[4] Baca  hasil Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007 (2008) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bekerja Sama Dengan United Nations Development Programme (UNDP)

0 comments:

MEMBANGUN HUBUNGAN YANG HARMONIS ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH GUNA MEMPERKUAT NKRI


MEMBANGUN HUBUNGAN YANG HARMONIS 
ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH GUNA MEMPERKUAT NKRI

Zulfikri Armada S.IP


            Berdasarkan beberapa teori modern, ada dua bentuk negara modern yang menjadi corak umum yang dipakai diberbagai belahan dunia, yang pertama ialah Negara Serikat atau Federasi dan selanjutnya ialah Negara Kesatuan atau Unitarisme. Kesadaran bahwa Indonesia ialah sebuah negara besar yang dibangun atas berbagai keberagaman (heterogenitas) baik dari aspek geografis, demograis dan kulutral, oleh para pendiri bangsa dibangun sebagai sebuah Negara Kesatuan (Unitary State), sehingga lahirlah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Negara Kesatuan (Unitary State) ialah bentuk Negara dimana wewenang legislasi tertinggi dipusatkan pada satu badan legislatif nasional pusat. Azas yang mendasari Negara kesatuan ialah azas unitarisme, yang dirumuskan oleh Dicey sebagai “..The habitual exercise of supreme legislative authorIty by one central power”[2].. Negara kesatuan ialah suatu negara yang merdeka dan berdaulat dimana seluruh negara yang berkuasa hanyalah satu pemerintah (Pusat) yang mengatur seluruh daerah. Negara Kesatuan dapat dibedakan kedalam 2 bentuk:
1.    Negara Kesatuan dengan sistem sentralisasi.
2.    Negara Kesatuan dengan sistem desentralisasi.

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara Kesatuan dengan sistem desentralisasi. Perlu difahami bahwa meskipun Pemerintah Daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) dengan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, Pemerintah Pusat tetap mempunyai hak untuk mengawasi Daerah-Daerah Otonom tersebut. Dikarenakan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri tersebut merupakan pelimpahan dari Pemerintah Pusat dan juga dikarenakan tanggung jawab tertinggi penyelenggaraan negara terletak ditangan Presiden.

Urusan pemerintah dibidang  Hankam; Moneter dan Fiskal Nasional; Yustisi dan Politik Luar Negeri menjadi domain mutlak Pemerintah Pusat (urusan absolut). Selebihnya, menjadi domain Pemerintah Daerah, yang dibagi menjadi urusan wajib dan urusan pilihan (urusan konkuren). Dengan penyerahan kewenangan-kewenangan urusan-urusan tertentu menjadi urusan rumah tangga Daerah oleh Pemerintah Pusat, maka terjadilah hubungan kewenangan. Untuk keperluan tersebut, kepada Daerah-Daerah Otonom diberikan sumber-sumber pendapatan tertentu oleh Pemerintah Pusat. Dengan demikian terjadilah hubungan keuangan antara keduanya. Agar supaya urusan-urusan yang diserahkan dapat diselenggarakan sesuai dengan tujuannya dalam arti sesuai dengan tujuan penyerahan urusan-urusan tersebut yaitu membantu tercapainya tujuan Negara, maka perlu diadakan pengawasan oleh Pemerintah Pusat terhadap Daerah-Daerah Otonom tersebut. Pengawasan ini sangat penting sebab bagaimanapun juga tanggung jawab terakhir dalam penyelenggaraan pemerintah seluruhnya berada di pundak Pemerintah Pusat, sesuai dengan hakikat dari Negara Kesatuan.

Beberpa isu penting yang menjadi sorotan terkait tentang harmonisasi pembangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ialah terkait tentang Perencanaan dan Pengawasan. Dalam konteks perencanaan pembangunan di Indonesia, dengan adanya desentralisasi kewenangan urusan pemerintahan pada saat ini, Pemda diberikan kewenangan untuk menyusun dokumen perencanaan pembanganunan yang sesuai dengan kebutuhan riil di tiap-tiap daerah otonom. Akan tetapi yang harus difahami adalah, proses perencaan pembanguanan tersebut tetap harus sinkron dengan perencanaan pembangunan nasional.

Berdasarkan konsep pembangunan nasional, perencanaan daerah dan penganggaran daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari (proses) manajemen strategis, dimana dalam proses formalnya diawali oleh penyusunan rencana strategis (renstra).  Dengan demikian, dalam aplikasinya di sektor publik, penganggaran daerah (juga) dikaitkan dengan renstra daerah. Dalam khazanah tata urutan konstitusi, “renstra daerah”, merupakan bagian dari “renstra nasional” untuk memenuhi tujuan-tujuan strategis dan tujuan nasional/negara sebagaimana tertuang dalam UUD 1945[3].

Permalasalahan yang terjadi adalah realitas dilapangan berkata sebaliknya. akibat sistem pemilu kita yang tidak terjadwal dengan baik, terjadi disharmonisasi perencanaan pembangunan tingkat pusat-daerah. Hal ini merupakan imbas dari perbedaan periodesasi masa jabatan kepemimpinan politik antara pimpinan eksekutif di pusat dan di daerah yang berbeda-beda[4]. Oleh karena itu Pemerintah melakukan beberapa langkah perbaikan dengan mulai mendesai sistem Pilkada serentak di Indonesia.
Selanjutnya mengenai pengawasan, berkacara dari implementasi UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah yang pada perjalanannya belum dapat mengatur sistem pengawasan yang baik antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka pada UU No.23 Tahun 2014 Jo. UU No.2 Tahun 2015 kita berupaya menghadirkan sistem pangawasan yang lebih baik lagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, antara lain:
1.    Hubungan Presiden dengan Gubernur dan Bupati/Walikota serta hubungan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dengan Bupati/Walikota bersifat hierarkis
2.    Pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur secara jelas dengan berbagai instrumen seperti evaluasi, klarifikasi, persetujuan, dan bentuk lainnya;
3.    Diatur sanksi bagi penyelenggara pemerintahan daerah yang melanggar aspek-aspek kritis dan penting yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan;
4.    Kewenangan pembinaan oleh kementerian/LPNK yang urusannya diotonomikan diperjelas berupa pengawasan teknis, sedangkan pengawasan umum dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri
5.    Peran Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dipertegas dan diperkuat dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kabupaten/kota di wilayahnya. (diberi perangkat dan dibiayai APBN).

Membangun hubungan yang harmonis antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan sebuah keniscayaan yang harus kita lakukan oleh sebuah Negara Kesatuan dengan sistem desentralisasi seperti Indonesia. Dengan penataan hubungan yang baik, maka akan lebih mudah meningkatkan efektivitas pemerintahan dan tercapainya demokrasi di/dari bawah (grass roots democracy), yang kesemuanya itu muaranya ialah kesejahteraan masyarakat






.
[2] C.F.Strong, Modern Political Institution to the Comparative Study of Their History and Existing Form, Sidgwich and Jackson, London, 1960, hal.99
[3] Dijelaskan oleh Sony Yuwono dkk, dalam buku memahami APBD dan Permasalahannya (Panduan Pengelolaan Keuangan Daerah)
[4]  Semisal Presiden  RPJM Nasional tahun 2015-2019,  sedangkan satu daerah yang baru selesai melaksanakan Pilkada tahun 2018  akan menyusun RPJMD 2018-2022  yang berbeda pula dan tidak mengakomodir keberlanjutan perncanaan pembangunan yang telah ditetapkan oleh kepala daerah periode sebelumnya, hal ini menciptakan missing link antara perencanaan pembangunan nasional dan daerah.

0 comments: