Berbicara tentang warisan dan
sejarah sistem desentralisasi di Indonesia, kita terlebih dahulu mesti memahami
desentralisasi itu sendiri secara utuh, dan mengapa suatu negara butuh
mengimplementasikan konsep desentralisasi pada sistem yang dijalankannya, agar
tidak ada dusta diantara kita.
Salah satu faktor pendorong
dibutuhkannya desentralisasi adalah keadaan geografis yang sedemikian rupa,
sehingga mengakibatkan negara tidak dapat bergerak dengan dengan efektif jika
seluruh kebijakan diberbagai level diambil dari satu titik pusat saja. Tiada
satupun pemeritah dari suatu negara dengan wilayah yang luas mampu melaksanakan
kebijaksanaan dan program-programnyansecara efisien melalui sistem sentralisasi
(Bowman & Hampton, 1983). Sebagai jawabannya, maka Negara mesti
mendistribusikan kekuasaan Negara secara teritorial, pemencaran kekuasaan
negara tersebut yang kemudian melahirkan kebijakan desentralisasi.
Dari pemaparan diatas kita
dapat melihat betapa kebutuhan akan pemencaran kewenangan Pemerintahan Pusat
sangat krusial, baik itu dalam artian kekuasaan politik maupun administratif.
Apakah distribusi kekuasaan ini berupa devolusi, dekonsentrasi, delegasi atau
bahkan privatisasi, tergantung dari keputusan negara yang bersangkutan.
Usut-punya usut, ternyata
Desentralisasi bukan pendatang baru dalam sejarah pemerintahan Nusantara,
tercatat setidaknya sistem ini telah dipakai mulai dari Kemaharajaan Majapahit
(Abad ke-13), Kolonialisme Belanda (1903), hingga era Reformasi
(1999-sekarang), Desentralisai terus bergeliat mencari format terbaik menyesuaikan
diri dengan kondisi kekinian sistem yang ada.
Pada
era majapahit tepatnya pada masa Kemaharajaan Thalasokrasi saat masa
pemerintahan patih gajah mada, terbentuklah konsep pembagian teritorial di
Majapahit, antara lain:
1. Negara Agung, merupakan wilayah inti
kerajaan, yaitu ibu kota kerajaan.
2. Manca Negara, merupak wilayah yang
masih terpengaruh budaya jawa, yg dipimpin oleh keluarga Raja.
3. Nusantara, yaitu wilayah di Majapahit
yang tidak terpengaruh kebudayaan Jawa, daerah ini mendapatkan otonomi yang luas
dan kebehasan internal, Kerajaan tidak menempatkan birokratnya pada kawasan
ini, melainkan hanya menarik upeti yang telah ditetapkan setiap tahun. Masalah
pembangunan dan keuangan diatur oleh , daerah koloni itu sendiri. Berari secara
harfiah Kemaharajaan Majapahit telah memberikan desentralisasi
administratif dan fiskal pada kawasan yang ia beri nama Nusantara.
Lanjut
tentang sejarah Desentralisasi periode berikutnya, tepat pada tahun 2013 ini,
genap 110 tahun sistem desentralisasi secara legal formal ada di Bumi
Nusantara, tepatnya melalui "Wet Hounde Decentralitatie van Het
Bestuur in Netherlands-Indie" yang selanjutnya lebih dikenal sebagai Wet
Decentralitatie 1903. Perlu waktu bertahun-tahun dalam perdebatan yang alot dan
akhirnya Desentralisasi ala Kolonial ini berlaku di Indonesia, dengan
berlakunya wet decentralitatie maka warga eropa yang ada di daerah-daerah dapat
memberikan usulan tentang apa yang sebaiknya dilakukan dan diprioritaskan
didaerah tersebut.
Undang-Undang
ini pada hakikatnya ingin mendelegasikan kewenangan dan tugas pemerintah kepada
satuan daerah dibawahnya, yang ditempat itu dimungkinkan untuk dibentuk suatu
lembaga yang dapat memahami secara real apa yang dibutuhkan daerahnya dan
berapa anggaran yang dibutuhkan dan mesti dikelola demi memenuhi kebutuhan
tersebut. Karena pada dasarnya Wet Decentralitatie 1903 ini menitik beratkan
pada soal anggaran dan kemampuan pengelolaaan keuangan sebagai kewengan awal
yang akan didelegasikan sebagai implikasi dari kebijakan desentralisasi, sehingga
desentraliasai pada wet 1903 ini dikenal juga sebagai een financiale
decentralisatie.
Dalam
artian, desentralisasi model kolonial ini hanya sapat diberikan jika
persyaratannya terpenuhi terlebih dahulu, salah satu yang terpenting adalah
apakah di daerah tersebut sudah memiliki SDM yang mumpuni dalam bidang
pengelolaan perencanaan dan pelaksaan penganggaran di daerah tersebut. Jika
tidak memenuhi persyaratan maka Desentralisasi belum dapat dilakukan dan segala
urusan daerah tersebut kembali bertumpu kepada Gubernur Hindia-Belanda. Hal ini
menarik karena otonomi dilakukan secara asimetris dan penetapannya didasarkan
kepada faktor kesiapan.
Serelah
Belanda berhasil kita usir dari Bumi Pertiwi, masuklah kita pada era Orde Lama
dan orde baru. Pada periode ini corak bereaucratic decentralization atau
yang kita sebut dengan dekonsentralisasi terasa lebih dominan, dimana
pendistribusian kekuasaan dominan kepada pola pelimpahan kewenangan kepada
pejabat pengelola pemerintahan daerah. Kemudian barulah pasca tumbangnya rezim
baru lahirlah kebijakan baru tentang pemerintahan daerah yang ditandai dengan
lahirnya UU No.22 tahun 1999, yang kemudian di revisi menjadi UU No.32 tahun
2004 junto UU No.8 tahun 2005.
Keran
yang selama berabat-abat cenderung tersumbat dan terbiasa mengalirkan air
sedikit-demisedikit, mendadak di buka secara lebar dan tak terbendung, jadilah
periode euforia Otonomi Daerah yang mengalirkan kewengan, tugas, dan
tanggungjawab yang selama ini bertumpu oasa pusat langsung ke jantung
Pemerintah Daerah, bagai air bah "to much, to soon". Mengapa saya
sebut demikian karena memang tidak semua Pemda memahami maksud dan tujuan dari
otonomi itu sendiri secara menyeluruh, alih-alih menciptakan kesejahteraan,
mempercepat pembangunan, dan menguatkan partisipasi publik dalam hal
penyelenggaraan pemerintahan. Desentralisasi polik dan administratif yang
diberikan malah diterjemahkan daerah kedalam gerakan korupsi berjamaah,
berkembangnya isu primordialisme, dan semerawutnya birokrasi yang telah
diinfiktrasi kepentingan-kepentingan politik musiman pasca Pemilukada lansung.
Memang
masih banyak celah-celah dan kekurangan yang harus kita fikirkan dan
benahi bersama. Kini publik menanti Rancangan Undang-Undang Pemerintahan
daerah, Pemilukada, dan Pemerintahan Desa sebagai revisi dari UU No.32 Tahun
2004, yang kini tengah digodok di DPR dan dibawah pengawalan para guru besar
IPDN. Apakah RUU tersebut mampu menjadi obat ampuh atas kegalauan kini, atau
sekedar basa-basi saja.
Saya
pinjam lagu Armada Band "mau dibawa kemana?", mau dibawa kemana
perjalanan otonomi daerah di Indonesia. Tentu saja kita percaya, berusaha dan
berharap perjelanan asas Desentralisasi di Indonesia Raya ini selalu akan
berevolusi kedalam bentuk terbaik dan ideal, sehingga akan mampu mengantarkan
negara kita kembali kembali kepuncak perdaban, seperti yang dulu pernah
dilalukan moyang kita di era Sriwijaya dan Majapahit, semoga saja.
0 comments: