Strategi dan Kebijakan Pemerintah Daerah dalam
Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Zulfikri Armada, S.IP
Gagasan pembentukan
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada dasarnya bukan sebuah wacana baru di
kawasan Asia Tenggara, sejak tahun 1997 tepatnya pada ASEAN Summit yang
diadakan di Kuala Lumpur, para kepala negara ASEAN telah menyepakati ASEAN
Vision 2020 yang pada dasarnya menyepakati bahwa negara-negara ASEAN bertekat
mewujudkan kawasan yang stabil dan berdaya saing tinggi dengan pertumbuhan
ekonomi yang merata. Pembahasan tentang
gagasan regionalisasi ASEAN menjadi satu kekuatan yang terintegrasi ini terus
digulirkan, dan pada puncaknya di KTT ASEAN ke-12 bulan Januari 2007, Pemimpin
Negara-Negara di ASEAN menandatangani Deklarasi Cebu yang isinya menegaskan
komitmen kuat kita untuk mempercepat pembentukan masyarakat ASEAN. Lebih
spesifiknya lagi, kita bersepakat untuk mempercepat pembentukan Masyarakat ASEAN
di tahun 2015. Khususnya, percepatan pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada
tahun 2015 yang akan mentransformasi 10 Negara di ASEAN menjadi suatu kawasan
pasar dan produksi tunggal dengan pergerakan barang, jasa, investasi, tenaga
kerja terampil, dan aliran modal yang. Oleh karena itu diskursus mengenai
apakah Indonesia telah siap atau tidak menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN, agaknya kurang relevan, kini saatnya kita
berfokus kepada langkah strategis yang harus diambil untuk dapat “memenangkan”
MEA 2015.
Pasca reformasi, Negara kita
menerapkan kebijakan politik desentralisasi yang sangat progresif, yang kemudian
kita kenal dengan konsep Otonomi Daerah. Otonomi Daerah sebagai hak, wewenang
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia, harus mampu digunakan oleh Pemerintah Daerah untuk dapat menggali
potensi yang ada di daerahnya, sehingga pada giliranya, pemberian otonomi yang
seluas-luasnya kepada Daerah merupakan kesempatan untuk mempercepat terwujudnya
pemerataan kesejahteraan di Indonesia.
Kebijakan Otonomi Daerah serta momentum
regionalisasi yang ditandai dengan pelaksanaan MEA pada akhir tahun 2015 ini, jika
dapat dipergunakan dengan baik, mampu mejadi triger mechanisme bagi setiap daerah untuk dapat meningkatkan daya
saingnya. hal ini dikarenakan otonomi daerah itu sendiri pada hakikatnya
merupakan stimulan bagi daerah untuk dapat membuka ruang inovasi dalam peningkatan
kualitas pelayanan publik serta mendorong keluarnya arus barang dan jasa dari
daerah untuk dapat bersaing di kancah regional Asia Tenggara, yang pada
gilirannya dapat memacu pemerataan kesejahteraan di Indonesia.
Ada beberapa angenda prioritas yang
harus segera kita tuntaskan jika Provinsi Bengkulu ingin sukses menghadapi MEA 2015,
antara lain.
Reformasi
Birokrasi
Akhir-akhir ini dalam berbagai momentum kampanye
Pemilihan Umum diberbagai negara, khususnya negara maju, isu reformasi
birokrasi menjadi “jualan” utama para kandidat guna memenangkan hati pemilih,
disamping tentu saja isu perbaikan kualitas ekonomi, pendidikan, jaminan
kesehatan, dsb. Hal ini dikarenakan munculnya kesadaran
global bahwa salah satu faktor penting bagi percepatan pembangunan suatu negara di era modern ini ialah
kualitas birokrasi yang menjadi tulang punggung bagi segala proses kepemerintahan
yang ada. Menurut hemat saya, Ada 3 (tiga) faktor
utama penentu keberhasilan pemerintah daerah, yaitu: 1) Kepemimpinan Kepala
Daerah dan DPRD; 2) Kapasitas Pemerintah Daerah, dan; 3) Dukungan dan kontrol
dari masyarakat. Kapasitas Pemerintah Daerah yang dimaksud ialah birokrasi sebagai delivery unit kebijakan. Kesuksesan
kebijakan Pemda tak lepas dari kualitas dukungan birokrasi Pemda itu sendiri
sebagai sebuah delivery system,
sinergitas antara Kebijakan yang tepat dan dukungan birokrasi tersebutlah yang
pada akhirnya akan menentukan kualitas kinerja Pemerintah Daerah.
Politisasi
birokrasi, belum optimalnya manajemen Sumber Daya Manusia sektor
publik, Struktur birokrasi yang tamun namun minim fungsi, dan beberapa patologi birokrasi yang masih berurat
berakar di sektor publik harus segera kita perbaiki. Lahirnya UU No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara diharapkan mampu menjadi fondasi awal bagi reformasi birokrasi di
Indonesia, sasaran utama dari agenda reformasi birokrasi adalah mewujudkan birokrasi yang bersih dan akuntabel; efektif dan efisiensi; serta
mampu menghadirkan pelayanan publik yang berkualitas.
Pembangunan Infrastruktur
Infrastruktur merupakan roda penggerak
pertumbuhan ekonomi. Dari alokasi pembiayaan publik dan swasta, infrastruktur
dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Secara ekonomi makro ketersediaan dari jasa
pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private
capital, sedangkan dalam konteks ekonomi mikro, ketersediaan jasa
pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi.
Infrastruktur juga berpengaruh penting
bagi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia, antara lain dalam
peningkatan nilai konsumsi, peningkatan produktivitas tenaga kerja dan akses
kepada lapangan kerja, serta peningkatan kemakmuran nyata dan terwujudnya
stabilisasi makro ekonomi, yaitu keberlanjutan fiskal, berkembangnya pasar
kredit, dan pengaruhnya terhadap pasar tenaga kerja.
Peningkatan Daya Saing
Di masa lampau kekuatan dan
daya saing sebuah bangsa dalam percaturan ekonomi dan perdagangan internasional
ditentukan oleh keunggulan komparatif (comparative advantage) yang
terkait erat dengan “keunggulan” sumber kekayaan alam yang dimiliki. Namun pada
saat ini konsep tersebut kurang relevan lagi, kemajuan bansa kini ditentukan
oleh keunggulan kompetitif (competitive
advantage) yang bertumpu pada kualitas pengelolaan sumber daya manusia
sebagai pilar utama kualitas daya saing nasional suatu bangsa.
Menurut Global Competitiveness Report
terkini, Indonesia menduduki peringkat ke-34 dari 142 negara. Apabila dilihat
dari kapasitas kompetisinya, ini merupakan keunggulan komparatif karena
Indonesia mengungguli Spanyol (35), Portugal
(36), Filipina (52), Rusia (53), Brasil (57), India (71), Yunani (81), Mesir
(119) dan Pakistan (129). Namun capaian tersebut tentu saja bukan acuan utama
bagi kita untuk berpuas hati. MEA 2015 diproyeksikan bakal meningkatkan
kompleksitas pengelolaan makroekonomi di Indonesia, yang memerlukan
penguatan dan peningkatan kapasitas institusional secara memadai dan
berkesinambungan. Kemudian lebih lanjut, dalam kacamata
lokal kita tampaknya mesti bekerja lebih keras lagi dalam meningkatkan daya
saing Provinsi Bengkulu, karena menurut hasil penelitian dalam hal daya saing pada tahun 2014
Provinsi Bengkulu berada pada peringkat 30 dari 34 Provinsi di Indonesia. Untuk meningkatkan daya saing setidaknya ada 3 pilar utama yang harus didirikan dengan kuat,
antara lain: pemerintah (government) akademisi (acamdemician) dan bisnis
(business), atau yang kemudian dikenal dengan teori Triple Helix. Teori
Triple Helix pada awalnya dipopulerkan oleh Etzkowitz & Leydersdorff
sebagai metode pembangunan kebijakan berbasis inovasi.
Triple Helix bertujuan meningkatkan
daya saing daerah yang berbasis pada inovasi
dan ilmu pengetahuan (knowledge based economy) dalam rangka mewujudkan iklim
daya saing yang kondusif. Dengan ini diharapkan hasil penelitian dan buah
pikiran akademisi mampu hadir sebagai solusi permasalahan
pemerintah dan bisnis. Pihak pemerintah diharapkan menjadi pemberi stimulus
positif dalam merangsang pertumbuhan dan perkembangan investasi bisnis
sekaligus mendorong atmosfer bisnis yang kondusif. Pihak bisnis nantinya dapat
memberikan kontribusi dalam menciptkan iklim bisnis yang baik, seperti
penerapan etika berbisnis, berkomitmen pada Corporate Social Responsibility
(CSR), dan menjadi partner pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Di Provinsi Bengkulu kita dapat melihat kesuksesan Kabupaten Kaur,
keseriusan Pemda Kaur dalam menggarap teknopark bagi mayarakat merupakan
sinyalemen positif bahwa Pemda memiliki good
will dalam menciptakan iklim yang cukup kondusif antara
pemerintah-akademisi-pengusaha, untuk dapat mendorong lahirnya inovasi dan daya
saing masyarakat.
Epilog
Pada
akhirnya kita harus menyadari pengintegrasian masyarakat ASEAN, khususnya dalam
bidang ekonomi menuntut kerja keras kita semua. Banyak hal yang harus kita
lakukan dan hal tersebut membutuhkan komitmen dan konsistensi dari semua pihak.
Kita tentu saja tidak mengingankan Indonesia yang jumlah penduduknya mencapai
43% seluruh penduduk ASEAN hanya menjadi penonton dan pangsa pasar yang justru
digarap oleh negara lain. Oleh karena itu
peran dan kerjasama yang baik antara Pemerintah Pusat dan Daerah harus
diwujudkan, 3 Agenda utama tentang reformasi birokrasi, pembangunan
infrastruktur dan peningkatan daya saing, mesti kita sukseskan secara bahu
membahu. Pemerintah Kota memainkan peran yang strategis dalam hal ini, sebagai
regulator dan eksekutor bagi kesuksesan pengintegrasian ASEAN Comunities.