Agustinus membagi negara
kedalam dua golongan, yaitu negara yang disandarkan kepada sifat keilahian yang
berimplikasi pada penerapannya teokrasi dalam bernegara yang ia sebut dengan
Negara tuhan, dan kemudian yang kedua adalah negara yang didirikan atas sifat
material atau negara bersandar kepada nafsu dan keinginan yang kapitalistik
yang disbut dengan Negara Setan.
Iran ,buhtan, vatikan,
merupakan negara-negara yang disandarkan pada teokrasi, ketiga negara ini
meletakan filosofi bernegaranya dengan berasaskan pada konteks spiritualitas,
mereka tidak meletaka tujuan bernegara berdarkan kebutuhan jasmani tapi lebih
kepada pencapaian terhadap apa-apa yang
diinginkan oleh tuhan/sprirtualitas.
Kemudian amerika dan inggris
merupakan negara yang disimbolkan degan sifat-sifat satanistik, karena hanya berorientasi
kepada materi dan nafsu, yang mereka implementasikan dalam konsep sekularisme,
yang menceraikan dengan paksa antara institusi agama dan institusi negara.
Agama tidak boleh mencampuri urusan negara, dan negara tidak perlu mengurus
soal agama.
Amerika lahir sebagai negara sekuler karena trauma terhadap konsep
teokrasi vatikan yang pada masa itu seakan menjadi cap halal bagi hal-hal yang
bertentangan dengan kemanusian di Eropa, kerena itu mereka tidak ingin lagi
intitusi negara direcoki institusi agama.
Kemudian konsep yang ketiga
adalah negara yang menggabungkan konsep ilahiah dengan konsep satanistik/nafsu
yang kemudian kita sebut dengan negara manusia, dimana pada diri manusia
terdapat nafsu dan iman. Negara yang ideal menurut saya merupakan negara yang
dapat menintergrasikan antara keinginan yang bersifat nafsu dan sifat ketaatan. Nafsu tidak selamanya jelek, kita
bekerja mencari uang, makan, minum, merupakan bentuk kegiatan untuk memuaskan
fitrah kita sebagai manusia. Nah, negara kita Indonesia jika kita kembalikan
pada pancasila sebagai dasar negera, Indonesia jelas berada pada posisi ini.
Prof.Van Poelje (1953)
menjelaskan bahwa ilmu pemerintahan adalah ilmu untuk mempelajari bgaimana
memimpin kehidupan bersama dalam menggapai kebahagiaan yang seluas-luasnya,
tanpa merugikan orang lain secara tidak sah. Baik itu kebahagiaan rohani maupun
jasmani. Dalam konteks rohani ada dua aspek yang harus kita fahami:
1. Spiritual
fisik, yaitu usaha pemerintah untuk memfasilitasi, seperti pembangunan tempat
ibadah, menyediakan regulasi untuk melindungi kebebasan beragama, dsb.
2. Spiritual non fisik, yaitu persoalan
sipritualitas privat, yang diluar jangkawan pemerintah, seperti ketaatan
seseorang dalam menjalankan perintah agama, yang tentu saja tidak dapat
dikontrol oleh institusi negara.
seharusnya, dengan menerapakan konsep yang cukup ideal yang menempatkan moralitas sebagai sumbu yang berintegrasi dengan kesejahteraan, negara kita sudah semestinya sampai pada titik meraih kebahagiaan yang seluas-luasnya.
Sayangnya, kenyataan dilapangan berkata sebaliknya. Rendahnya moralitas dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, masih menjadi permasalahan klasik, baik pada institusi pemerintahan sebagai nahkoda hingga masyarakat sebagai warga negara itu sendiri sebagai penumpangnya. Nahkoda yang seharusnya mau mengorbankan jiwa demi keselamatan penumpang, karena rendahnya moral kini membawa bahtera kian-kemari tak jelas mau kemana, dan penumpangnyapun telah lupa arah tujuan dan ikut berkolaborasi mendzalimi penumpang yang lain. Kita masih meraba-raba, sebenarnya kalau kita kembalikan ke konsep Agustinus, bangsa kita sekarang
sebenarnya berada pada gologan "negara manusia" atau malah menjadi "negara manusia yang kesetan-setanan".
sehingga kita masih belum terhantarkan juga pada kebahagiaan yang seluas-luasnya
tersebut.
Ternyata, membangun dan mengukuhkan nilai moralitas dalam penyelenggaran bernegara bukan perkara sederhana.
Moralitas harus dibangun dari dalam diri individu itu sendiri, tidak bisa dipertanggungkan ke satu institusi saja, kita harus dapat
mengawinkan antara kegiatan material dengan spiritualitas dengan ideal, best
practice-nya ada pada Rasulullah S.A.W, dalam berniaga (mengejar kebutuhan
fisik) beliau menerapakan nilai-nilai kejujuran pada pembeli (dengan penerapan
aspek spiritualitas) sehingga menghantarkan beliau menjadi pedagang yang
sukses, dan hasil dari perniagaan tersebut (materi) beliau gunakan untuk
kemaslahatan umat (aspek spiritualitas) dan jadilah beliau pribadi yang
dicintai.
Secara formal, negara kita
telah mempersiapkan infrastruktur fisik maupun regulasi yang dapat menunjang penyelenggaraan
negara yang bermoral, akan tetapi pada kenyataanya hingga kinipun masih ramai
carut-marut mengenai buruknya moralias penyelenggara negara di Negri tercinta
ini. Moral yang kita maksudkan adalah moralitas yang dapat meningkatkan dan
mengintegrasikan antara kebutuhan materi dan spiritual warga negara.
Satu-satunya jalan untuk
mencipatakan peradaban yang bermoral sesuai amanat the founding fathers kita,
adalah dengan mulai membangkitkan kesadaran pada diri pribadi masing-masing
individu penyelenggara negara. Dari mulai merubah diri sendiri kemudian barulah
kita dapat mempengaruhi sekelompok orang lain, dari sekelompok orang kemudian
mempengaruhi suatu organisasi yang lebih besar, dari organisasi yang lebih
besar itulah diharapkan reposisi martabat penyelenggaraan bernegara kita
menjadi lebih baik. Dengan begitulah kebahagiaan yang seluas-luasnya sebagai
hakikat dari ilmu pemerintahan itu sendiri dapat kita raih bersama.(ZA)
0 comments: