I. OTONOMI DAERAH
BERDASARKAN UU NO. 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
Dalam UU No. 22 Tahun 1999
mengenai Pemerintahan Daerah disebutkan secara eksplisit bahwa unit
pemerintahan yang melaksanakan otonomi di daerah di tingkat kabupaten/kota.
Namun pemerintahan menggunakan masa transisi untuk mengalihkan kewenangan
pemerintahannya secara bertahap, agar pada waktunya asas desentralisasi dan
dekonsentrasi bias terlaksana penuh. Secara umum, beberapa prinsip dasar yang
harus dipegang oleh semua pihak dalam pelaksanaan otonomi daerah ini palin asas
desentralisasi dan dekonsentrasi bias terlaksana penuh. Secara umum, beberapa
prinsip dasar yang harus dipegang oleh semua pihak dalam pelaksanaan otonomi
daerah ini paling tidak diantaranya adalah :
1.
Otonomi daerah harus dilaksanakan dalam konteks
Negara kesatuan
2. Pelaksanaan otonomi daerah menggunakan tata cara
desentralisasi dengan demikian peran daerah sangat menentukan
3. Pelaksanaan otonomi daerah harus dimulai dari
mendefinisikan kewenangan, organisasi, personal kemudian diikuti dengan
keuangan bukan sebaliknya
4. Perimbangan keuangan yang dimaksud adalah
perimbangan horizontal/antardaerah (antar provinsidan antar kabupaten/kota
dalam satu provinsi, disamping perimbangan vertical, antar pusat dan daerah
5.
Fungsi Pemerintah Pusat masih sangat vital,
baiak dalam kewenangan strategis (moneter,pertahanan, luar negeri dan hukum),
maupun untuk mengatasi ketimpangan antardaerah.
Sementara itu karena begitu
pentingnya dasar legalitas dalam penerapan suatu kebijakan pemerintahan yang
bersifat strategis dan jangka panjang, maka dalam UU no. 22 tahun 1999
menekankan tiga factor yang mendasar yaitu :
1.
Memberdayakan masyarakat
2.
Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas
3. Meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif
dan meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah.
Tujuan pemberian otonomi
kepada daerah adalah untuk mengembangkan mekanisme demokrasi di tingkat daerah
dalam bentuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat baik untuk
kepentingan daerah setempat maupun untuk mendukung kebijaksanaan politik
nasional dalam era reformasi saat ini.
KONSEP DASAR UU NO. 22 TAHUN
1999
1.
Membesarkan kewenangan dan tanggung jawab daerah
otonom
2. Keleluasaan daerah untuk mengatur/mengurus
kewenangan semua bidang pemerintahan kecuali enam kewenangan pusat.
3.
Kewenangan yang utuh dalam perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian
4.
Pemberdayaaan masyarakat, tumbuhnya prakarsa dan
inisiatif, meningkatkan peran masyarakat dan legislatif.
Apabila UU No. 22 Tahun 1999
dipelajari secara cermat dapat diperoleh esensi dasar sebagai berikut:
1. Filosofi
yang digunakan adalah “Keanekaragaman dalam Kesatuan” sebagai kontra
konsep dari filosofi “keseragaman” yang digunakan oleh UU No.5 tahun 1974.
Dengan filosofi baru, maka kepada Daerah Otonom dibri keleluasaan yang besar
untuk mengatur dan mengurus kepentingan daerah dan masyarakatnya sesuai
kebutuhan dan kemampuan masing-masing.
2. Ada
empat paradigma yang digunakan mewarnai batang tubuh UU tersebut yaitu :
a. Kedaulatan
Rakyat
b. Demokrasi
c. Pemberdayaan
masyarakat
d. Pemerataan
dan keadilan
3. Pemberian
kewenangan kepada daerah terutama daerah kabupaten/kota bersifat pengakuan,
bukan bersifat pengaturan.
4. DPRD
yang bersifat sejajar dan merupakan mitra Kepala daerah dalam kenyataan
politisnya berkedudukan lebih kuat dari kepala daerah, karena dapat mengusulkan
pemberhentian kepala daerah sebelum masa jabatannya berakhir, sedangkan kepala
daerah tidak dapat membubarkan DPRD. Corak ini bersifat semi parlementer.
5. Organisasi
Pemerintahan daerah dibuat luwes dan kenyal sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan daerah bersangkutan.
6. Keempat
hak dasar yang melekat pada pengertian Otonomi Daerah yakni :
a. Hak
untuk memiliki dan mengelola kekayaannya sendiri secara bebas,
b. Hak
untuk memilih pimpinannya sendiri secara bebas,
c. Hak
untuk membuat peraturan daerahnya sendiri secara bebas,
d. Hak
Kepegawaian (hak mengangkat, menempatkan, memindahkan,mengkaji, memberhentikan
pegawaqinya sendiri) diserahkan kembali kepada Daerah Otonom.
7. Ada
upaya simplifikasi penggunaan asas penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam
bentuk penguatan asas desentralisasi dan pengurangan asas Dekonsentrasi di
kabupaten/kota, asas dekonsentrasi hanya dijalankan di wilayah propinsi saja.
8. Ada
upaya simplifikasi pengaturan mengenai desa dan kelurahan.
IMPLEMENTASI UU NO. 22 TAHUN
1999
UU No. 22 tahun 1999 yang
disahkan 7 Mei 1999 menurut pasal 132 ayat (2) dilaksanakan secara efektif
selambat-lambatnya dalam waktu dua tahun sejak tanggal yang telah ditetapkan.
Akan tetapi melalui Ketetapan MPR-RI Nomor IV/MPR/2000 tentang rekomendasi
Kebijakan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, khususnya rekomendasi
nomor 2 huruf (b), di kemukakan bahwa daerah sanggup melaksanakan otonomi
secara penuh dapat segerra memulai pelaksanaannya terhitung 1 Januari 2001 yang
tercermin dalam APBN dan APBD.
Kenyataan menunjukkan bahwa
semua Daerah menyatakan kesanggupannya untuk melaksanakan otonomi mulai tahun
anggaran 2001. Setelah UU tersebut berjalan sekitar Sembilan bulan, ditengarai
adanyan beberapa hal yang tidak sejalan dengan semangat Negara kesatuan dan
bahkan apabila diteruskan maka akan dapat membahayakan eksistensi bangsa.
Hal-hal yang controversial tersebut diantaranya :
1. Adanya
pasal-pasal dalam UU yang menimbulkan penafsiran ganda, misalnya pasal 4 ayat
(2) yang menyatakan bahwa masing-masing daerah berdiri sendiri dan tidak
mempunyai hubungan hierarki satu sama lain. Dalm prakteknya, pasal ini
diberbagai daerah menimbulkan ketidakharmonisan hubungan kerja antar Gubernur
dengan Bupati/walikota. Begitu pula pasal 63 yang mencampur adukkan pelaksanaan
asas desentralisasi denghan asas dekonsentrasi.
2. Adanya
pasal yang mengurangi kewenangan Pemerintahan Pusat secara drastis
seperti pasal 7 ayat (1) yang tidak sejalan dengan semangat Negara kesatuan.
Pada Negara kesatuan, Pemerintahan Pusat justru harus kuat dari segi ekonomi,
politik, hokum serta militer asalkan tidak bersifat represif dan intervensif.
Dengan kewenangan yang terbatas berarti membatasi gerak Pemerintah Pusat untuk
mengayomi serta memajukan kesejahteraan seluruh bangsa. Di dalam Negara
kesatuan, pemerintah pusat memiliki kewenangn untuk memasuki semua lini
pemerintahan, meskipun tidak harus membentuk institusi melainkan hanya
menugaskan pejabat sebagai penyedia.
3. Pembagian
wilayah laut sebagaimana diatur pada pasal 3 telah mendorong munculnya
sekat-sekat antardaerah yang menimbulkan bibit konflik antarwarga berkaitan
dengan pemanfaatan sumber daya yang ada di lautan.
4. Pembagian
sumber keuangan yang menguntungkan daerah-daerah tertentu telah menimbulkan
kesenjangan antardaerahdan antarwilayah.
5. Pertanggungjawaban
kepala daerah kepada DRPD tanpa memperhitungkan kenyataan social mengenai
tingkat kematangan politik dan etika politik para anggota DPRD, telah mendorong
berkembangnya politik uang di kalangan legislatif. UU ini juga memberi
kewenangan yang sangat luas kepada DPRD tanpa diimbangi adanya institusi atau
mekanisme untuk mengwasinya.
6. Adanya
perubahan system kepegawaian, dari sisten integrasi sebagaimana di atur dalam
UU No. 8 tahun 1974 jo UU No. 43 Tahun 1999, menjadi system terpisah sebagaiman
diatur di dalam pasal 76 UU No. 22 tahun 1999, telah membuat PNS menjadi
terkotak-kotak oleh semangat kedaerahan yang tinggi yang tidak sejalan dengan
semangat kebangsaan. Padahal PNS merupakan salah satu unsure perekat Negara
kesatuan.
7. Hubungan
Desa dengan kabupaten seperti juga hubungan antar daerah Propinsi dengan daerah
kabupaten/kota bersifat saling bebas (tidak dalam hubungan hierarki). Hal ini
menyebabkan adanya desa-desa yang tidak terbina. Terlebih lagi Camat bukanlah
Kepala Administratif melainkan Perangkat Daerah yang mempunyai lingkungan kerja
tertentu, sehingga rentang kendali Bupati terhadap Desa menjadi bersifat
langsung dan terlalu luas.
Setelah UU No.22 Tahun 1999
dan UU NO. 25 Tahun 1999 dilaksanakan secara efektif sejak 1 Januari 2001,
dapat ditengarai gejala-gejala umum yang bersifat positif maupun negative.
Uraiannya sebagai berikut :
DAMPAK POSITIF
1. Hak-hak
dasar daerah otonomi yang meliputi kebebasan untuk memilih pemimpinnya sendiri,
kebebasan memiliki, mengelola dan memanfaatkan sumber keuangannya sendiri,
kebebasan untuk memiliki pegawai sendiri secara substantive telah diberikan
kepada daerah otonom.
2. Mulai
berkembangnya inisiatif dan kreatifitas daerah untuk membangun daerahnya
berkompetisi dengan daerah-daerah otonom lainnya.
3. Mulai
tumbuhnya iklim demokrasi yang lebih banyak melibatkan masyarakat
berpartisipasi pada tahap perumusan, implementasi pemanfaatan serta evaluasi
kebijakan public yang dibuat oleh Pemerintah daerah.
4. Mulai
munculnya independensi relatif dari daerahterhadap pemerintah pusat dalam
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi di daerah.
DAMPAK NEGATIF
1. Menguatnya
rasa kedaerahan sempit yang apabila tidak dicermati dan diantisipasi secara
tepat akan bersifat kontra produktif terhadap upaya membangun wawasan
kebangsaan.
2. Munculnya
gejala ekonomi biaya tinggi sebagai akibat daerah hanya mengejar kepentingan jangka
pendek dalam rangka menghimpun pendapatan daerah membiayai otonominya sendiri.
3. Otonomi
daerah masih dipahami secara sempit sehingga hanya pemerintah daerah saja yang
sibuk, sedangkan masyarakat luas belum dilibatkan secara aktif.
4. Adanya
gejala ketidak patuhan daerah dan atau penafsiran secara sepihak terhadap
berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah pusat.
5. Adnya
kecederungan pergeseran titik pusat kekuasaan di daerah dari eksekutif ke
tangan legislative yang diikuti pula dengan pergeseran pusat-pusat korupsinya.
REVISI UU NO. 22 TAHUN 1999
Ada tiga alasan utama mengenai
perlunya revisi secara mendasar terhadap UU No. 22 tahun 1999, yaitu :
1. ALASAN
HUKUM
Adanya amandemen kedua UUD
1945, khususnya pasal 18 mengharuskan adanya penyesuaian UU organiknya.
Perubahan mendasar yang tercantum dalam amandemen kedua UUD 1945 pasal 18 yaitu
:
a) ü Adanya
pembagian Daerah Otonom yang bersifat berjenjang (propinsi, kabupaten dan kota)
b) ü Daerah
Otonom mengatur dan mengurus urusan pemerintahan menurut asas Otonomi dan Tugas
Pembantuan
c) ü Secara
eksplisit tidak tersinggung mengenai asas dekonsentrasi
d) ü Pemerintah
Daerah Otonom memiliki DPRD yang anggotanya dipilih melalui Pemilihan Umum
e) ü Kepada
daerah dipilih secara demokratis
f) ü Pemerintah
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintah pusat.
2. ALASAN
ADMINISTRATIF
Terlampau luasnya rentang
kendali antara pemerintah pusat terhadap kabupaten/kota secara langsung, serta
antara kabupaten kepada desa, sehingga memperlemah aspek pengawasan dan
pembinaan serta penyerasian. Hal tersebut akan dapat menimbulkan kesenjangan
antardaerah dan antar wilayah yang pada akhirnya dapat menimbulkan konflik
social di masyarakat.
3. ALASAN
EMPIRIS
Telah timbulnya berbagai
masalah actual yang dapat mengganggu kegiatan berbangsa, bernegara serta
berpemerintahan, antara lain :
a) ü Penyelenggaraan
Otonomi tidak dianggap sebagai amanat konstitusi, sehingga proses
desentralisasi berjalan sangat lambat.
b) ü Adanya
kesenjangan yang lebar antara daerah dengan pusat dan antar daerah dalam
pemilikam sumberdaya alam, sumberdaya budaya serta SDM
c) ü Munculnya
konflik antardaerah maupun antarwarga dalam memanfaatkan sumber daya nasional.
d) ü Adanya
gejala pengurasan sumber daya alam secara berlebihan sehingga membahayakan
kelestarian lingkungan maupun gejala ekonomi biaya tinggi dalam rangka mengejar
target PAD yang besar.
e) ü Adanya
kecenderungan pergeseran titik berat dominan kegiatan dari eksekutif kearah
legislatif.
f) ü Pembagian
kewenangan yang tidak tegas dan tuntas antar Pemerintah Pusat, propinsi,
kabupaten/kota menimbulkan daerah rawan politik.
II. OTONOMI BERDASARKAN UU
NO. 32 TAHUN 2004
Dari perspektif para pembuat
kebijakan (pemerintah), evaluasi terhadap UU No. 22 Tahun 1999 ini menghasilkan
beberapa hal penting dan mendasar, diantaranya :
1. Pada
tataran konsep, UU ini kurang komprehensif dalam pengaturan terhadap konsep
dasarnya seperti pembagian kewenangan, hubungan antarstrata pemerintahan dan
perimbangan keuangan.
2. Pada
tataran instrument, UU No. 22 tahun 1999 memberi kuasa kepada pemerintah untuk
meengatur tindak lanjut kebijakan desentralisasi tanpa diberikan rambu-rambu,
sehingga menimbulkan peluang munculnya kebijakan yang tidak
mendorong otonomi daerah.
3. Pada
tataran implementasi, dalam pengelolaan kewenangan sering memunculkan friksi
antar tingkat pemerintahan sehingga cenderung mengganggu pelayanan umum.
Sehubungan dengan hal-hal
tersebut diatas UU No. 22 Tahun 1999 mengalami perubahan menjadi UU No. 32
Tahun 2004. Terkait dengan adanya penyempurnaan terhadap UU tentang
pemerintahan daerah, maka prinsip-prinsip penyempurnaan yang digunakan dalam UU
no. 32 tahun 2004 sangat memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a) ü Kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah tetap dilaksanakan dan tidak untuk
melakukan resentralisasi.
b) ü Konsep
otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab tetap dijadikan acuan dengan
meletakkan pelaksanaan otonomi pada tingkat daerah yang paling dekat dengan
masyarakat.
c) ü Tujuan
pemberian otonomi tetap seperti yang dirumuskan sampai saat ini yaitu
memberdayakan potensi daerah, mendorong prakarsadan peran masyarakat.
d) ü Asas
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan diselenggarakan secara
proporsional.
e) ü Melengkapi
beberapa ketentuan yang belum cukup diatur
f) ü Penyempurnaan
dimaksudkan untuk memberi tambahan penjelasan.
PARADIGMA PERUBAHAN
UU No. 32 Tahun 2004 ini
terdiri dari 26 bab,240 pasal. Apabila disbanding dengan UU No. 22 Tahun 1999,
maka UU ini lebih lengkap dan memperkenalkan beberapa bab baru yang merupakan
implementasi dari aspirasi banyak orang, aspirasi beberapa pakar, dan aspirasi
dari perubahan itu sendiri.
Hal baru yang tercantum dalam
UU ini diantaranya :
1. Pembentukan
daerah dan kawasan khusus
2. Pilkada
secara langsung
3. Pembagian
urusan pemerintahan
4. Keuangan
daerah
5. Kontrol
terhadap deficit daerah
6. Penetapan
APBD (Mendagri control APBD provinsi)
7. Penguatan
posisi gubernur
8. Penetapan
APBD (gubernur control APBD Kab./kota
9. Kelembagaan
DPRD sebagai penyelenggaraan pemerintahan daerah
10. Pertanggungjawaban
kepala daerah
11. Impeachment
kepala daerah
UU
No. 22 Tahun 1999
|
UU
No. 32 Tahun 2004
|
1.
DPRD
berkedudukan sejajar dan menjadi mitra Pemerintah Daerah.
2.
Pemerintah
Daerah terdiri dari gubernur,bupati/walikota, dan perangkat daerah yang
lainnya.
3.
Desentralisasi
merupakan titik berat otonomi daerah.
4.
Otonomi luas,
nyata, dan bertanggungjawab.
5.
Titik berat
adalah kabupaten/kota.
6.
Substansinya
telah mengatur tentang pemerintahan daerah/desa.
7.
DPRD
berkedudukan sebagai Lembaga Legislatif Daerah.
8.
Pemilihan
Kepala daerah melalui perwakilan (DPRD).
|
1.
DPRD
berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan.
2.
Pemerintah
daerah terdiri dari pemerintah propinsi, dan DPRD propinsi.
3.
Pemerintah
kab/kota terdiri dari pemerintah dan DPRD Kab/kota.
4.
Desentralisasi
dilaksanakan bersamaan dengan tugas pembantuan.
5. Otonomi luas,
nyata, dan bertanggungjawab.
6.
Titik berat
otonomi pada kabupaten/kota.
7.
Mengatur
pemerintahan desa (ada pengakuan tentang otonomi desa)
8.
DPRD
berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan dan mitra Pemerintah
daerah.
9.
Pilkada secara
langsung oleh rakyat.
|