BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Reformasi dan Budaya Inovasi Birokrasi Merupakan Kebutuhan Dasar Kita |
Pada 2004 Asian Development Bank dan Kemitraan untuk
Reformasi Tata Pemerintahan di Indonesia (Partnership for Governance Reform in
Indonesia) menerbitkan Laporan Tata Pemerintahan Negara Indonesia. Laporan
tersebut menyimpulkan bahwa tiga tujuan reformasi tata pemerintahan yang
ditempuh oleh Pemerintah Indonesia yakni, penataan struktur pemerintahan
negara, desentralisasi pemerintahan, dan reformasi keuangan negara, telah
berjalan cukup lancar tetapi belum berhasil seperti diharapkan.
Skala reformasi yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia
dinilai cukup luas cakupannya, bahkan dipandang terlalu luas dan terlalu cepat
dari yang pernah dijalankan oleh banyak negara-negara di dunia. Indonesia juga
dipandang telah melakukan perubahan radikal dalam tata hubungan antara pusat
dan daerah melalui program desentralisasi pemerintahan yang belum pernah
ditempuh oleh negara mana pun di dunia.
Tetapi mengapa reformasi pemerintahan negara
yang demikian luas jangkauannya dan begitu radikal perubahannya belum berhasil
menciptakan good governance yang mampu membawa Indonesia keluar dari multi
krisis yang sudah melanda bangsa ini sejak 1998?
Mengapa kita belum seberhasil?
Muangthai dan Korea Selatan yang telah mampu keluar dari krisis ekonomi yang
sebenarnya lebih parah?
Harus kita fahami bersama,
bahwa pembangunan bagi sebuah Negara merupakan hal yang sangat esensial dalam
rangka mencapai tujuan utama dari keberadaan sebuah Negara yakni bagaimana
mewujudkan kebahagiaan bagi masyarakatnya. Dalam konteks Indonesia, tujuan dari
dibentuknya pemerintahan negara Indonesia sebagaimana termaktub dalam pembukaan
UUD 1945 adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Untuk mencapai tujuan tersebut,
dilaksanakanlah sejumlah program pembangunan dari semenjak awal berdirinya
Republik Indonesia sampai dengan saat ini baik yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
Keberhasilan dari pembangunan tersebut salah satunya
akan sangat ditentukan oleh kemampuan Pemerintah dalam membuat dan
mengimplementasikan kebijakan yang benar dan sesuai dengan kondisi lokal serta
dalam mengembangkan perangkat kelembagaan yang akan menjadi infrastruktur utama
dalam pelaksanaan pembangunan tersebut.
Dalam Jurnal Ilmu Administrasi yang berjudul “ Budaya Inovasi dan Reformasi
“ halaman 1 mengatakan bahwa dewasa ini,
dalam birokrasi pemerintahan Indonesia cukup banyak permasalahan yang menjadi
isu public yang beberapa dari permasalahan itu tertuang dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional ( RPJMN ) tahun 2004- 2009 antara
lain : tigginya penyalahgunaan
kewenangan dan penyimpangan; rendahnya kinerja sumberdaya aparatur; belum memadainya
sistem kelembagaan (organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan;
rendahnya kesejahteraan PNS; serta banyaknya peraturan perundang-undangan yang
sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan pembangunan.
Isu- isu publik tersebut pada dasarnya bukanlah isu-
isu yang baru dalam birokrasi berdasarkan telaah atas berbagai dokumen rencana
pembangunan nasional yakni sejak Rencana Pembangunan Lima Tahun ( Repelita ) I
tahun 1969/1970- 1973/1974 sampai dengan RPJM tahun 2004- 2009. Berdasar telaah
tersebut didapati bahwa sebagian besar
isu dalam birokrasi yang sekarang berkembang adalah isu- isu klasik yang sudah
muncul lama, bahkan sebelum repelita I digulirkan.
Hal ini yang membuat
sangat menarik dimana isu- isu publik tersebut dari waktu ke waktu belum
mampu di pecahkan dan masih bertahan. Sementara sejak tahun 1966 hingga masa
RPJMN 2004/2009 sekarang ini, pemerintah telah melaksanakan berbagai program
dan kegiatan yang ditujukan untuk reformasi birokrasi. Belanja public yang
terserap untuk kepentingan reformasi birokrasi ini juga tidak sedikit. Hal ini
patut dipertanyakan.
Budaya inovasi yang sejatinya merupakan salah satu
aspek budaya birokrasi yang sangat penting bagi keberhasilan reformasi
birokrasi belum menjadi nilai utama dari budaya birokrasi pemerintah di
Indonesia saat ini. Pada dasarnya birokrasi pemerintah di Indonesia memiliki
potensi untuk melakukan berbagai inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan. Pemahaman atas kemampuan inovasi tersebut akan membantu birokrasi
pemerintah untuk melakukan inovasi. Namun demikian, tidak serta merta kemampuan
inovasi ini mampu menghasilkan inovasi dengan sendirinya.
Inovasi penting dalam
setiap lapisan pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pentingnya inovasi pada pemerintahan lokal di Indonesia
mulai menjadi perhatian sejak terjadinya pergeseran sistem pemerintahan dari
sentralisasi ke desentralisasi. Dengan desentralisasi, daerah dituntut untuk
mandiri yakni penciptaan daerah yang kompetitif bagi keberlangsungan daerah
tersebut. Inovasi di pemerintah daerah merupakan keharusan dalam upaya mencapai
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dan daerahnya.
1.2
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
reformasi birokrasi dalam kaitannya dengan budaya inovasi dalam birokrasi?
1.3
TUJUAN
1.
Mengetahui
reformasi birokrasi dalam kaitannya dengan budaya inovasi dalam birokrasi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 INOVASI DAN REFORMASI ADMINISTRASI
2.1.1 Makna Reformasi Administrasi
Sebagaimana
halnya dalam ilmu-ilmu sosial, konsep reformasi administrasi diartikan berbeda
antara pakar yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu, sebenarnya tidak ada
konsepsi yang dapat diterima secara umum. Hal ini sesuai dengan pendapat dari
Gerald E. Caiden (1969) yang menyatakan bahwa studi tentang reformasi
administrasi terhambat oleh tidak adanya definisi yang bisa diterima secara
universal. Perbedaan pemakaian istilah ini telah menyebabkan adanya kesulitan,
tidak hanya dalam menentukan parameter dalam penelitian namun juga dalam
pengembangan teori.
Namun
demikian, definisi reformasi administrasi yang dikemukakan oleh Caiden
seringkali digunakan sebagai konsep dasar dalam memaknai reformasi
administrasi. Caiden (1969) mendefinisikan reformasi administrasi
sebagai: the artificial inducement of administrative transformation
against resistance. Berdasarkan definisi ini, reformasi administrasi
mempunyai tiga unsur yang melekat, yaitu (1) reformasi administrasi merupakan
usaha yang dibuat oleh manusia, tidak bersifat otomatis ataupun alamiah, (2)
reformasi administrasi merupakan suatu proses, (3) adanya resistensi yang
beriringan dengan proses reformasi administrasi. Dalam hal ini, reformasi
administrasi muncul sebagai implikasi tidak berfungsinya perubahan administrasi
yang terjadi secara alamiah.
Sebagai
sebuah kegiatan yang berawal dari penciptaan manusia, reformasi administrasi
tidak bisa dipisahkan dari sebuah inovasi. Selama perubahan administrasi tidak
berjalan sebagaimana mestinya, maka diperlukan inovasi untuk menyelamatkan
kegiatan administrasi. Dalam perkembangan awal, inovasi merupakan bagian dari sebuah
reformasi administrasi, namun seiring perkembangan teori dan pengalaman
praktis, inovasi merupakan reformasi itu sendiri. Caiden (1969) menguraikan
inovasi sebagai bagian dari reformasi administrasi (administrative reform).
Hanya saja, konsep inovasi kemudian masih belum cukup populer dalam ranah
administrasi publik dan reformasi administrasi. Inovasi populer dalam bidang
tersebut baru pada beberapa dekade terakhir.
Kurang
populernya konsep inovasi pada era administrasi publik tradisional dapat dipahami
karena karakter reformasi yang lebih didasarkan pada prinsip-prinsip birokrasi
Weber. Dalam konsepsi weber, birokrasi memerlukan aturan yang jelas, hirarki,
spesialisasi dan lingkungan yang relatif stabil. Dalam konteks ini, inovasi
dipandang tidak banyak diperlukan bagi aparatur birokrasi pemerintah. Kewajiban
administrator pemerintah adalah menjalankan aturan yang telah ditetapkan (rule
driven). Jika kemudian inovasi dilaksankan, hanya dalam intensitas yang
kecil dan dilakukan terbatas pada level pimpinan puncak. Inovasi, dalam hal ini
sebagaimana reformasi administrasi dilakukan melalui mekanisme top
down (Caiden, 1969).
Bergulirnya new
public management (NPM) mulai menggeser hegemoni konsepsi Weber dalam
reformasi administrasi. Reformasi mengalami pembelokan arah menuju birokrasi
yang mengedepankan hasil, partisipasi, berorientasi pelanggan, digerakan oleh
misi, dan desentralisasi (Osborne, 1992). Pada era ini, inovasi justru sangat
dihargai oleh pendukung gerakan reformasi. Perkembangan terakhir menunjukan
kemajuan pada penggunaan istilah inovasi dalam bidang administrasi publik. Pada
negara seperti Korea, konsep inovasi bahkan telah “menggantikan” konsep
reformasi (Asropi, 2008). Pengalaman Korea menunjukan bahwa penerapan inovasi
pada negara tersebut telah meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan
di tingkat lokal (Yoo, 2002). Keberhasilan sebagaimana Korea ini juga terjadi
pada penerapan inovasi di Kanada (Robertson and Ball, 2002). Sementara di
China, inovasi telah dianggap sebagai bagian dari tradisi China (Shenkar,
2006). Inovasi atas birokrasi sangat mendukung bagi berkembangnya ekonomi dan
teknologi China dewasa ini. Semua ini menunjukan nilai penting inovasi bagi
perubahan yang dinginkan dalam sebuah reformasi administrasi.
Reformasi administrasi tidak bisa
dipisahkan dari sebuah inovasi. Selama perubahan administrasi tidak berjalan
sebagaimana mestinya, maka diperlukan inovasi untuk menyelamatkan kegiatan
administrasi. Dalam perkembangan awal, inovasi merupakan bagian dari sebuah reformasi
administrasi, namun seiring perkembangan teori dan pengalaman praktis, inovasi
merupakan reformasi itu sendiri. Caiden (1969) menguraikan inovasi sebagai
bagian dari reformasi administrasi (administrative reform).
2.2
LANDASAN REFORMASI BIROKRASI DI INDONESIA
Pelaksanaan
reformasi birokrasi telah mendapatkan landasan yang kuat melalui penerbitan
PeraturanPresiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi
2010-2025. Selanjutnya,dalam implementasinya telah ditetapkan landasan operasional
dalam bentuk Peraturan Menteri PANdan RB Nomor 20 tahun 2010 tentangRoad Map
Reformasi Birokrasi 2010-2014. Kemajuan yangcukup berarti, dalam tahun 2010
ini, sebanyak 9 kementerian/lembaga telah melaksanakan reformasibirokrasi
instansi (RBI).
Dengan demikian, saat ini sudah terdapat 13
K/L yang melaksanakan RBI. Dalam rangka meningkatkan koordinasi, menajamkan dan
mengawal pelaksanaan reformasibirokrasi, telah ditempuh langkah-langkah
kebijakan, antara lain;
·
penerbitan Keppres 14 Tahun 2010 tentang Pembentukan Komite
Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim Reformasi BirokrasiNasional, yang
disempurnakan menjadi Keppres Nomor 23 Tahun 2010;
·
Keputusan Menpan dan RBNomor 355 Tahun 2010 tentang
Pembentukan Tim Independen, dan Keputusan Menpan dan RBNomor 356 Tahun 2010
tentang Pembentukan Tim Penjamin Kualitas (Quality Assurance).
·
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025
mengamanatkan bahwapembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi
birokrasi untuk mendukung keberhasilanpembangunan bidang-bidang lain.
Terkait dengan hal itu, Grand Design dan Road
Map Reformasi Birokrasi ditetapkan sebagai rancangan induk dan peta jalan untuk
mewujudkan amanat tersebut. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Ismail Mohammad Menyatakan Reformasi birokrasi juga bermakna sebagai
sebuah pertaruhan besar bagi bangsa Indonesia dalam mengarungi abad ke-21.
Jika pertaruhan dalam melaksanakan reformasi
birokrasi berhasildilaksanakan dengan baik, dapat dipastikan Indonesia menjadi
negara yang memiliki birokrasibersih, kompeten, dan melayani. Indonesia pun
mampu meningkatkan mutu perumusan danpelaksanaan kebijakan/program pemerintah
serta mampu mengurangi dan menghilangkan setiappenyalahgunaan kewenangan
publik.
Disebutkan
bahwa kebijakan dan program reformasi birokrasi yang tertuang dalam Grand
Design dan Road Map, antara lain, mencakup berbagai langkah perubahan di semua
aspek manajemenpemerintahan dari aspek organisasi, tata laksana, sumber daya
manusia aparatur, peraturanperundang-undangan, pengawasan, akuntabilitas,
pelayanan publik dengan melakukan perubahanbudaya kerja aparatur (culture-set
dan mind-set). Pelaksanaan dari kebijakan dan program reformasibirokrasi
dilakukan melalui proses yang terdesentralisasi, serentak, dan bertahap serta
terkoordinasi.
2.3 LANGKAH-LANGKAH MEMBANGUN REFORMASI BIROKRASI
Menurut beberapa referensi yag kami baca,inti dari Reformasi
Birokasi, harus mengarah pada perbaikan kinerja (hasil). Berikut 7 tahap yang
harus dibangun dalam reformasi birokasi terutama untuk pemerintahan daerah:
1. Bangun
Sistem Usulan dan Pemantauan Hasil Pembangunan antara Masyarakat dan Struktur
Pemerintahan
Karena
tujuan reformasi birokrasi adalah perbikan kinerja, sedangkan kinerja dituntut
oleh “pemilik” maka yang harus pertama kita perbaiki adalah hubungan antara masyarakat
sebagai “pemilik” dan struktur pemerintahan sebagai “operator”. Fokus diskusi
kita di sini adalah hubungan terkait dengan mekanisme aspirasi/usulan kinerja
dan mekanisme monitoring kinerja.
Yang
harus dihasilkan pada tahap pertama ini adalah satu mekanisme hubungan yang
efektif antara masyarakat termasuk kelompok masyarakat sipil, DPRD dan
pemerintah dalam mengelola aspirasi masyarakat ke dalam bentuk “mandat” dan
memonitor pencapaian dari mandat tersebut. Mandat harus dirumuskan dalam bentuk
hasil atau kinerja.Untuk itu ada beberapa hal yang harus dilakukan:
(1) Memperbaiki
tata tertib DPRD agar lebih transparan;
(2) Memperbaiki
hubungan DPRD dengan “konstituennya” sehingga lingkup konstituen menjadi
kewilayahan bukan pada “kelompok yang memilih saya”.
(3) Penguatan
kompetensi DPRD dalam menjalankan peran perencanaan dan monitoring kinerja yang
partisipatif
(4) Penguatan
kelompok masyarakat sipil dan kelompok kepentingan lainnya agar dapat mandiri
dan juga menjalankan peran fasiltiasi perencanaan dan monitoring kinerja secara
partisipatif;
(5) Membangun
transparansi yang proaktif di pemerintahan;
(6) Memperbaiki
hubungan antara unit-unit pelayanan publik danpara pelanggannya terutama agar
aspirasi dan keluhan pelanggan diperiksa setiap waktu dan dijadikan masukan
untuk perbaikan pengelolaan unit pelayanan publik secara terus menerus.
2. Definisikan
Hasil dan Anggaran untuk Mencapai Hasil dalam RPJMD/Renstra
Sebelum
PP 6/08 dan PP 8/08, perencanaan daerah bersifat perencanaan kegiatan/program.
Hal ini membuat sistem birokrasi sibuk dengan kegiatan dan program tetapi tidak
tau apa yang dicapai. Pendekatan ini bukan hanya berpotensi membelanjakan dana
publik untuk hal yang tidak perlu, tetapi juga membuat struktu birokasi tidak
tau persis apa yang harus dilakukan. Semua hal terlihat penting.
Pendekatan
ini harus diubah!. Setelah PP 6/08 dan PP 8/08 pemerintahan daerah harus
berpikir HASIL. Merencanakan HASIL, menganggarkan untuk HASIL, memonitor HASIL
dan melaporkan HASIL. Pemilik (baca: rakyat) tidak terlalu pusing dengan apa
yang dilakukan oleh birokrat, para pembayar pajak lebih mementingkan pencapaian
hasil. Mereka ingin agar pasar tidak kumuh lagi, jalanan tidak macet lagi,
semua anak bersekolah, semua orang yang sakit dapat perawatan, mudah dapat
modal usaha dll.
Rumusan
hasil harus datang dari warga masyarakat lewat satu mekansime tertentu yang
menjamin keterwakilan dan transparansi.
Anggaran
harus dirancang untuk mencapai hasil, bukan hanya untuk melaksanakan kegiatan.
Pada akhirnya setiap hasil harus didelegasikan kepada jabatan-jabatan yang ada
di Pemda dalam bentuk kontrak kinerja.
3. Bangun
Tata Organisasi, Tata Laksana dan Deskripsi Jabatan yang Mendukung Pencapaian
Hasil-Hasil
Atas
dasar RPJMD/Renstra, Biro/Bagian Organisasi bersama dengan setiap SKPD
menyusun: (a) struktur organisasi, (b) tata laksana ataustandard operating
procedure (SoP), (c) uraian jabatan yang mencakup standar kompetensi dan
target kinerja (hasil).
SoP
harus memberikan kepastian tercapainya hasil-hasil yang telah dimandatkan oleh
masyarakat. SoP juga menjelaskan tugas dan capaian dari setiap jabatan yang ada
di SKPD berdasarkan RPJMD/Renstra. Uraian jabatan, terutama standar kompetensi,
mendefinisikan dengan jelas indikator-indikator kompetensi yang harus dimiliki
oleh orang yang akan menempati jabatan. Selain itu, uraian jabatan juga secara
tegas menetapkan hasil-hasil yang harus didapat oleh setiap pemegang jabatan.
Pada
akhirnya, Biro/Bagian Organisasi siap menyampaikan paket deskripsi jabatan
berikut kontrak kinerja untuk setiap jabatan kepada BKD. Untuk selanjutnya BKD
mencari orang yang tepat untuk menduduki jabatan tersebut.
4. Pastikan
Setiap Pegawai Menempati Posisi yang Tepat untuk Mencapai Hasil-Hasil
Selanjutnya
BKD mencari orang yang tepat untuk menduduki jabatan sesuai uraian jabatan yang
dibuat oleh Biro/Bagian Organisasi. Berdasarkan deskripsi jabatan juga, BKD
dapat menyusun pola karir pegawai agar sistem promosi dan mutasi pegawai
dikelola secara profesional sesuai dengan potensi yang dimiliki setiap pegawai.
Rekrutmen
pegawai baru dilakukan lewat analisis kebutuhan pegawai yang profesional dengan
mempertimbangkan hasil ananlisis jabatan tadi. Sebagai hasilnya, pegawai yang
direkrut adalah orang-orang yang benar-benar atau paling paling mendekati
standar kompetensi yang diharapkan.
Promosi
jabatan juga dilakukan secara profesional. Pertimbangan politik sangat minim.
Lewat informasi pola karir dan sistem informasi kepegawaian dan sistem promosi
yang terbuka, pemda akan mendapatkan pegawai yang paling tepat menduduki
jabatan struktural atau fungsional uang kosong.
5. Pastikan
Setiap Pegawai Memiliki Kompetensi Memadai Untuk Mencapai Hasil-Hasil
BKD
juga melakukan pengkajian kompetensi pegawai secara reguler. Hasilnya berupa
kebutuhan pengembangan kompetensi dibahas bersama dengan Badan Diklat. Seluruh
kebutuhan diklat dikerjakan oleh Badan Diklat sesuai dengan analisis kebutuhan
diklat sebagai tindak lanjut dari analsisi kompetensi yang dilakukan BKD.
Badan
Diklat tidak melakukan kegiatan diklat kecuali yang memang dibutuhkan oleh para
pegawai untuk memenuhi target kinerjanya sesuai dengan kontrak kinerja yang
sejalan dengan Renstra/RPJMD dan tuntutan warga masyarakat.
Upaya-upaya
pengembangan kompetensi lainnya selain pelatihan (misalnya: magang, studi
banding, bimtek, dll) dilakukan bersama dengan BKD dan SKPD-SKPD terkait.
6. Lengkapi
Fasilitas dan Peralatan Kerja Pegawai Sesuai Kebutuhan untuk Mencapai
Hasil-Hasil
Dinas
Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan Aset (DP2KA)membuat analisis kebutuhan
peralatan dan fasilitas kerja, dan bersama dengan dinas komunikasi dan
informasi juga mengkaji kebutuhan teknologi informasi. Seluruh belanja barang
yang terkait dengan fasilitas dan peralatan kerja dilakukan oleh DP2KA atas
konsultasi dengan SKPD terkati dengan didasarkan atas analisis kebutuhan yang
profesional. Proses pengadaan dilakukan lewat prosedur standar seperti diatur
dalam aturan pengadaan.
Dengan
demikian, tidak ada satu pun pegawai yang tidak memiliki peralatan dan
fasilitas kerja minimal. Tetapi juga tidak ada pegawai yang memiliki fasilitas
yang berlebihan dan tidak diperlukan untuk menjalankan tugasnya.
7. Bangun
Sistem Pemeliharaan Motivasi Pegawai: Prosperity
Follow Performance
Salah
satu hal yang sangat mempengaruhi motivasi adalah struktur dan besaran
remunerasi. Di sini saya bilang struktur dan besaran, bukan hanya besaran. Ada
banyak contoh kasus dimana remunerasi besar tidak bisa mendorong motivasi jika
tidak diatur oleh struktur yang cocok.
2.4 BEST PRACTICE INOVASI
DALAM BUDAYA BIROKRASI DI INDONESIA
Dalam
dasawarsa terakhir, praktek inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di
Indonesia secara empiris banyak kita saksikan. Beberapa daerah yang sering
menjadi rujukan sebagai best practices dalam penerapan inovasi adalah
Provinsi Gorontalo, Kabupaten Sragen, kabupaten Jembrana, dan Kota Surakarta
Kita
ambil contoh Kabupaten Jembrana, dalam prakteknya berinovasi dalam 3 prioritas utama yakni
bidang pendidikan, Kesehatan dan Ekonomi
(Daya Beli Masyarakat) serta pelayanan umum
masyarakat baik fisik dan non fisik.Di bidang pendidikan Kabupaten
Jembrana berinovasi yang meliputi :
1.
Memberikan
kesempatan belajar yang seluas-luasnya kepada masyarakat Jembrana, baik pada sekolah-sekolah negeri
maupun pada sekolah swasta, melalui :
a.
Program
pembebasan SPP pada sekolah negeri dari jenjang SD, SLTP, SLTA
b.
Program pemberian
beasiswa kepada siswa di sekolah swasta, yang akan dibiayai dengan jumlah masing-masing Rp. 7.500,- untuk
SD, Rp. 12.500,- pada SLTP dan 20.000,- untuk SMA.
c.
Pemberian bonus
beasiswa untuk siswa yang berprestasi
2.
Peningkatan
Kualitas Guru melalui :
b.
Memberikan
pendidikan dan laitihan
·
Memberikan
kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi melanjutkan ke D-3,
D-4, S-1 dan S-2 dengan biaya sebagian ditanggung dari pemerintah Kabupaten.
·
Memberikan
penyegaran pada setiap liburan semester.
c.
Pemberian
Motivasi :
·
Pemberian
insentif tambahan untuk guru setiap jam Rp. 5.000,- diluar tunjangan guru dan
bonus Rp. 1.000.000,- setiap tahun.
·
Pertemuan guru
seluruh guru di Kabupaten Jembrana dengan Bupati yang
menjadi agenda tetap setiap bualan, dimana
diatur pada setiap kecamatan.
3.
Peningkatan
sarana dan prasarana dengan pola Block Grant, bukan proyek.
4.
Pengembangan
Model Pola Pendidikan melalui Program Sekolah Kajian,
Pemerintah Kabupaten Jembrana juga melakukan
trobosan kreatif dan inovetif dengan
membuka sekolah yang disebut sebagai Sekolah Kajian. Sekolah Kajian adalah merupakan pengembangan
model pola pendidikan dari perpaduan
anatara beberapa pola pendidikan pada sekolah, seperti SMU Taruna Nusantara, Pola Pendidikan di Pondok
Pesantren, dan pola pendidikan sekolah- sekolah di Jepang.
Di bidang Kesehatan, Kabupaten Jembrana melakukan
inovasi meliputi :
1.
Program makanan
sehat.
2.
Program perilaku
hidup sehat.
3.
Program diteksi
dini.
Ketiga program ini diimplementasikan pada kegiatan
penyuluhan-penyuluhan dan pembinaan
kesehatan masyarakat, yang dipelopori mulai dari sekolah yang
diintegrasikan dengan program UKS (Usaha
Kesehatan Sekolah). Faktor keempat untuk
meningkatkan derajat kesehatan yaitu Pelayanan Kesehatan. Berdasarkan
permaslahan pada kualitas pelayanan kesehatan pada Puskesmas maka pemerintah kabupaten Jembrana membuat
kebijakan dengan program JKJ (Jaminan
Kesehatan Jembrana). JKJ ini merupakan pemberian asuransi kesehatan
kepada seluruh masyarakat.
Di bidang pelayanan umum, pemerintah Kabupaten
Jembrana melakukan inovasi seperti memberikan pelayanan satu pintu, membuat
J-ID ( Jembrana Indentitas Diri ) merupakan
kartu multi fungsi, mengembangkan program e-government dalam pemerintahan
dan lainnya.
Dengan merujuk pada kinerja pemerintahan dan
pembangunan di daerah-daerah tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa inovasi
sangat diperlukan bagi birokrasi pemerintah dalam proses reformasi. Kemampuan
pemerintah daerah untuk melakukan inovasi juga tampaknya berkorelasi positif
dengan dukungan masyarakat di daerah tersebut. Bentuk dukungan yang paling
nyata adalah terpilihnya kembali Gubernur, Bupati atau Walikota untuk periode
kedua di daerah tersebut. Keberhasilan pemimpin di daerah tersebut untuk
mendapatkan dukungan dan kepercayaan publik adalah karena strategi dan
kebijakan yang telah mereka kembangkan pada periode kepemimpinan sebelumnya
telah memberikan hasil yang dapat dirasakan oleh masyarakat.
Seiring dengan hal tersebut, inovasi kemudian menjadi
kata yang populer di lidah dan telinga penyelenggara pemerintahan di Indonesia.
Dalam perkembangan sekarang ini, inovasi bahkan diyakini sebagai keharusan bagi
pemerintah daerah. Dasar pemikirannya adalah bahwa inovasi telah terbukti meningkatkan
efektivitas pemeritah daerah. Lebih dari itu, inovasi diperlukan dalam
menghadapi kondisi lingkungan pemerintah daerah dewasa ini. Sejak otonomi
daerah digulirkan tahun 1999, pemerintah daerah selain memiliki kewenangan yang
luas dalam mengelola pemerintahan di tingkat daerah, juga memiliki kewajiban
yang besar untuk memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakatnya. Dalam
konteks ini inovasi diperlukan agar kualitas pelayanan yang diberikan
pemerintah daerah lebih dekat dengan kebutuhan nyata masyarakat.
Mesipun kesadaran perlunya inovasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah tampaknya makin menguat, namun
kenyataannya belum banyak pemerintah daerah sekarang ini yang menerapkan
inovasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahannya. Menurut Jurnal yang kami
telaah mengatakan bahwa dari keseluruhan jumlah pemerintah daerah yang terdiri
dari 33 provinsi dan 472 Kabupaten/Kota, diperkirakan tidak lebih dari 5 % yang
menonjol dalam inovasi. Pada umumnya, pemerintah daerah memberlakukan
penyelenggaraan pemerintahan sebagai rutinitas, business as usual. Berbagai upaya
pemerintah untuk mendorong inovasi pada birokrasi melalui berbagai penghargaan,
juga tidak banyak menunjukan hasil sebagaimana yang diharapkan.
Inovasi,
dengan demikian belum menjadi unsur penting dari budaya birokrasi pemerintah.
Hal demikian ini juga mengindikasikan bahwa birokrasi pemerintah sekarang belum
mampu menyerap dan mengembangkan nilai-nilai manajemen yang lebih maju. Menurut
Farago dan Skymer ( 1995 ) masalah itu muncul karena :
1. Learning Culture.
Budaya Pembelajaran di kalangan Instansi pemerintahan tampak semakin meredup.
Sedangkan di satu sisi karakteristik budaya pembelajaran berkaitan sangat kuat
terhadap inovasi sebuah organisasi.
2. Processes.
Proses manajemen kunci berorientasi pada internal per se, terkungkung dalam wilayah internal yang membutakan wawasan dan pengetahuan
penghuni- penghuni di dalamnya. Hal ini seringkali menimbulkan prasangka bahwa
sebagian besar institusi pemerintah sekitarnya bukanlah mitra tetapi pesaing
yang harus dikalahkan.
3. Tool dan Techniques.
Metode yang berkembang hanya dianggap sebagai tontonan. Bukan dikaji agar mampu
menciptakan kreativitas dan pemecahan masalah
bagi individu dan kelompok
4. Skill dan Motivation.
Kurang memadainya motivasi sumberdaya manusia aparatur mengakibatkan rendahnya
keinginan untuk belajar sedangkan terbatasnya keahlian mereka berakibat pada
ketidak mampuan mereka dalam beradaptasi dengan perubahan- perubahan yang terus
bergerak tanpa belas kasih.
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Keberadaan sejumlah
persoalan dalam birokrasi pemerintah yang dari tahun ke tahun menjadi isu
publik merupakan indikasi dari lemahnya kinerja reformasi birokrasi. Keberadaan
sejumlah persoalan dalam birokrasi pemerintah yang dari tahun ke tahun menjadi
isu publik merupakan indikasi dari lemahnya kinerja reformasi birokrasi.
Salah
satu aspek budaya birokrasi yang sangat penting bagi keberhasilan reformasi
birokrasi adalah budaya inovasi. Pada birokrasi pemerintah di Indonesia,
inovasi ini belum menjadi nilai utama dari budaya birokrasi. Namun, belajar
dari pengalaman inovasi yang dilakukan Pemerintah Daerah Provinsi Gorontalo,
Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Sragen, maka birokrasi pemerintah di Indonesia
pada dasarnya memilki potensi untuk melakukan berbagai inovasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Hal pertama yang harus mereka
lakukan adalah mengetahui kemampuan inovasi birokrasi pemerintah, melalui
pengenalan sejumlah dimensi kemampuan inovasi yang meliputi:
1. Visi dan strategi.
2. Perekatan dasar kompetensi
3. Penguatan informasi dan kecerdasan organisasi
4. Orientasi pasar dan pelanggan
5. Manajemen gagasan dan kreativitas
6. Sistem dan struktur organisasi
7. Manajemen teknologi
Pemahaman akan kemampuan inovasi tersebut akan membantu
birokrasi pemerintah untuk melakukan inovasi. Namun demikian, kemampuan inovasi
ini tidak akan dengan sendirinya menghasilkan inovasi. Inovasi birokrasi
pemerintah baru akan terjadi jika kemampuan inovasi tersebut diletakan dalam
tiga domain yang merupakan drivers dan enablers kemampuan inovasi
pemerintah daerah: sustainable development, e-governmenet, dan new
product development.
0 comments: