Partisipasi Politik Pemilih Pemula di Indonesia
(Oleh: ZA)
Tinggal
menghitung hari saja hajatan akbar pesta demokrasi di negara muslim dengan
populasi terbesar di Dunia akan digelar, tepatnya pada tanggal 9 April tahun
2014 nanti Indonesia kembali akan melaksanakan Pemilu untuk memilih anggota DPR
dan DPD dan selanjutnya pada bulan 9 Juli 2014 akan diselenggarakan Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden secara langsung untuk ketiga kalinya.
Menjelang
pelaksanaanya terdengar riuh-rendah akademisi dan politisi yang mempertanyakan
keabsahan pelaksanaan Pemilu yang akan diselenggarakan pada tahun ini,
mengingat Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 yang digunakan sebagai payung hukum pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden telah dinyatakan oleh MK
bertentangan dengan UUD 1945, meskipun dalam amar pututsannya MK menyatakan keputusan tersebut baru berlaku pada tahun 2019. Prof.Yusril Ihza Mahendra berulang kali mengingatkan melalui akun twitternya bahwa
hasil Pemilu 2014 ini berpotensi untuk dipertentangkan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan karena legalitasnya yang lemah, sehingga berbahaya bagi
kestabilan pemerintahan 5 tahun kedepan.
Terlepas
dari beberapa permasalahan diatas toh jika Pemilu 2014 tetap dilaksanakan
sesuai dengan jadwal dan sistem yang telah ditetapkan sebelumnya ada beberapa
hal menarik yang perlu kita amati yaitu
betapa pemilih muda menjadi pasar yang sangat menggoda untuk diperebutkan oleh
Parpol peserta Pemilu 2014, setidaknya ada 60% peserta pemilu berada pada
rentang umur 17-45th[1]. Lebi lanjut jika kita
ingin persempit lagi kategori “muda” yang kita maksud lebih kepada first time vooter di Indonesia maka
setidaknya ada 40 Juta (20-30%)[2] anak muda dengan rentang
usia 17-24th akan mengambil peran sebagai pemilih pemula.
Pemilu,
sebagai buah dari demokrasi sebagaimana yang lazimnya kita fahami merujuk pada
argumen dari Linclon (1963) prinsipnya seharusnya “by the people, rule the
people and for the people”. Akan tetapi, kecenderungan yang terjadi pada saat
ini, kita hanya baru menikmati demokrasi seremonial, dan kehilangan substansi
dari demokrasi itu sendiri, sehingga dikahwatirkan rakyat sebagai pemilih hanya
dijadikan subjek demokrasi saja, perantara meraih kekuasaan melalui pendekatan
kuantitatif semata.
Alhasil
para pemilih muda sebagai satu “potential market” pada Pemilu 2014 mendatang
memang akan diramalkan antusias mendatangi
Tempat Pemungutan Suara (TPS) guna melaksakan hak untuk memilih pertama kali
dalam hidupnya, karena memang sudah hakikatnya kaula muda senang mencoba
hal-hal baru, seperti jatuh cinta pada pandangan pertama, kendaraan pertama, rumah pertama, yah segala macam yang
serba pertama selalu menarik dimata kaula muda. Akan
tetapi yang patut kita catat bahwa kecenderungan partisipasi politik para first time vooter tersebut masih sebatas
budaya politik parokial-kaula semata, sebagian kaum muda ketinggalan disegi dalam penggunaan hak
secara “utuh” dan juga masih kurang memiliki rasa memikul tanggung jawab
politiknya sebagai warga negara yang baik, karena masih kurangnya
kematangan mereka dalam memahami politik, dan memandang pemilu hanya sebatas
sarana memberikan suara mereka kepada tokoh/partai yang sedang “nge-hits” atau sedang
mereka gandrungi pada saat itu.
Gayungpun
bersambut, rendahnya budaya politik para pemilih juga dibarengi dengan
orientasi bias para politisi. Hingga saat ini tak berlebihan rasanya jika kami
katakan bahwa Partai Politik baru memandang Pemilu sebagai sarana untuk meraih
“orgasme kekuasaan”. Minimnya kesadaran parpol dalam hal: kejelasan ideologi dan
prinsip yang ditawarkan; melakukan pembinaan politik yang baik pada basis
konstituennya; serta bekerjanya mesin kaderisasi kaum intelektual pada internal
partainya dengan baik, menjadi indikator pembuktian dari pedapat kamidiatas.
Alhasil, guna mendulang suara sebanyak-banyaknya, promosi partai dan bakal
calon anggota legislatif ala “iklan rokok” ramai menghiasi berbagai media,
elegan, menarik, dan begitu menggoda para konsumen tanpa faham bahwa yang
ditawarkanya tak lebih dari racun belaka.
Para pemilih muda sebagai genarasi yang
digadang-gadangkan akan menjadi pembaharu bangsa seharusnya benar-benar
memanfaatkan momentum Pemilu ini dengan baik. Diharapkan pihak penyelenggara
pemilu (KPU) disisa waktu yang sempit ini mau untuk serius memberikan
pendidikan politik yang ideal kepada seluruh elemen masyarakat, agar
partisipasi politik tidak hanya sebatas partisipasi politik parokial saja akan
tetapi lebih dari itu mampu memberikan kontribusi positif kepada perkembangan
demokrasi di negara kita. Kemudian Parpol juga diharapkan mau berbenah diri
guna menyehatkan iklim demokrasi dinegara kita.
Perlu
kita ingat bahwa Pemilu merupakan satu proses penting dalam siklus pelaksanaan
demokrasi konstitusional di negara kita. melalui demokrasi yang pendekatannya kuantitatif
maka Pemilu menjadi jalan untuk melahirkan wakil-wakil rakyat yang akan
melaksanakan mandataris penyelenggara kedaulatan rakyat sebagai mana termaktum
pada pasal 1 ayat (1) UUD 1945, lebih lanjut sistem demokrasi tersebut akan
bertemu dengan nomokrasi yang pendekatannya melalui logika dan norma-norma yang
dibakukan menjadi hukum, dan para wakil rakyat tersebutlah yang kemudian mengeluarkan
produk hukum (fungsi legislasi) sebagai wujud dari nomokrasi tersebut sehingga
lahirlah negara Indonesia yang menganut demokrasi konstitusional.
Oleh
karena itu kita berharap para pemilih muda mampu memberikan warna dalam
perjalanan bangsa kita dengan menggunakan hak politiknya dengan baik dan benar,
sehingga iklim pemerintahan kita kedepannya akan semakin baik lagi.
Semoga.
.
[1] Data
Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA) pada tulisannya pada portal
berita www.kompas.com 30 Januari 2014
[2] www.antaranet.com “pemilih pemula potensi
besar & sosialisasi program belum merata 2 jan 2014
0 comments: