Quo Vadis Otonomi Khusus Aceh
Peluang, Tatangan dan Gagasan Redesign
(Oleh: Zulfikri
Armada)[1]
(Laode Syarif
Indrawan)[2]
Latar
Belakang Sejarah Otsus Aceh
Mesjid Raya Aceh |
Aceh dalam akar sejarahnya dikenal sebagai
“bangsa” yang teguh mempertahankan kedaulatannya dari kolonialisme Belanda dan
Inggris. Paska ditandatanganinya Trety of
Sumatera (1871)[3]
yang berisikan penyerahan Aceh dari Inggris kepada Belanda yang berbuah perang
panjang 1873-1914, pergolakan demi pergolakan terus dilakukan guna mengusir
para penjajah. Puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah Indonesia menyatakan
merdeka, residen Teungku Nyak arief dan Teungku Daud Beureh sepakat untuk
menggabungkan diri dengan Republik Indonesia.[4]
Kemudian, terjadi
beberapa perselisihan akibat ketidakpuasan atas keputusan politik Republik
Indonesia dibawah kabinet Hatta, benih
gerakan separatispun tumbuh, Daud Beureh menggabungkan diri sebagai bagian dari
DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat, dikarenakan rasa kecewa elit Aceh atas
keputusan “politik Jakarta” yang hanya menjadikan aceh daerah setingkat
Kabupaten dibawah Prov.Sumut, sehingga demikian secara yuridis otomatis
Prov.Aceh dibubarkan begitu saja.
Pilihan memberikan
otonomi khusus sebagai affirmative action
pun dilakukan guna meredam konflik dan mengakomodir aspirasi masyarakat Aceh,
genjatan senjata dilakukan dengan syarat Aceh tidak hanya dijadikan daerah
Provinsi tapi lebih dari itu yaitu diakui sebagai Negara Bagian Aceh (NBA).
Pendukung NBA ini antara lain adalah Hasa Ali, Hasan Saleh, dan Ishak Amin.
Mereka bersepakat dengan wakil pemerintah yaitu Ali Hasjmy, Gaharu, dan
Muhammad Insja (kepala polisi). Merapa sepakat dengan tiga tujuan utama yaitu
1) Memajukan Islam: 2) Membangun Aceh dalam arti luas: 3) Berusaha sekuat
tenaga untuk memberikan kemakmuran dan kebahagiaan kepada rakyat Aceh.[5]
Kesepakatan tersebut
setelah dilakukan beberapa penyesuaian akhirnya diberikan landasan yuridis dengan
diterbitkannya Keputusan Wakil Perdana Menteri RI No.1/Misi/1959 tanggal 31 Mei
1959, yaitu dengan pembentukan daerah Istimewa Aceh berdasarkan UU No.1 tahun
1957 yang menganut otonomi yang seluas-luasnya terutama di bidang agama,
pendidikan, dan adat[6]
Akan tetapi pada perjalanannnya pemberian
otonomi tersebut tidak efektif pelaksanaannya, karena pada dekade 60’an NKRI
disibukkan dengan pembebasan Irian Barat dari tangan Belanda dan konfrontasi
Ganyang Malaysia yang memberikan Presiden Soekarno common enemy untuk diberantas sehingga konsentrasi kewenangan
secara de facto tertumpu di tangan Presiden Soekarno, yang pada gilirannya
mengakibatkan pelaksanaan otonomi daerah menjadi bias. Puncaknya pada era Orde
Baru pemerintahan Presiden Soeharto menerbitkan UU No.5 tahun 1974 yang justru
memperteguh sistem pemerintahan sentralistik di Indonesia sehingga mematikan
inisiatif, membelengu kewenangan, membunuh kearifan adat istiadat lokal yang
dipaksakan untuk menjadi seragam. Akumulasi dari kekecewaan atas kebijakan tersebut
maka pada tanggal 4 Desember 1976 Hasan Tiro memproklamirkan Gerakan Aceh
Merdeka.
Pasca berakhirnya rezim orde baru
dan lahirnya reformasi. Pemerintah mulai menyadari bahwa bukanlah jalan yang
tepat untuk mengatur wilyah otonom di Republik ini dengan seragam. Oleh karena
itu lahirlah UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, kemudian khusus untuk kasus Papua dan Aceh beberapa
ketetapan MPR mengamanatkan kedua daerah itu diberlakukan otonomi khusus. Untuk
memenuhi amanat itu, maka pada tahun 2001 ditetapkan UU Nomor 18 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Aceh dan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Papua.
Implementasi otonomi khusus di Aceh
menarik untuk bersama kita kaji karena pada proses pelaksaanya UU No.18 tahun
2001 belum mampu meredam konflik dan perlawanan yang dilakukan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM). Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, berbarengan dengan
momentum natural turbulance yaitu
tragedi tsunami yang meluluhlantakan Bumi Seurambi Mekah[7], sadar bahwa tindakan represif melalui
penetapan DOM (Daerah Oprasi Militer) gagal menyelesaikan akar permasalahan
seperatisme di aceh, pemerintah RI mengubah pendekatan penyelsaian konflik
dengan GAM, yaitu dengan kembali melakukan perundingan dan dialog. Dari
serangkaian perundingan yang dilakukan sejak pengesahan UU No 18 tahun 2001,
pada akhirnya pada 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia, akhirnya kelaurkan
kata mufakat dengan ditanda tanganinya Memorandum of Understanding (MoU)
antara Pemerintah RI dan GAM. Salah satu klausul kesepakatan itu, materi MoU
Helsinki akan dituangkan dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang tentang
Pemerintahan Aceh (UU PA). Untuk memenuhi klausul di atas, maka pada 11 Juli
2006 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyetujui Rancangan
Undang-Undang tentang Pemerintah Aceh menjadi undang-undang No.11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh ( UUPA )
UUPA sendiri terdiri
dari 40Bab dan 273 Pasal. Berikut ini beberapa kekhususan pengaturan yang
terdapat pada UUPA, antara lain: 1. Kewenangan Khusus, 2. Lembaga di Daerah, 3.
Gubernur Aceh, 4. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/Kabupaten/Kota ( DPRA/K ), 5.
Partai Politik Lokal, 6. Wali Nanggroe, 7. pengakuan terhadap Lembaga Adat, 8.
Syari’at Islam, 9. Mahkamah Sya’iyah, 10.Pengadilan HAM di Aceh, 11. Komisi
kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR ) di Aceh, 12. Pengelolaan Sumber Daya Alam,
13. Keuangan, 14. Pertanahan.
Landasan
dan Urgensi Otonomi Khusus Aceh
Bila kita baca kembali Undang Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh (UUPA) tersebut, setidaknya terdapat lima alasan yang melatarbelakangi keputusan untuk pemberlakuan
undang-undangan ini, yaitu:
1. bahwa sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang;
2. bahwa berdasarkan perjalanan
ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas
sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang
tinggi;
3. bahwa ketahanan dan daya juang
tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariat Islam
yang melahirkan budaya Islam yang kuat sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi
perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
4. bahwa penyelenggaraan pemerintahan
dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan
kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan pelindungan hak
asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan dijalankan
berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik; dan
5. bahwa bencana alam gempa bumi dan
tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi
bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta
menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desentralisasi
asimetris yang dikenal dengan sebutan otsus dan daerah istimewa merupakan pola
relasi unik antara pemerintah pusat dan daerah karena sebab-sebab khusus.
Sebuah daerah menerima wewenang, lembaga, dan keuangan yang berbeda dengan daerah lain. Pola relasi ini lazim terjadi dalam
negara kesatuan. Indonesia mempraktikkannya sejak 1950 ketika mengatur
Yogyakarta.
Hanya saja, asimetrisme yang telah diberi ruang dalam semua konstitusi
yang pernah berlaku di Indonesia tidak menunjukkan perkembangan berarti di masa
Orde Baru. Tuntutan asimetrisme menguat sebagai alternatif sejak Reformasi.
Apalagi setalah dilakukannya Amandemen UUD 1945
oleh MPR, khususnya pada pasal-pasal yang mengatur tentang pola hubungan
pemerintah dan pemerintah daerah. Perubahan pada pasal 18 UUD 1945 memberikan
perubahan yang fudamental baik secara struktur dan prosedur pelaksanaan
hubungan kewenangan pemerintah pusat dan daerah. Negara mengakui dan menghormati Pemerintahan Daerah yang
bersifat khsusus dan istimewa {Pasal 18
B ayat (1) } beserta kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya {Pasal 18B ayat (2) }.
Akan tetapi tetap menjadi bagian yang hirarkis dan menyatu sebagai bagian dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia {Pasal 1 ayat (1) }.
Lahirnya
Undang-Undang No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) merupakan satu
momentum sejarah yang cukup penting dalam perjalanan bangsa Indonesia,
khususnya bagi masyarakat Aceh, karena dengan Undang-Undang ini kita
sama-sama berharap dapat mengakhiri konflik berdarah dari gerakan separatisme yang
sudah menyengsarakan seluruh pihak, sehingga terbuka kembalilah pintu menuju
perdamaian yang hakiki di Aceh, terciptanya masyarakat yang madani, adil,
bermatabat dan sejahtera, sekaligus sebagai wahana pelaksanaan pembangunan yang
dahulu semat terpinggirkan.
UUPA sejauh ini cukup sukses dalam
menyelesaikan permasalahan separatisme di Aceh, hal ini dapat kita lihat setelah adanya Otsus yang diberikan
melalu UUPA, terjadi transformasi, kekuatan GAM ke dalam struktur pemerintahan
modern dalam NKRI yang buahnya adalah peningkatan integrasi dan sinergitas
bersama seluruh elemen. Dan tentu saja seluruh masyarakat Aceh berharap bahwa
dengan adanya UUPA mampu menjadi titik pijak/fondasi untuk menciptakan Aceh
yang sejahtera, coba saja kita bandingkan dengan UU Otsus Papua yang hingga
saat ini masih belum mampu menjawab tuntutan pemenuhan pembangunan dan
kesejateraan masyarakat serta penghapusan gerakan separatisme OPM.
Kemudian dalam urgensitas dalam aspek
percepatan pembangunan maka pemberian kewenangan yang besar ini berakibat pula
dengan perubahan pola financieele
verhouding (perimbangan keuangan) maka secara logis otonomi khusus yang
diberikan dibaregi pula dengan hubungan keuangan, yang kongkritnya Negara
menyediakan sebesar 2% dari DAU Nasional selama 15 tahun dan 1% DAU Nasional
untuk 5 tahun berikutnya dalam jangka waktu 20 tahun sebagaimana tersebut dalam
Pasal 183 UU No. 11 Tahun 2006 untuk Pemerintah Aceh, ini merupakan kesempatan
yang sangat besar bagi Aceh untuk merealisasikan percepatan pembangunan
tersebut melalui program prioritas yang telah diamanatkan oleh undang-undang.
Program prioritas tersebut adalah pembangunan terutama pembangunan dan
pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan
kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan.
Kekhususan
Provinsi Aceh, Peluang dan Tantangan.
Ada beberapa
kekhususan yang menurut penulis sangat berbeda dengan daerah lainnya yang
dimiliki oleh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana yang terdapat dalam
ketentuan UU No. 11 Tahun 2006 antara lain akan penulis bagi menjadi berberapa
dimensi, antara lain:
Pertama, dalam dimensi sosial dan agama Provinsi
Aceh terdapat pengadilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah
Syar’iyah, yang terdiri dari Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagai pengadilan tingkat
banding dan Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota sebagai pengadilan tingkat
pertama. Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum
keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan
atas syari’at Islam dengan hukum acara yang ditetapkan berdasarkan Qanun[8]. Qanun itu sendiri
merupaka produk hukum setingkat Peraturan Daerah (Perda) yang dikeluarkan oleh
DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh). Qanun dibentuk dalam rangka
penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, pemerintahan kabupaten/kota, dan
penyelenggaraan tugas pembantuan.
Pemberian kewengan
khusus untuk mengimplementasikan syariat islam bagi para pemeluk agama islam di
Aceh, merupakan tuntutan klasik dari masa pemberontakan Daud Bereuh hingga masa
GAM, akhirnya dapat diakomordir oleh UUPA ini, dan tentu saja pelaksanaanya
harus sesuai dengan kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. nilai-nilai tradisional dan nilai modern
di Aceh terbukti dapat berdampingan satu sama lain. Walaupun Aceh merupakan
daerah yang identik dengan tradisionalisme yang menguat dari budaya berdasarkan
syariat Islam, namun keterbukaan terhadap pengaruh modern negara-negara maju
semenjak bencana tsunami mulai meningkat, sehingga penerapan syariat islam
sebagai sistem nilai di Aceh diharapakan dapat mengakselerasi konstruksi
bangunan hukum dan keadilan di Aceh, kemudian yang harus diperhatikan lagi
ialah posisi Qanun aceh dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia,
jangan samapai terjadi tumpang tindih dan kontradiksi dengan peraturan
diatasnya, karena bagaimanapun, Aceh sebagai bagian integral yang tidak
terpisahkan dari NKRI harus tetap tunduk kepada Pancasila dan UUD 1945 sebagai
landasan filsafat bangsa dan hukum tertinggi yang harus dipatuhi.
Kedua, dalam dimensi politik dan pemerintahan, Pemerintah Aceh
dberikan kewenangan untuk dapat membentuk partai lokal yang memiliki hak antara
lain; mengikuti Pemilu untuk memilih anggota DPRA dan DPRK; mengusulkan pasangan
calon Gubernur dan Wakil Gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon
walikota dan wakil walikota di Aceh[9]. Kemudian dalam hal
penetapan kebijakan Pemerintah pusat yang berkaitan langsung dengan kepentingan
Provinsi Aceh maka harus melalui proses konsultasi, yaitu konsultasi dan
pertimbangan DPRA dalam hal pembetukan UU oleh DPR-RI[10], kemudian dalam hal
kebijakan administratif yang berkaitan langsung Pemerintahan Aceh melalui
konsultasi dan pertimbangan Gubernur[11]. Yang harus digaris
bawahi adalah kewengan DPRA dan Gubernur tersebut hanyalah sebatas sifatnya konsultatif
dan pertimbangan, untuk penentuan kebijakan finalnya tetap harus dipegang oleh
pemerintah pusat, karena pada hakikatnya Pemerintahan Aceh sebagai bagian yang
hirarkis didalam NKRI tidak memiliki Pouvior
constituent, yaitu kewenagan untuk membentuk UUD sendiri dan membentuk
organisasi pemerintahan secara mandiri, oleh karena itu segala sesuatu tetap
berada dibawah dan diatur oleh pemerintah pusat dan tunduk pada tata urutan
hiraki perundang-undagan sebagai bentuk konsistensi penyelenggaraan bentuk negara
kesatuan di Indonesia, kewenangan yang
besar ini kita harapakan mampu menjadi medium sinkronisasi pembangunan antara
pusat dan daerah, bukan justru malah kontraproduktif dan menghambat proses percepatan
pembangunan nasional khususnya di Aceh.
Konsep pemberian
kewengan untuk membuat partai lokal di Aceh tentu saja membawa warna baru dalam
perjalanan sejarah Negara kita, betapa desain otonomi asimetrik melalui UU
No.11 tahun 2006 memberikan kewenagan yang sangat luas bagi suatu daerah.
Kemudian hal positif yang dapat kita cermati adalah melalui UUPA ini terjadi
transformasi kekuatan yang semulanya mengidentifikasikan dirinya kedalam
gerakan separatis, mengangkat senjata dan bersembunyi digunung, kini telah
bermetamorfosa menjadi masyarakat yang demokratis, yang membawa perubahan aras
“pertarungan” kekuasaan yang semulanya melalui senjata kini beralih melalui
medium bilik suara, yang dilakukan secara LUBER dan JURDIL setiap 5 tahun
sekali. Adapun kesuksesan Partai Aceh sebagai sentra kekuatan politik di Aceh
adalah sebuah kewajaran karena tentu saja simpatisan GAM akan berafiliasi dan
menjadi kader dan mesin politik utama Partai Aceh, akan tetapi seiring dengan
berjalannya waktu dan penigkatan budaya politik yang lebih partisipatif dan
terbuka maka peta kekuatan politikpun dinamikanya akan menjadi lebih baik tanpa
terkukung dengan satu kekuatan saja. Kekhawatiran atas kecendurangan untuk
bertahannya sifat paternalistik dan menguatnya elitisme lokal yang bersandar
pada tokoh-tokoh lokal, serta praktik money
politik, tentunya dapat kita reduksi sedemikian rupa, jika kita kembali
bersandar kepada pasal 77, 78 dan 79 UU 11/2006 tentang kedudukan, tujuan
dan fungsi partai politik lokal Aceh, dengan menciptakan pendidikan politik
masyarakat dan mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila menuju
kesejahteraan.
Ketiga, dalam dimensi kelembagaan, Pemerintah Aceh dibagi
kedalam kabupaten/kota, kecamatan, mukim, kelurahan dan gampong. Mukim merupakan
kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan
beberapa gampong yang dipimpin oleh Imeum Mukim
atau nama lainnya. Sedangkan kelurahan dan gampong adalah kesatuan masyarakat hukum
yang berada di bawah mukim[12]. terdapat institusi atau
lembaga yang tidak terdapat di daerah-daerah lainnya, seperti Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh,
Kabupaten/Kota dan DPRA/DPRK. Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat Pengadilan
Hak Asasi Manusia, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan unit Polisi Wilayatul
Hisbah sebagai bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja, sebagai penegak Syari’at
Islam.
Dalam dimensi kelembagaan ini harus difahami
bahwa organisasi tersebut muncul dan dibentuk atas kewenangan mandiri, akan
tetapi diatur dalam UUPA yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Diharapkan
dengan struktur organisasi pemerintahan aceh dewasa ini yang didesain untuk
mampu mengawinkan pola kelembagaan tradisional dan sitem kerja organisasi
modern, mampu mengikat simpul-simpul kekuatan sosial-masyarakat, penguasa dan
para ulama untuk bisa bersinergi dengan baik. Yang harus diperhatikan ialah
jangan sampai lembaga-lembaga yang ada hanya hadir sebagai suatu struktur yang
hanya ada secara fisik tetapi secara defacto tidak memberikan kontribusi nyata
dalam pengembangan tugas dan tanggungjawabnya, yang pada ujung-ujungnya hanya
sekedar menggerus kuota anggaran belanja tidak langsung di APBA (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Aceh) yang isinya hanya pengalokasian belanja-belanja
rutin aparatur, dan akhirnya pembangunan infrasturuktur dan program-program
untuk mengatrol kesejahteraan rakyat menjadi dinomorduakan.
Keempat, dalam dimensi keuangan. Perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan subsitem keuangan negara
sebagai konsekuensi terhadap penyerahan-pelimpahanan urusan pemerintahan dari
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Pemberian sumber keuangan negara ini
dilaksanakan berdasarkan stabilitas dan keseimbangan fiskal nasional. Pendanaan
ini merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan
penyelanggaraan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Atas
dasar tersebutlah makan dalam UUPA juga diatur mengenai perimbangan keuangan
pusat-daerah yang asimetris pula. Bagian desetralisasi asimetrik dalam dimensi
fiskal ini menjadi sangat penting karena posisinya dalam organisasi
pemerintahan sebagai bahan bakar untuk menjalankan mesin pemerintahan, tanpa
ada desentralisasi asimetrik dalam konteks fiskal, maka pemerintahanpun tidak
dapat dapat berjalan dengan baik. Adapun suntikan dana dari pemerintah kepada
pemertahan aceh antaralain sebagai berikut:
1.
Adanya tambahan Dana Bagi Hasil Pertambangan
Minyak Bumi. Jika pada UU No. 18 Tahun 2001, dana ini, yang disebut sebagai
“tambahan penerimaan Provinsi NAD dari hasil SDA di wilayah Provinsi NAD
setelah dikurangi pajak”, besarnya 55% dan akan menjadi 35% mulai tahun ke-9
setelah pelaksanaan UU, dalam UU No. 11 Tahun 2006 diubah menjadi flat 55%
tanpa dibatasi waktu[13];
2.
Adanya tambahan Dana Bagi
Hasil Pertambangan Gas Bumi. Jika pada UU No. 18 Tahun 2001, dana ini, yang
disebut sebagai “tambahan penerimaan Provinsi NAD dari hasil SDA di wilayah
Provinsi NAD setelah dikurangi pajak” besarnya 40% dan akan menjadi 20% mulai tahun
ke-9 setelah pelaksanaan UU, dalam UU No. 11 Tahun 2006 diubah menjadi flat 40
% tanpa dibatasi waktu[14].
3.
Adanya Dana Alokasi Khusus
selama tahun ke-1 sampai tahun ke-15 dengan besaran 2% dari plafon DAU Nasional
dan akan turun menjadi 1% setelah tahun ke-16 sampai tahun ke-20[15].
4.
Sebagian pendapatan
Pemerintah yang berasal dari BUMN yang hanya beroperasi di Aceh, dengan besaran
yang ditentukan antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi Aceh.
5.
Pengelolaan dana-dana
bagi hasil diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Aceh dan tidak diatur secara
rinci pembagiannya hingga ke daerah kabupaten/kota, kecuali untuk
penggunaannya. Untuk tambahan Dana Bagi Hasil migas, sebesar 30% ditetapkan
untuk pembiayaan pendidikan di Aceh dan 70% untuk program pembangunan yang disepakati
Provinsi dan Kabupaten/Kota[16].
Mengutip
perktaaan Lord Acton bahwa power tends to
corrupt and absolute power corrupts abslutly, oleh karena itu pemberian
kewenangan yang besar disertai dengan penggelontaran sumberdaya financial yang
besar, maka tidak ada pilihan lain kecuali memperketat pengawasan serta
memperjelas prosedur dan batasan kewenangan dalam mengelola sumberdaya keuangan ini. Hal ini wajib dilakukan
mengingat angka dugaan korupsi di Aceh ternyata sangat fantastis. Selama
tahun 2011 terdapat 122 kasus dugaan korupsi yang terjadi di Aceh, dan potensi
kerugian negara yang ditimbulkanpun tak main-main yaitu mencapai Rp 1,7
triliun. Angka tersebut menempatkan Aceh ke dalam lima besar daerah penyumbang
kerugian negara terbesar akibat korupsi di Indonesia[17]. Oleh
karena itu tidak ada pilihan lain selain meningkat pengawasan pengelolaan
anggaran, mendorong akuntabilitas dan transparansi penggunaan dana oleh
Pemerintah baik pada tingkat Kab/Kota hingga tingkat Provinsi di Aceh merupakan sebuah keniscayaan yang tidak
dapat ditawar jika memang ingin otsus ini dapat membawa Aceh menjadi Provinsi
yang madani.
Kemudian kami
berpendapat bahwa pemberian kewangan yang begitu besar dalam hak pengelolaan
keuangan dari hasil tabang dan gas bumi di aceh, bisa memacing kecemburuan antar daerah lain
yang jugan memiliki sumberdaya alam yang tak kalah potensialnya seperti Riau
dan Kalimantan Timur. Kebijakan “menganak emaskan” Aceh ini dapat memicu daerah
lain untuk menuntut pemberlakuan otonomi khusus yang sama, karena konstitusi
kita memungkinkan hal tersebut terjadi jangan sampai hal ini memancing konflik
vertikal antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Hal
lain yang harus dicermati adalah dana otonomi khusus yang dinakmati Pemprov
Aceh bukanlah sesuatu yang sifatnya abadi, 20 tahun semenjak otosus diberikan
maka penggelonotran dana stimulus tersebut akan diberhentikan, padahal faktanya
APBA (APBD Provinsi) dan APBK (APBD Kab/Kota) strukturnya masih didominasi oleh
dana otsus. Oleh sebab itu Aceh harus cepat tanggap untuk tidak tergantung
dengan dana otsus tersebut, dana otsus harus dialokasikan untuk pembangunan infrasturuktur
dan pembangunan ekonomi yang dapat menggerakan roda perekonomian di Aceh. Jika
Pemerintah Aceh terlena untuk terus-terusan memanfaatkan dana otsus untuk
sekedar belanja aparatur dan belanja-belanja tidak langsung, maka impian menuju
Aceh yang aman dan sejahtera akan memudar.
Kecenderugan
Otsus Aceh, Dilema Prioritaskan Simbol atau Substansi?
Otonomi
khusus Aceh yang ditasbihkan melalui UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh merupakan momentum bagi masyarakat aceh untuk mmengejar kertetnggalan yang
terjadi selama ini akibat koflik dan gerakan separatisme yang mengganngu
dinamika pembangunan di daerah tersebut. Memasuki babak baru pasca
disepakatinya MoU antara Pemerintah Indonesia dan Agam, kita berharap seluruh
elemen masyarakat segera bertransformasi menjadi bagian integral dari NKRI,
menjadi masyarakat yang demokratis, adil, sejahtera, serta mampu menjembatani
nilai-nilai kearifan tradisional dan syariat islam dengan dinamika kehidupan
berbangsa dan bernegara yang modern.
Delapan (8) tahun
pelaksanaan otsus di Aceh, kita dapat
mencermati satu hal yang cukup mencolok yaitu betapa pemrintahan Aceh masih
sibuk berkutat dengan kewenangan-kewenangan yang bersifat simbolik sehingga
menduakan kepentingan-kepentingan masyarakat yang lebih urgen.
Kita
dapat berkaca pada kasus Qanun Nomor 3
Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh yang masih belum ada titik temu
hingga saat ini. Memang pada dasarnya UU No.11 tahun 2006 memberikan kewenangan
kepada Pemprov Aceh untuk dapat Pemerintah Aceh dapat menentukan dan
menetapkan bendera daerah Aceh, lambang daerah, serta himne daerah sebagai
lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan[18]. Akan tetapi yang
disayangka adalah penetapan Bendera Aceh tersebut menimbulkan polemik yang
berkepanjangan karena identik dengan bendera gerakan separatis GAM. Mendagri
dan elit pusat dibuat harus bekerja ekstra untuk menetralisir permalasalahan
ini. Kemelud seperti ini hanya menghabiskan energi yang seharusnya dapat
digunakan untuk pelaksanaan tugas dan tanggungjawab yang timbul akibat
pemberian kewenangan otsus yang jauh lebih substansial, seperti percepatan pembangunan,
pemerataan kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan.
Salah satu indikator
bahwa Otsus masih belum dijalankan secara substansial adalah angka jumlah
penduduk miskin yang tak kunjung terjadi perubahan yang berarti. Sesuai data BPS, tingkat kemiskinan Aceh pada Maret
2012 adalah 19,46% di atas rata-rata kemiskinan nasional sebesar 12,36 %.
Jumlah penduduk miskin cenderung meningkat dari 861.000 jiwa pada tahun 2010
menjadi 900.000 jiwa pada tahun 2011. BPS juga mengungkapkan Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) Aceh pada tahun 2010 yang mencapai angka 8,60 %, lebih tinggi
dari angka pengangguran Indonesia sebesar 7,41 % dan bahkan Papua (4,08 %) dan
Papua Barat (7,77 %). Alhasil, pertumbuhan ekonomi Aceh pada tahun 2012 pun
mengalami penurunan. Berdasarkan data BPS Aceh, pertumbuhan ekonomi Aceh pada
triwulan III tanpa migas turun menjadi 1,53 % dari triwulan II yang mencapai
2,05 %. Padahal seyogyanya kewenangan dana yang begitu besar dapat digunakan
oleh Pemerintah daerah untuk mengakselerasi pertumbuhan dan pemerataan
kesejahteraan, hal seperti inilah yang seharusnya menjadi skala prioritas untuk
segera dibenahi, bukan justru terjebak dengan perseteruan bendera, lambang dan
himne daerah yang lebih bersifat simbolik tersebut.
Salah satu contoh kongkret lainnya adalah
Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Data BPS menunjukkan bahwa IPM Aceh mengalami
peningkatan, namun laju perkembangannya masih tertinggal dari IPM Nasional.
Pada tahun 2010, selisih IPM Aceh dengan IPM Nasional adalah 0,57 poin. Pada
tahun 2011, meningkat sebesar 0,61 poin, hingga pada tahun 2012 selisih IPM
Aceh dan Nasional mencapai 0,78 poin. Ini artinya tren perkembangan IPM Aceh
semakin tertinggal jauh dibandingkan dengan IPM nasional[19].
Beberapa
indikator diatas cukup untuk menohok Pemerintah daerah aceh untuk kembali
serius membenahi hal-hal yang lebih substansial ketimbang mempersoalkan hal-hal
yang sifatnya simbolik semata.
Gagasan
Redesign Otonomi Khusus Aceh
Ada beberapa hal yang
layak untuk kita lakukan guna mengoptimalkan jalanya otonomi khusus baik di
aceh, papua maupun dearah lainnya. Yang pertama,
pemerintah pusat perlu membuat regulasi yang tegas terhadap standariasasi pola
koordinasi, hubungan kewenangan dan tanggung jawab antara pemerintah provinsi
dengan pemerintah kabupaten kota dibawahnya, sehingga relasi dalam membangun
kemitraan guna penyusunan program kerja dan kebijakan menjadi lebih
komperhensif, serta mencegah ke-otriterisme pemerintah provinsi untuk bersikap
lebih superior dan sentralisti.
Kedua, Pengawasan atas
penggunaan kewenangan dan dana sebgai implikasi dari otsus harus ditingkatkan,
kami mengusulkan untuk dibentuk direktorat khusus di KPK yang konsen mengawasi
daerah otonom khusus sehingga kebocoran anggaran dapat diminimalisir, hal ini sejalan
dengan tugas KPK yang tidak hanya bergerak dihulu (penangkapan dan penyidikan)
saja, tetapi juga bertanggung jawab dalam hal koordinasi dan supervisi
pemberantasan korupsi.
Ketiga perlu dipertimbangkannya untuk membuat
sebuah lembaga sementara (ad hoc) yang memiliki tugas dan fungsi sebagai lembaga konsultatif bagi pemerintah
daerah yang diberikan otonomi khusus, lembaga ini bertugas untuk membantu
pembenahan birokrasi pada level provinsi maupun kabupaten kota, sehingga mampu
menghadirkan model birokrasi yang modern yang adaptif dengan kearifan lokal.
Birokrasi yang mumpuni merupakan salah satu faktor penting dalam kesuksesan
pelaknaan otonomi khusus, tanpa adanya birokrasi yang modern dan sehat, maka
koodinasi antar lembaga pemerintah maupun dengan aktor non-pemerintah (swasta)
akan terhambat, yang eksesnya adalah kemandulan dalam membuat inofasi dan
gebrakan percepatan pembangunan
prioritas yang dimanatkan oleh UU Pemerintahan Aceh.
Keempat, perlu dikeluarkan regulasi pelksana yang
mampu memberikan arah kebijakan pengelolaan anggaran secara tuntas dan jelas,
sehingga pembagian sumberdaya keuangan serta pemanfaatannya antar pemerintah
provinsi-kabupaten/kota dapat teraksana dengan baik. Pemanfaatan dana otsus
harus didorong kepada investasi sumber daya manusia (pendidikan dan pelatihan),
pembangunan wilayah ekonomi, pembangunan usaha mikro kecil dan menengah
ditengah masyarakat dan peran koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional.
Kelima, peningkatan peran dari DPRA dan DPRK untuk
melahirkan produk hukum (Qanun) yang mampu menjawab tatangan modernisme dan
kearifan lokal. Serta optimalisasi peran
Mahkamah Syari’ah Aceh baik pada tingkat Provinsi-Kabupaten/Kota sebagai medium
untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan hukum di Nanggroe Aceh Darussalam.
Pada akhirnya
pemerintah harus benar-benar jeli dalam pelaksanaan otonomi khusus yang telah
diberikan melalui UUPA tersebut, jangan sampai 20 tahun berlalu dana otsus
terhenti, dan tidak ada perubahan berarti di Aceh, mencapai masyarakat madani
bukanlah sebuah mimpi, jika berbagai pihak serius bekerja dari nuranina untuk
kepentingan Bumi Serambi Mekkah ini, janga sampai pelaksanaan otsus di Aceh
terjebak dengan hal-hal yang sifatnya simbolik semata sehingga melupakan
hal-hal yang lebih substantif da mendesak untuk dikerjakan.
[1] Penulis
adalah Wasana Praja (Praja tingkat akhir) pada Program S1 Jurusan Manajemen
Keuangan, IPDN
[2] Penulis
adalah Wasana Praja (Praja tingkat akhir) pada Program S1 Jurusan Manajemen
Keuangan, IPDN
[3] Syahda
Guru LS , Menimbang otonomi vs federal, PT.Remaja Rosdakarya Bandung:2000,
hal.184
[4] Ibid
[5] Aris
Arif Mudayat. Ulema dan Uleebalang di Aceh! Konsistensi ideologi islam. Dalam
kisah dari kampung halaman, masyarakat suku, agama resmi dan pembangunan.
Jakarta interfdei 1996. Hal.206
[6]
Syamsudin Haris et.al Indonesia di Ambanng Perpecahan, Jakarta: Erlangga. 1999,
hal.43
[7] Sebutan
bagi Prov.Aceh
[8] Lihat:
Pasal 128 sampai dengan Pasal 137 UU No. 11Tahun 2006
[9] Lihat:
Pasal 75 sampai dengan Pasal 88 UU No. 11 Tahun 2006
[10] Lihat:
Pasal 8 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006
[11] Lihat:
Pasal 8 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2006
[12] Lihat:
Pasal 2 UU No. 11 Tahun 2006
[13] Pasal
181 ayat (3) poin a UU 11 Tahun 2006
[14] Pasal
181 ayat (3) poin b UU 11 Tahun 2006
[15] Pasal
183 ayat (2) UU 11 Tahun 2006
[16] Pasal
182 UU 11 Tahun 2006
[17] http://regional.kompas.com/read/2011/12/09/11323574/Korupsi.di.Aceh.Mencengangkan..
[18] Pasal
246 Ayat (1), (2), (3), dan (4) UU No.11 Tahun 2006
[19] http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=26¬ab=2
0 comments: