Indonesia: Demokrasi Konstitusional atau Khilafah ?

Indonesia: Demokrasi Konstitusional atau Khilafah ?
Oleh: Zulfikri Armada

            Penulis tertarik untuk menuliskan artikel pendek  ini karena berapa kesempatan dengan tidak sengaja baik secara langsung (diskusi) maupun secara tidak langsung (melihat perbincangan di media online) melihat perdebatan yang mempertentangkan antara mana yang lebih ideal, Demokrasi atau Khilafah.

            Salah satu statement paling ajek dari kelompok yang menggugat demokrasi antara lain, mereka menyatakan ada jurang yang dalam yang memisahkan antara sistem Khilafah (Islam) dengan Demokrasi,  sistem Khilafah menjadikan kedaulatan ditangan hukum syara' (syariah Islam) yang bersumber dari al Khaliq Allah SWT. Sedangkan sistem Demokrasi kedaulatan di Tangan Rakyat padahal manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki keterbatasan dan kelemahan.  Jadi dengan dasar apa manusia (kedaulatan rakyat) mengambil alih fungsi Allah SWT untuk membuat hukum mengatur bermasyarakat dan bernegara, kemudian demokrasi juga dianggap sebagai produk impor barat yang berbahaya.

            Kelompok penggiat khilafah getol menyerang adagium vox populi vox dei (Suara rakyat suara Tuhan) yang merupakan bentuk pembangkangan dari keesan Tuhan. Penulis berpendapat bahwa esensi dari demokrasi bukanlah persoalan vox populi vox dei  secara saklek, tetapi lebih luas dari pada itu. Menurut Amartya Sen, peraih Nobel di bidang ekonomi tahun 1998, demokrasi bukan sekedar suatu mekanisme, melainkan sistem yang membutuhkan kondisi-kondisi tertentu. Kondisi-kondisi tertentu tersebut merupakan wujud dari nilai dan prinsip dasar dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi tidak hanya berupa mekanisme pemilihan dan legitimasi atas hasil pemilihan semata, melainkan juga meliputi perlindungan atas kemerdekaan dan kedaulatan untuk mempertahankan hidup dan kehidupan, penghormatan dan ketaantan atas aturan hukum yang berlaku, kemudian jaminan akan kebebesan untuk menyampaikan aspirasi/berpendapat dan kebebasan memperoleh informasi. Demokrasi tidak hanya dimanifestasikan dalam bidang politik semata, tetapi juga dalam bidang ekonomi dan sosial budaya.

            Vox populi vox dei , jangan dimanifestasikan sebagai pendewaan manusia, karena memang Islam tidak ingin rakyat dipertuhankan dan tidak pula menghendaki bahwa suara rakyat disetarakan dengan suara tuhan. Manusia diciptakan sebagai khalifah dimuka Bumi, dan sebagai khalifah wajiblah kita menjalani dan  mengelola kehidupan ini berdasarkan syariah-Nya. Pada intinya, pemerintah adalah penerima mandat dari rakyat yang berkewajiban menjalankan pemerintahan dan memakmurkan negeri dan rakyatnya, sesuai dengan syariah Allah SWT. Sedangakan rakyat adalah para khalifah Allah yang memberikan mandat kepada pemerintah, mereka berkewajiban mengarahkan dan mengawasi pemerintahan dalam menjalankan tugas[1]. Mengenai proses pemilihan pemimpin apakah itu pemilihan one man one vote, musyawarah perwakilan, ataupun penunjukan, itu  lebih kepada persoalan metode, substansi utamanya adalah melindungi kedaulatan rakyat untuk dapat hidup damai dan sejahtera bersama.

Oleh karena itu penghakiman bahwa demokrasi itu mengambil alih kekuasaan Tuhan dalam memerintah dengan memberikan kekuasaan memerintah kepada manusia/rakyat, tidaklah benar. Karena pembentukan pemerintahan yang didukung dan dievaluasi oleh rakyat adalah untuk menghindari tirani kekuasaan atau diktatorisme politik oleh seorang individu atau kelompok elit tertentu. hal ini sejalan dengan doktrin Lord Acton bahwa “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” yang menjadi postulat dalam pembatasan kekuasaan dan pentingnya check and balences system.



Sistem Khilafah Alternatif Terbaik (?)

Berkembang diskursus mengenai keinginan untuk menegakkan kembali khilafah pada era globalisasi saat ini,  menurut penulis adalah gejala yang wajar-wajar saja, sebagai alternatif jawaban dari kemunduran dan lemahnya daya tawar (politik-sosial-ekonomi) negara-negara dengan mayoritas penduduk islam, pada era globalisasi saat ini, dan romantisme untuk menghidupkan kembali kenangan kejayaan islam sebelum runtuhnya kesultanan Turki Utsmani, banyak yang menjadi rindu kembali akan sistem tersebut.

Jika penyatuan yang dimaksudkan adalah penguatan hubungan kerjasama dibidang ekonomi, sosial dan keagamanaan, penulis sangat bersepakat akan hal tersebut, tetapi jika penyatuan lebih dalam bentuk penggabungan kedalam satu sistem pemerintahan tunggal, hal ini yang menjadi titik perdebatan. Coba lihat keberhasilan konsolidasi UNI EROPA dalam kekuatan ekonomi tunggal berangkat bukan karena pertalian agama, tetapi lebih karena mereka mampu mengikat diri dalam sistem kerjasama yang saling menguntungkan dan membutuhkan, sehingga mereka saling melindungi demi menjaga kepentingan rakyatnya.

  Kemudian perjumpaan dan pengalaman negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Indonesia dan Turki atau berdasarkan Islam di Dunia Arab semacam Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, dan Syria menunjukkan banyak perbedaan signifikan. Perbedaan-perbedaan itu bersumber dari beberapa faktor. Pertama, penafsiran dan pemahaman tentang hubungan antara Islam dan negara (din wa siyasah); kedua, corak keislaman arus utama penduduk Muslim; ketiga, tradisi dan realitas sosial-budaya; dan keempat latar belakang historis.

Islam Indonesia dapat disebut sebagai Islam washatiyah, Islam jalan tengah; umumnya kaum Muslimin Indonesia tidak suka dengan berbagai bentuk ekstrim, apakah ekstrim ke kanan (fundamentalis) atau ekstrim ke kiri (komunis). Sepanjang sejarahnya, meski selalu ada upaya untuk menyebarkan wacana dan praksis ekstrim, kaum Muslim Indonesian umumnya tidak tertarik untuk mengikutinya[2]. Hal ini juga yang mungkin menjelaskan kenapa partai Islam kalah populer dibanding partai berhaluan tengah (nasionalis) pada Pemilu dari masa ke masa di Indonesia, kemudian secara sosiologis masyarakat Indonesia yang majemuk ini kurang tertarik dengan sektarianisme agama yang menyala-nyala, seperti di Timur Tengah, masyarakat Indonesia lebih akomodatif terahadap nilai-nilai kearifan lokal maupun internalisasi dari luar.

Kemudian anggapan bahwa demokrasi merupakan produk impor barat yang dipaksakan seprtinya kurang tepat juga. Hal ini dibuktikan dengan nilai-nilai Pancasila yang merupakan kristalisasi nilai-nilai kearifan leluhur Bangsa Indonesia. Menurut Bung Karno, Lima (5) sila dari Pancasila itu bisa diperas kedalam 3 poin utama (trisila) yaitu sosio-demokrasi, sosio-nasionalisme, dan ketuhanan yang berkudayaan. Namun 3 poin tersebut sesungguhnya bersumber dari satu nilai yang paling esensial bagi bangsa Indonesia yaitu gotong royong, nilai kegotongroyongan inilah yang menjadi pijakan sistem demokrasi konstitusional kita.

Kita juga harus objektif bahwa pelaksanaan sistem demokrasi konstitusional yang ada di Indonesia masih belum sampai pada titik ideal. Para pendiri bangsa melihat demokrasi secara utuh, sebagai suatu sistem yang memiliki nilai dan prinsip dasar di samping mekanisme instrumental[3]. Usaha-usaha perbaikan terus dilakukan untuk menuju demokrasi yang substantif dengan ikhtiar menyempurnakan tata aturan yang harus dilaksakan sesuai dengan prinsip supremasi hukum, guna menciptakan pemerintah yang aspiratif dan amanah serta membuka ruang partisipasi rakyat secara luas.

Keberhasilan usaha tersebut bergantung kepada para aktor pelaku demokrasi itu sendiri yaitu suprastruktur dan infrastruktur politik Republik tercinta ini, Suprastruktur politik terdiri dari lembaga-lembaga negara dan aparatur penyelenggaranya. Sedangkan infrastruktur adalah masyarakat sebagai warga negara serta organisasi-organisasi kemasyarakatan-politik.

Pada akhirnya sistem demokrasi konstitusional maupun khilafah jika suprastrukturnya diisi orang-orang sejenis Gayus, Ahmad Fatanah atau Akil Mochtar, ujung-ujungya adalah duka peradaban yang tak berkesudahan. Lalu jika ada pembaca yang bertaya, sistem mana yang akan menemani Republik ini menuju peradaban madani, biar sejarah saja nanti yang menceritakan. J




[1] Mengislamkan Demokrasi; bahan renunga bagi politikus muslim, lembaran dakwah “uswatun hasanah”, No.1323/28-feb-2014, Jakarta: Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Jakarta.
[2] ISLAM DAN DEMOKRASI: PENGALAMAN INDONESIA, TURKI, DAN NEGARA-NEGARA ARAB*
 Prof.Dr.Azyumardi Azra**,  http://paramadina.or.id/?p=2460
[3] Demokrasi Konstitusional; Praktik Ketatanegaraan Indonesia setelah peruabahan UUD 1945, Janaedjri M. Gaffar, Jakarta: Konpress, Hal:37 

0 comments: