ENGKAU YANG KINI MENDUA
(Dilema Independensi Pers ditengah Kontestasi Pemilu)
“You
can not have a democracy
unless
the people have an independent source of quality information
on
which they can make and form decision “
(Bill
Kovach-Investigative Reporting Workshop, interviewed by Charles Lewis, 2012)
Kita tampaknya harus bersepakat
dengan apa yang disampaikan oleh Bill Kovach, bahwa adalah sebuah kenaifan jika
kita mengimpikan sebuah Negara yang matang dalam berdemokrasi tanpa adanya
sebuah seluran informasi yang berkualitas dan independen didalamnya, yang dapat
dijadikan tumpuan bagi masyarakat dalam mengolah berbagai kepingan-kepingan
informasi yang ada sebagai dasar mereka dalam membentuk sebuah presepsi yang
muaranya adalah dasar bagi berbagai keputusan dalam partispasinya atas berbagai
dinamika dalam kehidupan sebagai entitas sosial dan politik.
Pers Harus Menjaga Independensinya |
Jika
pada masa orde baru pers kita sempat tersandera kebebasannya dengan berbagai
kebijakan dan kepentingan “cendana” dan kemudian reformasi 1998 memecahkan
kebekuan tersebut, namun apa lacur, independensi pers untuk dapat memuat berita
yang tajam dan berimbang, seiring berjalannya waktu hanyut dalam anomali
negatif. Kini nasibnya tak lebih baik setelah pasca
reformasi, puncaknya adalah ketika pada saat masa konstestasi para peserta Pemilu
Presiden 2014 ini.
Lepas dari cengkraman cendana kini media kita dikangkangi marwahnya oleh para
pemegang dana. Ketua KPI (Komite Penyiaran Indonesia) Judhariksawan (2/6/2014)
menjelaskan bahwa lima media nasional dinilai tidak netral dalam menyiarkan
kegiatan capres-cawapres. TVOne, RCTI, MNCTV, dan Global TV dinilai memberikan
porsi berlebihan pada pasangan Prabowo-Hatta. Metro TV dinilai memberikan porsi
pemberitaan yang lebih banyak kepada pasangan Jokowi-Kalla. Belum lagi media
cetak dan elektronik yang banyak bermain mata dengan pasangan tertentu dalam
preferensi pemberitaannya.
Menurut
McQuail dalam catatan Joyo Nursuryanto dkk[1], kepemilikan media
(properitorial) amat berperan secara signifikan dalam mendukung independensi editorial
berita, lebih lanjut ia menjelaskan bahwa berpindahnya kebebasan dalam status
kelompok (yaitu kedalam status monopoli) mengurangi independensi dan semangat
editorial sebuah surat kabar. Kalau boleh saya meminjam kata-kata Syahrini bahwa
fenomena ini begitu “terpampang nyata”
didepan kita, dengan penguasaan media oleh individu atau kelompok tertentu,
media begitu vulgar didikte dan dikebiri demi kepentingan-kepentingan para
pemilik, media kita kini berjalan tanpa visi dan harga diri.
Kita
berharap pemerintah dapat tegas dan tidak membiarkan media berlarut-larut “melacurkan”
dirinya dalam pusaran kepentingan pragmatis dan temporal. Sesuai dengan amanat
UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, disebutkan bahwa “Isi siaran wajib
dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepetingan golongan tertentu.”
Lebih lanjut pada pasal 55 diatur bahwa, pelanggar pasal diatas dapat diberkan
sanksi administratif. Ketentuan pemberian sanksi berupa denda, penghentian siaran, pembekuan kegiatan siaran, atau pencabutan izin penyelenggaraan
penyiaran. Namun sayangnya hingga tulisan ini dimuat belum ada peraturan
pelaksana untuk mengeksekusi hal tersebut, sehingga KPI tak mampu menyeret
pemilik media yang nakal ke jalur hukum.
Tanpa
bermaksud mengamini cara orde baru mengelola pers, namun ada baiknya kita
kembali melirik sistem pers pancasila yang ada pada masa itu (tentu saja dengan
pelbagai peneyempurnaan), sistem yang merupakan refleksi atas falsafah tanggung
jawab sosial pers, yang berlandaskan pada ideologi Pancasila, falsafah tersebut
disesuaikan dengan tuntutan perkembangan dan dinamika zaman. Sistem ini
menekankan keseimbangan sebagai kata kuncinya, keseimbangan antara 3 komponen
utama: Pers, Pemerintah, dan Publik.
Pemerintah tentu saja tidak
boleh membatas-batasi kebebasan pers, tetapi membiarkan media kita disetir oleh
para pemilik kapital yang begitu haus dengan agenda dan kepentingan, juga tak elok.Pemerintah
harus tegas dan mau merangkul pers untuk tetap menjaga independensinya, guna
membangun budaya demokrasi dan pemerintahan yang baik untuk kemaslahatan rakyat
Republik ini. Thomas Jefferson (Ilmuan-Presiden US) berkata: When the press is free and every man able to
read, all is safe. The press is the best instrument for enlightening the mind
of man, and improving him as a rational, moral, and sosial being. Semoga
pers kita mau bertaubat dan berhenti untuk mendua, sehingga kembali mampu memberikan
pencerahan kepada setiap orang, bukan malah menyesatkan.
Semoga.(Bang Zul)
[1] Laporan
Penelitian: Kampanye Pemilu Dalam Pers: Analisis Isi Berita Kampanye Pemilu
1997 Dalam Pers Jawa Tengah dan DIY, Joyo Nursuryanto dkk, 1997, FISIPOL UNDIP
Semarang
0 comments: