Kepemimpinan Pemerintahan
A. PENGERTIAN KEPEMIMPINAN
Kepemimpinan adalah
kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan
sesuatu sesuai tujuan bersama. Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam
menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai
tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya.
Kepemimpinan adalah
seni untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang – orang sedemikian rupa
untuk memperoleh kepatuhan, kepercayaan, respek, dan kerjasama secara royal
untuk menyelesaikan tugas.
Fungsi pemimpin dalam
suatu organisasi tidak dapat dibantah merupakan sesuatu fungsi yang sangat
penting bagi keberadaan dan kemajuan organisasi yang bersangkutan. Pada
dasarnya fungsi kepemimpinan memiliki 2 aspek yaitu :
·
Fungsi administrasi,
yakni mengadakan formulasi kebijaksanakan administrasi dan menyediakan
fasilitasnya.
·
Fungsi sebagai Top
Mnajemen, yakni mengadakan planning, organizing, staffing, directing,
commanding, controling, dsb.
Beberapa hasil
penelitian para ahli menunjukkan bahwa prestasi dan kepuasan kerja pegawai
dapat ditingkatkan apabila konsiderasi merupakan gaya kepemimpinan yang
dominan. Sebaliknya, para pemimpin yang berorientasi tugas yang terstruktur,
percaya bahwa mereka memperoleh hasil dengan tetap membuat orang – orang sibuk
dan mendesak mereka untuk berproduksi.
Yang perlu
diperhatikan adalah bahwa untuk dapat mengembangkan gaya kepemimpinan
situasional ini, seseorang perlu memiliki tiga kemampuan khusus yakni :
·
Kemampuan analitis
(analytical skills) yakni kemampuan untuk menilai tingkat pengalaman dan
motivasi bawahan dalam melaksanakan tugas.
·
Kemampuan untuk
fleksibel (flexibility atau adaptability skills) yaitu kemampuan untuk
menerapkan gaya kepemimpinan yang paling tepat berdasarkan analisa terhadap
situasi.
·
Kemampuan
berkomunikasi (communication skills) yakni kemampuan untuk menjelaskan kepada
bawahan tentang perubahan gaya kepemimpinan yang kita terapkan.
Ketiga kemampuan di
atas sangat dibutuhkan bagi seorang pemimpin, sebab seorang pemimpin harus
dapat melaksanakan tiga peran utamanya yakni peran interpersonal, peran
pengolah informasi (information processing), serta peran pengambilan keputusan
(decision making).
B. LATAR BELAKANG SEJARAH IPDN
Awalnya, perkembangan sekolah
kepamongprajaan di Indonesia tidak terlepas dari apa dan bagaimana pembelajaran
ilmu pemerintahan, ilmunegara, ilmu politik, dan administrasi negara di
Indonesia. Pada masa penjajahan kolonial Belanda, pembelajaran ilmu-ilmu ini
sangat dilarang. Namun, di negeri Belanda, pengkajian ilmu pemerintahan masih
tetap dilakukan, bahkan berada dibawah ilmu politik.
Mata kuliah ilmu pemerintahan disampaikan
dalam bentuk ilmu hukum tata negara, untuk menghilangkan segi politis yang
dianggap berbahaya bagi bangsa Belanda. Serta untuk meminimalkan keberadaan dan
keinginan masyarakat pribumi (inlander) dalam mengurus dirinya sendiri.
Para lulusan APDN diberi gelar sarjana
muda dengan singkatan BA (Bacaloriat of Art) dan untuk mendapatkan sarjana
penuh, sebagian besar harus melanjutkan ke Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) di
Jakarta atau berbagai perguruan tinggi lain baik negeri maupun swasta yang
memiliki ilmu pemerintahan, ilmu politik, atau ilmu administrasi negara, dengan
penyesuaian pada tingkat IV (semester 7).
Pada 1989, kedua puluh APDN ini
diintegrasikan menjadi satu di wilayah Jatinangor, Jabar. Pada 14 Agustus 1992,
sekolah ini berubah nama menjadi STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam
Negeri) dan diresmikan peningkatan statusnya oleh Presiden Soeharto. Setiap
kelulusannya dikukuhkan oleh Presiden RI sebagai calon pamong prajamuda.
Perbedaan antara STPDN dengan IIP yaitu,
STPDN cenderung mengkaji ilmu pemerintahan sebagai ilmu terapan (applied
science) sehingga para lulusannya diharapkan menjadi kader pimpinan
pemerintahan dalam negeri yang siap pakai oleh para pengguna. Sayangnya,
perubahan sistem pendidikandari tahun ke tahun tidak diikuti dengan perilaku
perubahan perilaku praja.
Dalam proses perkembangan selanjutnya
dikeluarkan Keputusan Presiden No.42 Tahun 1992, yang mengubah APDN menjadi
Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri disingkat menjadi STPDN. Bagi lulusan
Program D-IV STPDN berhak menyandang gelar "SSTP" (“Sarjana Sains
Terapan Pemerintahan”). Lulusan atau alumni STPDN diharapkan memiliki tiga
kompetensi dasar yaitu:
Kepemimpinan (Leadership),
Kepelayanan (Stewardship),
Kenegarawanan (Statemanship).
Pada 10 Oktober 2007, IPDN kembali diubah
menjadi Institut Ilmu Pemerintahan (IIP), namun IIP yang baru ini tidak akan
hanya mempunyai kampus di Jatinangor, melainkan juga di beberapa daerah lain
seperti Bukittinggi (Sumatera Barat), Rokan Hilir (Riau), Makassar (Sulawesi
Selatan), Manado (Sulawesi Utara), Mataram (Nusa Tenggara Barat), Kubu Raya
(Kalimantan Barat), dan Jayapura (Papua). IIP juga akan berbeda dari IPDN dari
segi sistem pendidikannya, meskipun pada saat keputusan perubahan ini diambil
sistem pendidikan yang baru tersebut belum diatur secara dirinci.
Seiring dengan tuntutan kebutuhan sumber
daya manusia berkualitas di lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah
Daerah, STPDN segera merespons dengan membuka Program Pengembangan Pendidikan Magister (S2).
C. Alasan
pengembangan program studi
Terdapat beberapa alasan STPDN
menyelenggarakan berbagai program pendidikan baik yang bersifat diploma atau
profesional maupun akademik yaitu:
Alasan program studi: Ditinjau dari sudut
substansi pendidikan, STPDN diberi otoritas untuk menyelenggarakan program
pendidikan Profesional dan Akademik, namun selama ini baru melaksanakan program
Diploma IV Pemerintahan. Padahal dengan adanya Otonomi Daerah yang luas, nyata
dan bertanggungjawab, diperlukan ahli-ahli pemerintahan daerah pada tingkat
Magister.
Alasan yuridis: Ditinjau dari kebijakan
pendidikan tinggi kedinasan lembaga pendidikan di lingkungan Departemen Dalam
Negeri serta berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku (PP Nomor 60
Tahun 1999),
terdapat cukup alasan yuridis untuk mempertahankan dan mengembangkan STPDN
dengan membuka pendidikan S2.
Alasan akademik: Ditinjau dari segi
akademik, STPDN saat ini mempunyai otoritas, kapasitas dan kapabilitas untuk
mengembangkan disiplin pemerintahan sebagai ilmu dan keahlian. Jumlah dan
kualitas tenaga pengajar, perpustakaan maupun
dukungan sarana maupun prasarana pendidikan untuk mengembangkan program-program
lain di luar program D-IV cukup memadai.
Alasan historis: STPDN yang berawal dari
dua puluh APDN daerah berdasarkan KEPRES No. 42 Tahun 1992, mempunyai pengalaman
luas dan strategis dalam pengelolaan pendidikan tinggi di jajaran Departemen
Dalam Negeri, yang sejak awal mempunyai komitmen untuk mendidik kader Pimpinan
Pemerintahan (Pamong Praja), melalui pendekatan Akademik dan
Praktis. Untuk kepentingan tersebut, kurikulum disusun,
disesuaikan dan ditingkatkan berdasarkan kebutuhan dan tuntutan keilmuan,
keterampilan dan kepribadian guna melaksanakan tugas di lingkungan Pemerintahan
Dalam Negeri secara proporsional dan profesional.
Alasan empiris: Alumni STPDN Program D-III
dan D-IV sampai Angkatan Ke-XII berjumlah 8.496 orang dengan penugasan yang
tersebar pada seluruh propinsi di Indonesia.
Di antara mereka secara terbatas sudah melanjutkan S1 dan S2 di Perguruan Tinggi Negeri
atau Swasta. Mereka pada umumnya telah menduduki jabatan pada jenjang menengah
ke bawah pada jajaran pemerintahan provinsi maupun daerah kabupaten/kota. Dengan demikian
terbuka peluang untuk menampung hasrat alumni untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang lebih tinggi sesuai tuntutan kebutuhan kedinasan.
A. HAKEKAT KEPEMIMPINAN
Dalam kehidupan sehari
– hari, baik di lingkungan keluarga, organisasi, perusahaan sampai dengan
pemerintahan sering kita dengar sebutan pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan.
Ketiga kata tersebut memang memiliki hubungan yang berkaitan satu dengan
lainnya.
Manusia adalah makhluk social yang tidak
dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia selalau berinteraksi dengan sesame
serta dengan lingkungan. Manusia hidup berkelompok baik dalam kelompok besar
maupun dalam kelompok kecil. Hidup dalam kelompok tentulah tidak mudah. Untuk
menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis anggota kelompok haruslah saling
menghormati & menghargai. Keteraturan hidup perlu selalu dijaga. Hidup yang
teratur adalah impian setiap insan. Menciptakan & menjaga kehidupan yang
harmonis adalah tugas manusia.
Dengan berjiwa pemimpin manusia akan dapat
mengelola diri, kelompok & lingkungan dengan baik. Khususnya dalam
penanggulangan masalah yang relatif pelik & sulit. Disinilah dituntut
kearifan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan agar masalah dapat terselesaikan
dengan baik.
Seorang pemimpin
boleh berprestasi tinggi untuk dirinya sendiri, tetapi itu tidak memadai
apabila ia tidak berhasil menumbuhkan dan mengembangkan segala yang terbaik
dalam diri para bawahannya. Dari begitu banyak definisi mengenai pemimpin,
dapat penulis simpulkan bahwa : Pemimpin adalah orang yang mendapat amanah
serta memiliki sifat, sikap, dan gaya yang baik untuk mengurus atau mengatur
orang lain.
Menurut Pancasila,
Pemimpin harus bersikap sebagai pengasuh yang mendorong, menuntun, dan
membimbing asuhannya. Dengan kata lain, beberapa asas utama dari kepemimpinan
Pancasila adalah :
·
Ing Ngarsa Sung
Tuladha : Pemimpin harus mampu dengan sifat dan perbuatannya menjadikan dirinya
pola anutan dan ikutan bagi orang – orang yang dipimpinnya.
·
Ing Madya Mangun
Karsa : Pemimpin harus mampu membangkitkan semangat berswakarsa dan berkreasi
pada orang – orang yang dibimbingnya.
·
Tut Wuri Handayani :
Pemimpin harus mampu mendorong orang – orang yang diasuhnya berani berjalan di
depan dan sanggup bertanggung jawab.
Sedangkan kekuasaan
adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan pap yang
diinginkan pihak lainnya.”The art of influencing and directing meaninsuch
away to abatain their willing obedience, confidence, respect, and loyal
cooperation in order to accomplish the mission”.
Jika saja Indonesia
memiliki pemimpin yang sangat tangguh tentu akan menjadi luar biasa. Karena
jatuh bangun kita tergantung pada pemimpin. Pemimpin memimpin, pengikut
mengikuti. Jika pemimpin sudah tidak bisa memimpin dengan baik, cirinya adalah
pengikut tidak mau lagi mengikuti. Oleh karena itu kualitas kita tergantung
kualitas pemimpin kita. Makin kuat yang memimpin maka makin kuat pula yang
dipimpin.
B. GAYA KEPEMIMPINAN
Gaya kepemimpinan ialah cara pemimpin
membawa diri sebagai pemimpin, cara berlagak dalam menggunakan kekuasaannya,
misalnya (1) gaya kepemimpinan otoriter, (2) gaya kepemimpinan demokratis, (3)
gaya kepemimpinan paternalistik. Selanjutnya Keating (1986:9) mengatakan bahwa
gaya kepemimpinan hanya ada dua macam, yaitu: (1) gaya kepemimpinan yang
berorientasi pada tugas (task oriented) dan (2) gaya kepemimpinan
yang berorientasi pada manusia (Human relationship oriented).
Antara gaya kepemimpinan dan tipe
kepemimpinan diartukan sebagai suatu yang identik, seperti yang dikemukakan
oleh Siagian (1994:30) bahwa gaya kepemimpinan seseorang akan identik dengan
tipe kepemimpinan orang yang bersangkutan yang meliputi:
·
gaya/tipe otokratik
·
gaya/tipe paternalistik
·
gaya/tipe kharismatik
·
gaya/tipe laissez-faire
·
gaya/tipe demokratis
Kepemimpinan pada hakekatnya merupakan
produk situasional. Dalam hubungan ini, keberhasilan kepemimpinan di sekolah
sebenarnya akan lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor situasi seperti:
karakteristik individu yang dipimpin, pekerjaan lingkungan sekolah, kebudayaan
setempat, kepribadian kelompok, dan bahkan waktu yang dimiliki oleh kepala
sekolah.
Rahasia utama
kepemimpinan adalah kekuatan terbesar seorang pemimpin bukan dari kekuasaanya,
bukan kecerdasannya, tapi dari kekuatan pribadinya. Seorang pemimpin sejati
selalu bekerja keras memperbaiki dirinya sebelum sibuk memperbaiki orang lain. Pemimpin
bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu
yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari
proses internal (leadership from the inside out).
Kata pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan memiliki
keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Karena untuk menjadi pemimpin bukan
hanya berdasarkan suka satu sama lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin yang
berhasil hendaknya memiliki beberapa kriteria yang tergantung pada sudut
pandang atau pendekatan yang digunakan, apakah itu kepribadiannya,
keterampilan, bakat, sifat – sifatnya, atau kewenangannya yang dimiliki yang
mana nantinya sangat berpengaruh terhadap teori maupun gaya kepemimpinan yang
akan diterapkan.
Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian
dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika
setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya,
dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat
itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Kehidupan manusia tidak lepas
dari masalah. Serangkaian masalah tidaklah boleh didiamkan. Setiap masalah yang
muncul haruslah diselesaikan. Dengan memiliki jiwa kepemimpinan, seseorang akan
mampu menaggulangi setiap masalah yang muncul.
Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang mau mendengar. Mau mendengar
setiap kebutuhan, impian, dan harapan dari mereka yang dipimpin. Pemimpin yang
melayani adalah pemimpin yang dapat mengendalikam ego dan kepentingan
pribadinya melebihi kepentingan public atau mereka yang dipimpinnya.
Mengendalikan ego berarti dapat mengendalikan diri ketika tekanan maupun
tantangan yang dihadapi menjadi begitu berat,selalu dalam keadaan tenang, penuh
pengendalian diri, dan tidak mudah emosi.
Rahasia utama kepemimpinan adalah kekuatan terbesar
seorang pemimpin bukan dari kekuasaanya, bukan kecerdasannya, tapi dari
kekuatan pribadinya. Maka jika ingin menjadi pemimpin yang baik
jangan pikirkan orang lain, pikirkanlah diri sendiri dulu. Tidak akan bisa
mengubah orang lain dengan efektif sebelum merubah diri sendiri.
C. MORAL KEPEMIMPINAN
Moral kepemimpinan nasional yang
bersumber pada Pancasila tercermin secara terpadu dalam kelima sila Pancasila yaitu
:
·
Pertama, moral ketakwaan yang dicirikan dengan keimanan, dan kesetaraan
sesama manusia di mata Tuhan. Refleksi yang muncul ialah menghargai pekerjaan,
mempercayai kemampuan dan menghormati orang pada bidang pengabdiannya. Dalam
konteks otonomi daerah, ciri ini penting untuk memberikan delegasi wewenang
dengan prinsip kepercayaan tersebut.
·
Kedua, moral kemanusiaan, pengakuan akan HAM, membangun kohesi sosial,
mendorong harmoni kehidupan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Dalam
konteks otonomi daerah, ciri ini penting untuk menjaga harmonisasi daerah dan
dalam hubungan pusat daerah serta antar daerah.
·
Ketiga, moral kebersamaan dan kebangsaan, semangat persatuan diantara
sesama warga dan untuk mencapai tujuan bersama, mengutamakan kepentingan
nasional dari pada pribadi atau golongan.
Di antara berbagai teori yang menjelaskan
sebab-sebab timbulnya kepemimpinan terdapat tiga teori yang menonjol, yaitu:
1. Teori Keturunan
(Heriditary Theory)
2. Teori Kejiwaan
(Psychological Theory)
3. Teori Lingkungan
(Ecological Theory)
Jadi, kepemimpinan seorang pemimpin
harus dapat menjalin hubungan pribadi yang baik antara yang dipimpin
dengan yang memimpin, sehingga timbul rasa saling hormat-menghormati,
percaya-mempercayai, saling tolong-menolong, dan rasa senasip sepenanggungan.
Jadi, seorang pemimpin harus mampu berpikir secara sistematis dan teratur,
mempunyai pengalaman dan pengetahuan serta mampu menyusun rencana tentang apa
yang akan dilakukan.
D. SIFAT KEPEMIMPINAN
Teori kesifatan menurut Ordway Tead adalah
sebagaiberikut:
·
energi jasmaniah dan mental Yaitu mempunyai daya tahan, keuletan, kekuatan
baik jasmani maupun mental untuk mengatasi semua permasalahan.
·
kesadaran akan tujuan dan arah, mengetahui arah dan tujuan organisasi,
serta yakin akan manfaatnya.
·
antusiasme pekerjaan mempunyai tujuan yang bernilai, menyenangkan,
memberikan sukses, dan dapat membangkitkan antusiasme bagi pimpinan maupun
bawahan.
·
keramahan dan kecintaan Dedikasi pemimpin bisa memotivasi bawahan untuk
melakukan perbuatan yang menyenangkan semua pihak, sehingga dapat diarahkan
untuk mencapai tujuan.
·
integritas. Pemimpin harus bersikap terbuka; merasa utuh bersatu, sejiwa
dan seperasaan dengan anak buah sehingga bawahan menjadi lebih percaya dan
hormat.
·
Penguasaan teknis. Setiap pemimpin harus menguasai satu atau beberapa
kemahiran teknis agar ia mempunyai kewibawaan dan kekuasaan untuk memimpin.
·
ketegasan dalam mengambil keputusan. Pemimpin yang berhasil pasti dapat
mengambil keputusan secara cepat, tegas dan tepat sebagai hasil dari kearifan
dan pengalamannya.
·
kecerdasan. Orang yang cerdas akan mampu mengatasi masalah dalam waktu yang
lebih cepat dan cara yang lebih efektif.
·
keterampilan mengajar Pemimpin yang baik adalah yang mampu menuntun,
mendidik, mengarahkan, mendorong, dan menggerakkan anak buahnya untuk berbuat
sesuatu.
·
kepercayaan Keberhasilan kepemimpinan didukung oleh kepercayaan anak
buahnya, yaitu percaya bahwa pemimpin dengan anggota berjuang untuk mencapai
tujuan.
Teori Kesifatan menurut George R. Terry
adalah sebagai berikut:
o kekuatan.
Kekuatan badaniah dan rokhaniah merupakan syarat yang pokok bagi pemimpin sehingga ia mempunyai daya tahan untuk menghadapi berbagai rintangan.
Kekuatan badaniah dan rokhaniah merupakan syarat yang pokok bagi pemimpin sehingga ia mempunyai daya tahan untuk menghadapi berbagai rintangan.
o Stabilitas emosi.
Pemimpin dengan emosi
yang stabil akan menunjang pencapaian lingkungan sosial yang rukun, damai, dan
harmonis.
o pengetahuan tentang relasi
insane.
Pemimpin memiliki
pengetahuan tentang sifat, watak, dan perilaku bawahan agar bisa menilai
kelebihan/kelemahan bawahan sesuai dengan tugas yang diberikan.
o kejujuran.
Pemimpin yang baik harus
mempunyai kejujuran yang tinggi baik kepada diri sendiri maupun kepada bawahan.
o obyektif.
Pemimpin harus obyektif,
mencari bukti-bukti yang nyata dan sebab musabab dari suatu kejadian dan
memberikan alasan yang rasional atas penolakannya.
o dorongan pribadi.
Keinginan dan kesediaan
untuk menjadi pemimpin harus muncul dari dalam hati agar ikhlas memberikan
pelayanan dan pengabdian kepada kepentingan umum.
o keterampilan berkomunikasi.
Pemimpin diharapkan
mahir menulis dan berbicara, mudah menangkap maksud orang lain, mahir
mengintegrasikan berbagai opini serta aliran yang berbeda-beda untuk mencapai
kerukunan dan keseimbangan.
o kemampuan mengajar.
Pemimpin diharapkan juga
menjadi guru yang baik, yang membawa orang belajar pada sasaran-sasaran
tertentu untuk menambah pengetahuan, keterampilan agar bawahannya bisa mandiri,
mau memberikan loyalitas dan partisipasinya.
o Keterampilan social.
Dia bersikap ramah,
terbuka, mau menghargai pendapat orang lain, sehingga ia bisa memupuk kerjasama
yang baik.
o kecakapan teknis atau kecakapan manajerial
George R. Terry (yang dikutip dari
Sutarto, 1998 : 17) Kepemimpinan adalah hubungan yang ada dalam diri seseorang
atau pemimpin, mempengaruhi orang lain untuk bekerja secara sadar dalam
hubungan tugas untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sedangkan, Ordway Tead
(1929) Kepemimpinan sebagai perpaduan perangai yang memungkinkan seseorang
mampu mendorong pihak lain menyelesaikan tugasnya.
E. KARAKTERISTIK KEPEMIMPINAN
Karateristik kepemimpinan pada umumnya
dimanapun dan apapun tingkatannya adalah jelas yait dia harus mempunyai
kewibawaan dan kelebihan untuk mempengaruhi serta mengajak orang lain
guna bersama-sama berjuang , bekerja, dan berusaha mencapai satu tujuan
bersama. Sedangkan karateristik kepemimpinan Indonesia, setiap
pemimpin Indonesia perlu memiliki dan mencerminkan Kepemimpinan
Pancasila. Kepemimpinan Pancasila yang berasaskan hal-hal tersebut
dibawah ini :
·
Ke- Tuhanan Yang Maha
Esa
·
Hing Ngarsa Sung
Tulada (di depan memberikan teladan)
·
Hing Madya Mangun
Karsa (ditengah memberi motivasi dan kemauan)
·
Tut Wuri Handayani
(dibelakang member kekuatan)
·
Waspada Purba
Wisesa (waspada dan berkuasa)
·
Ambeg Parama Artha
(mempunyai sifat kebenaran)
·
Prasaja
·
Satya (setia)
·
Hemat (Gemi, Nastiti,
ati-ati) (hemat,cermat,hati-hati)
·
Terbuka
·
Legawa (rela dan
tulus ikhlas)
·
Bersifat Ksatria
Seorang pemimpin adalah orang yang menjadi
panutan atau lebih tepatnya : Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso,
tut wuri handayani. Disamping itu ada yang paling khas dari sseorang pemimpin
yaitu kemampuan untuk menambil keputusan. Maka sering disebut seorang pemimpin
itu adalah Decision maker (pengambil keputusan).
Namun dari semua itu, sifat seorang pemimpin dapat dilihat dalam 10 hal
yang terwujud dalam tindakan sehari-hari, yaitu :
Visioner
Pemimpin harus mempunyai visi atau pemahaman yang jelas tentang mau dibawa ke mana perusahaan(organisasinya) dan memiliki strategi yang jelas untuk mencapainya.
Pemimpin harus mempunyai visi atau pemahaman yang jelas tentang mau dibawa ke mana perusahaan(organisasinya) dan memiliki strategi yang jelas untuk mencapainya.
Berkomunikasi dengan baik
Pemimpin yang baik dapat memastikan pesan yang disampaikannya diterima oleh
setiap orang dalam organisasinya dengan persepsi yang sama dan jelas.
Bersahabat dan membumi
Kemampuan untuk menjadi teman yang menyenangkan dapat membantu seorang
pemimpin untuk membangun relasi dan mengembangkan semangat tim yang baik.
Membuat orang lain melakukannya
Seorang pemimpin yang baik mampu mendorong orang lain untuk melakukan
tugasnya, dan bukan melakukan sendiri semua tugas-tugas itu.
Paham tentang bidang yang digeluti
Tidak hanya sekedar visioner dengan strategi dan arah yang jelas, pemimpin
yang baik harus memahami seluk beluk, kekurangan dan kelebihan, risiko serta
segala hal tentang bidang yang digeluti.
Jadi panutan
Pemimpin harus berada di garda terdepan dan memberikan pengaruh yang baik
bagi perusahaan dan bawahannya. Dalam segala hal dirinya mampu menjadi teladan.
Mudah untuk dinilai
Berubah-ubah sikap untuk menyamarkan citra diri yang sesungguhnya, bukanlah
sikap seorang pemimpin yang baik. Seorang pemimpin mengambil sikap yang jelas
tentang bagaimana dia akan mendengarkan, menyampaikan sesuatu, melihat dan
menilai sesuatu, serta konsisten dengan sikapnya itu.
Memiliki kharisma
Beriringan dengan citra dan kemampuan berkomunikasi yang baik, pemimpin
yang baik memiliki sesuatu yang istimewa di dalam dirinya yang membuat orang
lain pun merasakannya.
Sangat tekun
Tidak cukup hanya punya skill, pemimpin yang baik sangat tekun dalam
pencapaian tujuan dan visi yang telah ditetapkan. Pemimpin bisa sangat kejam
untuk itu, namun pemimpin yang baik melakukannya dengan cara yang sangat
bersahabat.
Penuh semangat
Seorang pemimpin yang baik harus membawa energi yang sangat besar bagi
bawahannya, dan selalu mempunyai semangat yang senantiasa dikobarkan dalam
setiap tugas yang diberikan, dalam setiap bidang yang ditangani kapanpun dan
dimanapun.
F. KETERKAITAN PAMONG PRAJA
DENGAN KEPEMIMPINAN
IPDN adalah suatu lembaga pendidikan yang
khusus untuk mencetak calon aparat dan bahkan juga pejabat/pemimpin. Mungkin
mengingat status sebagai “percetakan” pimpinan itulah yang akhirnya menjadi
alasan mengapa para praja dididik secara militer. Dengan dididik dengan cara
seperti itu harapan idealnya para praja akan memiliki kedisiplinan dan bisa
memberikan contoh-teladan yang baik untuk para bawahannya, walaupun pada
kenyatannya sepertinya gaya pendidikan seperti itu malahan melahirkan
lingkaran setan arogansi .
Pamong praja (sebelumnya disebut pangreh
praja sampai awal kemerdekaan) dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia
memiliki peran yang sangat strategis, karena pamong praja tidak saja memainkan
peran sebagai abdi negara dan abdi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan
masyarakat tapi juga peran strategis dalam menjaga keutuhan Negara Republik
Indonesia. Pamong praja berperan dalam mengelola berbagai keragaman dan
mengukuhkan keutuhan Negara. Ndaraha (2009) mengatakan pamong praja adalah
mereka yang mengelola kebhinekaan dan mengukuhkan ketunggalikaan.
Di lingkungan Kementerian Dalam
Negeri sebutan “Pamong Praja” terkait dengan Satuan Polisi Pamong Praja
(UU 32/2004 dan PP 6 Tahun 2010) dan lembaga pendidikan Institut
Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) sebagai “Pendidikan Tinggi
Kepamongprajaan” sebagaimana dalam Peraturan Presiden No 1 Tahun 2009
tentang Perubahan Atas Keptusan Presiden Nomor 87 Tahun 2004
tentang Penggabungan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri ke dalam
Institut Ilmu Pemerintahan. Peserta didik atau mahasiswa IPDN disebut “Praja”
dan lulusannnya disebut sebagai “Pamong Praja Muda”.
Kalau pamong praja diartikan secara
etimologis sebagai aparat atau pejabat pemerintahan yang bertugas “mengemong”
dan menjadi abdi Negara, abdi masyarakat, maka pamong praja adalah semua aparat
yang melakukan aktivitas melayani, mengayomi, mendampingi serta memberdayakan
masyarakat, dengan demikian koorps pamong praja sangat meluas, termasuk di
dalamnya aparat kepolisian Negara Republik Indonesia dan Tentara Nasional
Indonesia serta semua aparat pemerinatahan lainya yang melaksanakan urusan
pemerintahan selain di lingkungan Kementerian Dalam Negeri. Pamong praja adalah
mencakup pejabat pusat yang ada di pusat, pejabat pusat yang ada di daerah
maupun pejabat daerah yang ada di daerah.
Selain prinsip
kepemimpinan yang dicetuskan Ki Hadjar Dewantara, ada satu prinsip
kepemimpinan Jawa lain yang dikenal dengan nama HASTA BRATA. “Hasta” yang
artinya delapan dan “Brata” yang artinya pegangan atau pedoman. Secara singkat
inilah yang dimaksud Hasta Brata itu:
o Matahari (surya) Matahari merupakan
sumber energi dan sumber kehidupan, bahkan proses fotosintesa tumbuhan juga
menggunakan matahari sebagai sumber utama. Oleh karena itu diharapkan seorang
pemimpin bisa menjadi layaknya matahari, pemimpin harus bisa menumbuhkan
motivasi-semangat para bawahan (dan rakyatnya) supaya menjadi produktif.
o Bulan (candra) Bulan memiliki
sinar yang indah dan memberi penerangan di saat malam. Seorang pemimpin
idealnya harus dapat menyenangkan,menarik hati dan memberi terang kepada anak
buahnya.
o Bintang (kartika) Bintang dapat digunakan
sebagai pedoman arah mata angin. Seorang pemimpin diharapkan dapat memberikan
petunjuk, bimbingan dan arahan kepada para bawahan.
o Mega-Mendung Mendung bersifat
menakutkan,berwibawa, tetapi setelah berubah menjadi air atau hujan, dapat
menyegarkan semua makhluk hidup. Seorang pemimpin harus menjaga kewibawaan
dengan berbuat jujur, terbuka dan pada akhirnya tetap memberikan manfaat bagi
rakyat dan bawahannya.
o Angin (maruta) Sifat angin adalah
selalu mengisi kekosongan, yaitu mengalir ke tempat dengan tekanan lebih
rendah. Seorang pemimpin harusnya selalu tanggap dengan “kekosongan”
(penderitaan) yang dialami oleh rakyatnya. Seorang pemimpin juga diharapkan
tidak hanya selalu berada di tempat yang tinggi tetapi dia juga harus rela
“mengalir” ke tempat rendah, rela melibatkan diri membantu masyarakat bawah.
o Samudra Samudera memiliki sifat air, yaitu
permukaannya datar. Jadi seorang pemimpin seharusnya juga memiliki “permukaan
yang datar” dalam artian memiliki sifat adil. Orang Jawa sering menggunakan
istilah “jembar segarané” (luas laut/samuderanya) untuk menyatakan sifat
pemaaf. Seorang pemimpin harusnya bersifat pemaaf (tapi ya harus tahu kesalahan
yang seperti apa yang layak dimaafkan, jangan lantas semua koruptor dimaafkan
dan dibebaskan). Samudera juga sangat luas, sebagian besar permukaan bumi
merupakan perairan/laut. Begitu juga dengan pemimpin, diharapkan seorang
pemimpin memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas.
o Api (dahana) Api bersifat
membakar apa saja yang bersentuhan dengannya. Api juga akan bermanfaat jika
jumlahnya proporsional, jika jumlahnya berlebihan maka api akan berbahaya. Jadi
seorang pemimpin harus mampu bertindak tegas dan adil tanpa pandang bulu. Di
samping tegas, seorang pemimpin harus mempunyai prinsip konsisten serta dapat
menahan emosi atau mengendalikan diri.
o Bumi Bumi merupakan tempat tumbuhnya
berbagai macam tumbuhan dan juga tempat berbagai macam mineral yang sangat
dibutuhkan secara langsung oleh manusia. Seorang pemimpin idealnya meniru sifat
bumi yaitu dermawan dan rela berkorban termasuk dirinya sendiri.
G. REKRUTMEN PAMONG PRAJA TERHADAP KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN INDONESIA
Pamong praja merupakan konsep yang mengalami pergeseran makna seiring
dengan perubahan rezim pemerintahan daerah. Sebagai konsekuensi perubahan
dimaksud, secara historis basis rekrutmen mengalami penyempitan dan perluasan
sejak era pra-kemerdekaan hingga pasca-kemerdekaan. Kebutuhan terhadap
kepemimpinan pemerintahan yang kuat sekaligus simpul pengikat perbedaan dari
pusat hingga level bawah memungkinkan berjalannya pemerintahan secara stabil.
Kondisi demikian membutuhkan kepemimpinan pemerintahan yang di dukung
secara de fakto maupun de jure. Dengan menggunakan
sentuhan teori elit, legitimasi, kekuasaan dan kepemimpinan pemerintahan,
konsepsi Pamong Praja dimaknai secara substansial kemudian dihubungkan dengan
basis rekruitmen masa lalu untuk mengkonstruksi kepemimpinan pemerintahan
sesuai kebutuhan dimasa mendatang.
Konsep Pamong Praja Dalam Birokrasi Jawa
Dalam serat Wulangreh[1], term Pamong
Praja dapat ditelusuri menurut sastra Jawa. Wulangreh merupakan
kitab yang di desain bagi para calon pemimpin atau penguasa. Wulang berarti pelajaran, Reh mengandung
makna penguasa atau pemimpin. Karya ini
dijadikan kurikulum rujukan untuk mengendalikan hawa nafsu para penguasa
seperti pemahaman halal-haram, hidup sederhana, tidak sombong, loyal pada
negara, tidak berwatak pedagang, rendah hati dan adil. Tujuannya agar tidak
kehilangan arah dalam menjalankan roda pemerintahan[2]. Dalam birokrasi Jawa
kita mengenal istilah Pangreh Praja dan Pamong
Praja. Makna Pangreh (Pang[3] dan Reh)
menunjukkan pada kekuataan penguasa atau pemimpin. Praja sendiri
memiliki arti rakyat kebanyakan, publik, masyarakat atau mereka
yang dilayani. Dalam konteks normatif, istilah Praja identik
dengan pegawai pemerintahan, pegawai negeri sipil (civil servant)[4].
Istilah ini jelas berbeda dengan kata Raja yang menunjukkan
arti sebaliknya, sebagaimana kecurigaan sebagian masyarakat terhadap istilah
Praja yang seakan di didik menjadi Raja di IPDN Jatinangor. Jadi, kalau
diartikan bebas, Pangreh Praja lebih merujuk pada pejabat
politik yang memiliki derajat kekuasaan tertentu. Berbeda dengan
istilah Pamong yang merujuk pada kata among,
ngemong atau momong. Istilah ini menurut
Nurdin (2010)[5] merupakan kata yang bersifat multidimensional,
seperti kata mengemong anak atau mengasuh anak kecil.
Dalam perspektif pragmatis, Tursandi (2010) menambahkan, istilah Pamong paling
tidak menekankan pada seorang pelayan publik agar mampu me-ngemong (melayani), ngomong (berkomunikasi)
dan siap di-omong (dinilai). Dalam kaitan itu Pamong
Praja diartikan sebagai pegawai negeri yang mengurus pemerintahan
negara. Maknanya, birokrasi Jawa di bentuk untuk melayani rakyat
sebagaimana mengasuh anak, penuh perlindungan dan kasih sayang selama kapanpun.
Jika demikian maka dari aspek substansi, birokrasi Jawa dapat dibagi dalam dua
level yaitu, kelompok Pangreh Praja yang menitikberatkan pada pola kekuasaan
atau kepemimpinan (cenderung berst dilayani), dan kelompok Pamong Praja yang
menitikberatkan pada pola pelayanan kepada masyarakat (cenderung melayani).
Untuk memudahkan pengamatan terhadap
perkembangan basis rekrutmen pendidikan pamong praja maka pilihan periode
1990-2009 dijadikan tolok ukur sehubungan penyatuan seluruh Akademi
Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) daerah menjadi APDN Nasional pada tahun
1990. Pada tahun 1992 status APDN berubah menjadi Sekolah Tinggi
Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) hingga tahun 2004. Penggabungan IIP dan
STPDN pada tahun 2004 menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dengan
pola regionalisasi setidaknya menunjukkan kembalinya pola-pola rekruitmen
dengan basis lokal. Pada periode 1990 sd 2004, basis rekrutmen pamong
praja berasal dari masyarakat biasa (lulusan SMU) yang diintegrasikan di
Jatinangor. Sekalipun pemerintah lebih membuka kesempatan pada masyarakat
umum melalui seleksi ketat di daerah hingga pusat, namun faktanya rekrutmen
relatif mewakili kelompok elite dibanding masyarakat umum melalui standar yang
ditetapkan.
Strategi pengembangan karakter
kepemimpinan melalui basis rekrutmen pamong praja hari ini haruslah di evaluasi
kembali. Pengembangan karakter kepemimpinan melalui aspek intelektualitas, emosional dan spiritual menjadi
strategi yang tak terhindarkan. Mendidik pamong praja melalui penanaman
kekuasaan yang bersifat de jure semata (law centris)
tak menjawab dinamika perkembangan politik pemerintahan dewasa ini. Faktanya,
kaderisasi elit dalam masyarakat melalui instrument partai politik maupun
lembaga kemasyarakatan lainnya tampaknya mengalami kemacetan/kebuntuan (stagnan),
bahkan berjalan tanpa proses yang memadai.
banyak lulusan APDN, IIP, STPDN dan IPDN
yang sekalipun muda namun di nilai masyarakat mampu mengemban misi pemerintahan
sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Ini menunjukkan bahwa
akseptabilitas moral masyarakat (legitimasi) terhadap alumni mengalami
perluasan tidak saja dalam konteks penegasan kekuasaan secara de jure,
tetapi juga de fakto. Asumsi ini di dukung oleh banyaknya
pendaftaran kandidat Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam 5 tahun
terakhir yang berasal dari kalangan alumni pendidikan Pamong Praja.
Sepanjang elit dalam masyarakat (termasuk
partai politik) mampu menciptakan sirkulasi secara sehat dan memadai, maka
pendidikan pamong praja tentu saja lebih relevan jika ditempatkan secara proporsionalitas
sebagai manajer yang tangguh dalam birokrasi modern. Sebaliknya, jika partai
politik gagal membangun pola sirkulasi sesuai mekanisme dalam praktek demokrasi
prosedural, maka suka atau tidak, basis pendidikan pamong praja secara alamiah
berpeluang mengambil bagian berdasarkan mekanisme dan konsensus yang
disepakati.
Pada dasarnya semua itu bergantung pada
tujuan pemerintah dalam kaitan dengan pembentukan kepemimpinan pemerintahan.
Pertanyaan mendasar adalah basis dan otoritas apa yang kita butuhkan ke depan
dalam konteks pendidikan Pamong Praja dengan berpijak pada realitas sistem
politik dan pemerintahan yang berlangsung saat ini? Belajar dari basis
rekrutmen masa lalu serta kebutuhan otoritas, tampaknya perlu dipikirkan
kebutuhan kepemimpinan pemerintahan dalam road map 10 sd 20
tahun ke depan sehingga basis rektrutmen dapat disesuaikan.
konsep pamong praja bahkan menjadi lebih
terbuka dengan perubahan sistem pemerintahan, dimana istilah urusan
pemerintahan umum dan urusan umum pemerintahan semakin sulit dibedakan dalam
kenyataan dilapangan. Bahkan menurutnya, individu yang melakonkan jabatan
pamong praja boleh berasal darimana saja, tanpa melihat latar belakang
pengalaman dan pendidikannya. Tinggal bagaimana membentuk mereka agar memahami
makna pelayanan masyarakat serta dibekali lewat pelatihan jangka pendek (short
courses) dan jangka panjang.
H. KODE ETIK KEPAMONGPRAJAAN
·
Sebagai korps yang sudah berusia lama serta sudah mengalami pasang surutnya
politik pemerintahan daerah, Pamong Praja telah memiliki kode etik (code of
conduct) yang dinamakan Hasta Budi Bhakti, yang artinya Delapan Nilai Pegangan
Untuk Berbakti.
·
Kode Etik ini sebenarnya merupakan pegangan moral bagi siapapun yang masuk
kategori Korps Pamong Praja.
·
Kode etik ini juga merupakan sebuah komitmen moral. Tetapi kelemahan bangsa
Indonesia, banyak membuat komitmen tetapi seringkali tidak konsisten.
KESIMPULAN
Terlepas dari persoalan tersebut,
tampaknya, pemahaman terhadap Pamong Praja yang mensyaratkan kualifikasi kepemimpinan dan kemampuan
managerial seperti dikemukakan Ndraha dalam Ismail (2010:8) cukup
relevan dalam pemaknaan kekuasaan de fakto dan de jure.
Kekuasaan de fakto (kharismatik, politis) dapat dikembangkan
melalui pengembangan karakter kepemimpinan, sedangkan kekuasaan de jure (legal-rasional,authority)
dapat di desain melalui pengembangan karakter managerial.
Itulah mengapa kita cenderung melarang
alumni STPDN/IPDN setelah lulus menjadi ajudan kepala daerah, sekalipun penting
untuk menumbuhkan karakter managerial pada waktunya. Tetapi dengan menempatkan
alumni di level Desa, Kelurahan dan Kecamatan sebagai entitas pemerintahan
paling bawah, mereka relatif berhadapan langsung dengan basis sosial yang
dengan sendirinya dapat mengembangkan karakter kepemimpinan secara de
fakto, sekaligus mengasah karakter managerial atas kekuasaan de
jure.
Pamong Praja sebagai representasi
pemerintah dalam melayani masyarakat perlu di didik secara istimewa/khusus,
sebab pemerintah memiliki kekhususan/keistimewaan dalam memainkan kekuasaan
baik secara de jure maupun de fakto. Perlu
dibedakan sifat khusus pada sekolah lain seperti Jaksa, Hakim, Auditor, Polisi
atau Tentara yang walaupun di didik secara khusus namun hanya melaksanakan
kekuasaan de jure semata (law centris) tanpa berhadapan
langsung dalam konteks pelayanan masyarakat sehingga membutuhkan qualified
leadership (Ndraha:2010). Inilah yang disebut dengan model pendidikan specialist-generalis. Kalau
alumni AKPOL dan AKMIL bersifat specialist mengamankan dan
mempertahankan, lulusan perguruan tinggi lain bersifat generalist-specialist
dalam keilmuan, maka lulusan pamong praja lebih bersifat specialist-generalist
dalam praktek pemerintahan.
0 comments: