KETIDAKEFEKTIFAN DAN KETIDAKEFISIENAN
Ketidakefektifan dan ketidakefisienan merupakan indikasi dari 
penyimpangan, tidak akuratnya perhitungan belanja atau tidak tepatnya 
penggunaan uang negara dan belanja pemerintah. Ketidakefektifan 
berorientasi pada pencapaian hasil (outcome), yaitu adanya 
kegiatan yang tidak memberikan manfaat atau hasil yang direncanakan, 
serta fungsi pemerintahan yang tidak optimal sehingga tujuan pemerintah 
tidak tercapai. Sedangkan ketidakefisienan merupakan penggunaan input 
dengan harga atau kuantitas/kualitas yang lebih tinggi dari standar, 
kuantitas/kualitas yang melebihi kebutuhan, dan harga yang lebih mahal 
dibandingkan dengan pengadaan barang/jasa serupa pada waktu yang sama.
Pada umumnya kasus-kasus ketidakefektifan yang terjadi pada 
lingkungan pemerintahan yaitu adanya penggunaan anggaran belanja yang 
tidak tepat sasaran/tidak sesuai peruntukkan, pemanfaatan barang/jasa 
dilakukan tidak sesuai dengan rencana yang ditetapkan, barang yang 
dibeli belum/tidak dapat dimanfaatkan, pelaksanaan kegiatan 
terlambat/terhambat sehingga mempengaruhi pencapaian tujuan organisasi, 
dan pelayanan kepada masyarakat yang tidak optimal. Hal ini terjadi 
karena kelalaian pejabat yang bertanggung jawab, tidak cermat dalam 
merencanakan dan melaksanakan kegiatan, tidak mempedomani ketentuan yang
 berlaku serta lemahnya pengawasan dan pengendalian kegiatan.
Sementara itu, kasus-kasus ketidakefisienan pada umumnya terjadi 
diakibatkan karena pengadaan barang/jasa yang melebihi kebutuhan atau 
tidak sesuai dengan standar dan adanya pemborosan keuangan negara atau 
kemahalan harga pada saat penyusunan anggaran (APBN/APBD). Penyebabnya 
hampir sama dengan kasus-kasus ketidakefektifan, diantaranya diakibatkan
 kelalaian dalam perencanaan dan penganggaran program/kegiatan atau 
belanja.
Ketidakefektifan dan ketidakefisienan ini selain berdampak pada tidak
 dapat terserapnya uang rakyat secara optimal menunjang pelaksanaan 
fungsi pemerintahan dalam melayani masyarakat, juga mengakibatkan 
pembangunan nasional tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga 
tidak dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan 
rakyat. Untuk itu, agar penggunaan uang rakyat dapat dilakukan secara 
efektif dan efisien maka pemerintah harus senantiasa membuat perencanaan
 yang matang, berkelanjutan dan sesuai dengan kebutuhan, penganggaran 
yang sesuai dengan standar biaya/harga yang berlaku, pelaksanaan yang 
sesuai dengan ketentuan atau peraturan perundang-undangan, pengawasan 
dan pengendalian yang memadai serta harus memiliki pejabat dan aparat 
pemerintah yang berkomitmen untuk memberikan pelayanan secara optimal 
kepada masyarakat.
KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) merupakan suatu hal yang tidak 
asing lagi bagi bangsa Indonesia saat ini. Hampir setiap hari dan di 
setiap media massa baik cetak maupun elektronik memberitakan tentang 
kasus KKN yang dilakukan oleh pejabat negara dan aparat pemerintahan 
baik dilakukan secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama atau oleh 
kelompok tertentu. Yang memprihatinkan dari fenomena ini adalah ternyata
 kasus korupsi dan kolusi di Indonesia tidak hanya dilakukan oleh pihak 
eksekutif (pejabat dan aparat pemerintah) saja, namun juga telah 
melibatkan pihak legislatif (Anggota DPR/DPRD), bahkan sampai kepada 
aparat yudikatif (penegak hukum, seperti polisi, jaksa dan hakim).
Korupsi adalah bagian gejala sosial yang masuk dalam klasifikasi 
menyimpang, karena merupakan suatu aksi tindak dan perilaku sosial yang 
merugikan individu lain dalam masyarakat, menghilangkan kesepakatan 
bersama yang berdasar pada keadilan, serta pembunuhan karakter terhadap 
individu itu sendiri. Makna korupsi, sebagai suatu tindakan amoral, 
tidak memihak kepentingan bersama (egois), mengabaikan etika dan 
melanggar aturan hukum, termasuk melanggar aturan agama. Sementara itu, 
kolusi adalah suatu kerja sama secara melawan hukum antar penyelenggara 
Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau 
Negara.
Sedangkan nepotisme adalah tindakan atau perbuatan yang menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara. Baik korupsi, kolusi maupun nepotisme merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan salah satu wujud dari pengelolaan uang rakyat yang tidak bertanggungjawab.
Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya
 dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan 
tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk 
mewujudkannya, perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha 
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana KKN pada umumnya serta tindak
 pidana korupsi pada khususnya. Karena tidak hanya dapat menghambat laju
 pembangunan nasional, namun juga dapat merugikan keuangan negara pada 
khususnya serta kesejahteraan rakyat pada umumnya.
Khususnya dalam rangka menggalakkan upaya pemberantasan dan 
pencegahan tindak pidana KKN di Indonesia, sejak tahun 1999 telah 
dikeluarkan UU Nomor 31 Tahun 2009 tentang Pemberantasan Tindak Pidana 
Korupsi. Lahirnya UU ini juga merupakan dasar terbentuknya Komisi 
Pemberantasan Korupsi (KPK), yang diharapkan mampu memenuhi dan 
mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka 
mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak 
pidana korupsi yang sudah sangat memperihatinkan dan meresahkan 
masyarakat ini.
Penyebab terjadinya KKN sangatlah beragam, mulai diakibatkan karena 
lemah dan rumitnya peraturan perundang-undangan, lemahnya moral pejabat 
atau aparat pemerintah dan penegak hukum, tekanan ekonomi atau gaji yang
 rendah, lemahnya pengendalian dan pengawasan, sampai kepada faktor 
kebiasaan dan sosial. Untuk menghilangkan kebiasaan buruk ini maka tidak
 cukup hanya dengan melakukan pemberantasan korupsi saja, namun juga 
harus diikuti dengan upaya pencegahan, agar praktik KKN tidak semakin 
merajalela di Indonesia. Upaya pencegahan KKN harus dilakukan sejak dini
 dan perlu melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat umum. Sejak dini
 baik pelajar maupun mahasiswa perlu diperkenalkan tentang KKN dan 
dampak buruknya terhadap kesejahteraan rakyat, serta upaya-upaya 
pencegahannya, termasuk peran serta masyarakat dalam mencegah semakin 
meluasnya praktik KKN di Indonesia.
Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan 
dan pemberantasan tindak pidana KKN, namun harus dilaksanakan dengan 
berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur dalam 
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama
 dan norma sosial lainnya. Dalam hal ini, masyarakat berhak mencari, 
memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak 
pidana KKN kepada aparat penegak hukum, selain itu, bagi mereka yang 
telah mengungkapkan adanya praktek KKN, selain berhak untuk mendapatkan 
perlindungan hukum juga seharusnya diberikan penghargaan oleh 
Pemerintah.
TIDAK MAKSIMALNYA FUNGSI AKUNTANSI
Keberadaan akuntansi dalam sektor pemerintahan di Indonesia mulai 
terlihat sejak diberlakukannya UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan 
Negara, khususnya sebagaimana yang tercantum dalam pasal 30-32. 
Ketentuan tersebut memberikan perubahan mendasar dalam 
pertanggungjawaban penyelenggaraan kegiatan pemerintahan yaitu dengan 
diwajibkannya Presiden/Kepala Daerah untuk menyampaikan Laporan 
pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Daerah
 (APBN/APBD) kepada DPR/DPRD berupa laporan keuangan yang telah 
diperiksa oleh BPK selambat-lambatnya 6 bulan setelah tahun anggaran 
berakhir, disajikan berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), 
dengan lampiran laporan keuangan perusahaan negara/daerah.
Dengan adanya akuntansi dalam pemerintahan, setidaknya memberikan angin segar dan secuil harapan atas terwujudnya good governance
 penyelenggaraan negara di Indonesia, khususnya berkaitan dengan 
pengelolaan keuangan negara. Namun, selama 7 (tujuh) tahun terakhir ini,
 harapan atas berfungsinya akuntansi dalam rangka mengurangi korupsi dan
 kolusi, meningkatkan efisiensi dan efektifitas serta mewujudkan 
transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara ternyata 
masih belum dapat menunjukkan kontribusinya secara maksimal.
Fungsi akuntansi yang semestinya dapat berperan mengefektifkan setiap
 tahapan pengelolaan keuangan negara belum dapat dimaksimalkan, pada 
tahapan perencanaan dan penganggaran misalnya, masih ditemukan tidak 
adanya skala prioritas yang terumuskan secara tegas dalam proses 
pengelolaan keuangan publik, ketidakterpaduan antara rencana kegiatan 
dengan kapasitas sumber daya yang dimiliki, maraknya irasionalitas 
pembiayaan kegiatan pemerintah, rendahnya efektivitas dan efisiensi 
penggunaan keuangan publik, anggaran pendapatan negara/daerah yang underestimate dan kesalahan dalam penyajian laporan keuangan yang diakibatkan karena kekeliruan dalam menetapkan pos anggaran.
Pada tahapan pelaksanaan juga demikian, masih ditemukan adanya 
transaksi keuangan yang tidak didukung bukti yang cukup, penggunaan 
langsung atas pendapatan negara/daerah, ketidakhandalan data aset dan 
persediaan, terjadinya kesalahan pencatatan transaksi, ketidaktepatan 
penggunaan anggaran, kehilangan dana/barang, ketidaksesuaian data antara
 satu pihak dengan pihak lainnya serta keterlambatan penyusunan laporan 
keuangan. Sedangkan dalam tahapan pengawasan, temuan hasil pengawasan 
yang sering disembunyikan oleh para pejabat masih sering dijumpai, 
mengakibatkan peran aparat pengawasan intern pemerintah belum efektif 
dalam menciptakan early warning system.
Fenomena ini mengindikasikan fungsi akuntansi sebagai alat 
perencanaan, pengendalian dan dasar pengambilan keputusan belum 
difungsikan secara maksimal. Hal ini diperparah lagi dengan kebiasaan 
melakukan meniru sistem dan prosedur pengelolaan keuangan, termasuk 
sistem pengendalian intern pemerintah (SPIP), yang mana karena 
penyusunannya tidak didasarkan pada informasi yang relevan dan andal, 
pemikiran realistik dan objektif, pertimbangan aspek biaya dan manfaat (cost and benefit),
 ketersediaan sumber daya manusia dan infrastruktur teknologi informasi 
serta kondisi geografis dan budaya masyarakat, mengakibatkan dalam 
tataran pelaksanaannya selalu mengalami kendala, bahkan di beberapa 
daerah sistem tersebut sulit untuk diimplementasikan, sehingga berdampak
 pada tidak berfungsinya akuntansi secara maksimal dalam mengefektifkan 
dan mengefisienkan penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan APBN/APBD.
Faktor utama yang mengakibatkan belum maksimalnya fungsi akuntansi di
 dalam lingkup pemerintahan selama ini dikarenakan proses transformasi 
akuntansi sektor publik di Indonesia belum sepenuhnya diikuti dengan 
pembentukan pola pikir (mindset) yang sesuai atas fungsi 
akuntansi dalam organisasi pemerintahan oleh sebagian penentu kebijakan 
mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sampai kepada 
wakil rakyat di DPR dan DPRD. Selain itu, aparat pemerintah juga belum 
sepenuhnya memahami akuntansi secara komprehensif, sehingga belum dapat 
memaksimalkan fungsi akuntansi dalam menunjang efektifitas dan efisiensi
 pelaksanaan tugasnya masing-masing dan belum dapat menjadikan informasi
 akuntansi sebagai dasar pengambilan keputusan.
Tidak berfungsinya akuntansi secara maksimal dalam pemerintahan 
tersebut mengakibatkan pertanggungjawaban uang rakyat belum dapat 
dilakukan secara maksimal. Informasi yang disajikan dalam laporan 
keuangan pemerintah sebagai alat pertanggungjawaban pemerintah belum 
mampu memberikan informasi yang andal dan relevan kepada rakyat atas 
penerimaan dan penggunaan uang rakyat yang dipercayakan kepada 
pemerintah, sehingga rakyatpun tidak dapat menilai kinerja pemerintah 
secara tepat. Selain itu, dengan tidak maksimalnya fungsi akuntansi juga
 dapat mengakibatkan perencanaan dan penganggaran yang dilakukan oleh 
Pemerintah menjadi tidak akurat, sehingga memicu terjadinya 
ketidakefektifan dan ketidakefisienan, yang berujung pada praktik KKN 
yang semakin terbuka lebar akibat tidak berfungsinya akuntansi dalam 
pengendalian dan pengawasan
 
 
0 comments: