Tersebut
lah kisah tentang seorang filsuf Yunani keturuan Turki bernama Diogenes of
Sinope. Diogenes merupakan filsuf beraliran sinis yang merupakan salah satu
mazhab yang berakar pada ajaran Sokrates, Diogenes terkenal dengan sikapnya
yang sangat berani dan frontal dalam menyuarakan apa yang ada dalam
pemikirannya sehingga Plato menjuliknaya sebagai “sokrates yang pemarah”.
Pada
suatu ketika Diogenes mengamati kehidupan masyarakat Yunani pada masanya, ia
sampai pada suatu kesimpulan bahwa sungguh masyarakat pada zamannya telah
rusak, dengan segala kebudayaan dan adat-istiadat “barunya”, masyarakat hidup dalam
semangat individualistik dan rasionalisme yang membabibuta. Mereka tidak lagi
mempedulikan antara satu dengan lainnya, cenderung bersikap hedonis,
materialistik dan oportunis. Setiap orang hanya berfikir bagaimana mencapai
kebahagiaan masing-masing, tidak peduli berapa banyak aturan, norma dan etika
yang harus mereka kangkangi, tidak peduli berapa banyak orang yang harus mereka
korbankan demi memenuhi hasrat animalia mereka yang sadis.
Hal
ini lah yang membuncahkan kegelisihan Diogenes, puncaknya pada suatu
siang hari yang cerah di kota yunani, Diogenes berlari kesana kemari membawa sebuah lantera (obor) dia pergi kekeramaian pasar mengarahkan lantera itu kewajah orang-orang yang ia temui dipasar, orang-orang tentu saja bingung degan perbuatannya tersebut, “Diogenes apa yang engkau lakukan?” kata khalayak ramai, beliau menjawab “ufattisu an insanin” aku sedang mencari manusia. Tentu saja semua terperangah dibuatnya. Diogenes dengan terang benderang mengkritik keadaan moral masyarakat yang hidup pada masanya, dia menganggap mereka bukan lagi manusia, karena tidak ada lagi standar etik dan moral yang seharusnya dimiliki oleh seorang insan.
siang hari yang cerah di kota yunani, Diogenes berlari kesana kemari membawa sebuah lantera (obor) dia pergi kekeramaian pasar mengarahkan lantera itu kewajah orang-orang yang ia temui dipasar, orang-orang tentu saja bingung degan perbuatannya tersebut, “Diogenes apa yang engkau lakukan?” kata khalayak ramai, beliau menjawab “ufattisu an insanin” aku sedang mencari manusia. Tentu saja semua terperangah dibuatnya. Diogenes dengan terang benderang mengkritik keadaan moral masyarakat yang hidup pada masanya, dia menganggap mereka bukan lagi manusia, karena tidak ada lagi standar etik dan moral yang seharusnya dimiliki oleh seorang insan.
Apa
yang dirasakan Diogenes tampaknya mulai mewujud di masyarakat Indonesia dewasa
kini. Dari mulai prahara daging sapi dan "daging-daging" lainnya, korupsi, kolusi dan nepotisme yang begitu jamak, degradasi moral, disintegritas dan penyakit-penyakit lainnya begitu ajek menjejali indra penghilatan, pendengaran dan perasaan kita diberbagai kesempatan. Padahal hal tersebut tidak seharusnya terjadi, Muhadam labolo (2013)
mengatakan “padahal indonesia merupakan wadah persilangan Timur dan Barat. Di
Timur kita memperoleh berbagai filsafat tentang makna teologis yang membentuk
pribadi yang bertanggung jawab. Bentuk tanggungjawab horisontal (hablumminnas)
dan vertikal (hablumminallah)”. tetapi pada kenyataanya ternyata konstruksi etikalitas kita masih sangat rapuh. Ada, tetapi kurang bertenaga.
Ramadhan merupakan salah satu alternatif solusi dari jawaban permasalahan diatas. Ia merupakan sarana bagi manusia untuk dapat kembali menginsafi hakikat dirinya sebagai "manusia yang seutuhnya". Pada bulan Ramadhan, muslim diwajibkan berpuasa menahan
hawa nafsu. Tidak hanya nafsu yang bersifat lahiriyah saja seperti makan dan
minum, lebih dari itu kita juga diharuskan menahan nafsu bathiniyah untuk
tidak serakah, amarah, iri, dengki dan semacamnya selama berpuasa.
Ramadhan dikenal sebagai bulannya sedekah, dan sebaik-baik sedakah, adalah sedekah
dibulan ramadhan. Semangat untuk saling memberi inilah yang diharapakan mampu membakar simpul-simpul ketamakan dan individualistik
yang terpatri dikebanyakan masyarakat pada masa kini, serta menggantinya
dengan simpul-simpul kepedulian, kebersamaan, dan persaudaraan. Ramadhan
mengajarkan kita untuk terbiasa berbagi dan peduli dengan sesama.
Ramadhan
jika dijalankan dengan sungguh-sungguh, seharusnya mampu membawa kita untuk membongkar kebiasaan lama (bukan iklan top coffe). Ramdhan seharusnya mampu membantu kita bermetamorfosa menjadi “manusia”. Ramadhan adalah bulan
dimana seharusnya elit politik kembali peduli dan berikhtiar merealisasikan janji-janji madu yang pernah dilontarkan kepada konstituenya,
bulan dimana pemerintah hilang nafsu korupsinya tumbuh gairah mengabdinya, bulan ketika si-kaya merasakan
penderitaan saudara-saudaranya yang masih dijerat garis kemiskinan dan mau berbagi apa yang ia
punya, bulan dimana kebatilan kita
singkirkan dan kebaikan menjadi keutamaan, bulan penuh derai air mata
pertaubatan atas kerusakan yang pernah kita torehkan.
Ramadhan
adalah sarana untuk memanusiakan kembali manusia. Oleh karena itu, mari kita
jadikan ramadhan sebagai momentum untuk kembali merajut kesetiakawanan
nasional, menghidupkan kembali semangat persaudaraan dan kebangsaan. Demi
mewujudkan Indonesia yang madani dan berkepribadian.
Dengan
ramadhan, mari kita kembali memanusiakan diri dan menjadi manusia seutuhnya!
*Zulfikri
Armada*
Silahkan tinggalkan komentar..
ReplyDelete