Etika Kepemimpinan serta Urgensinya terhadap Sistem Pemerintahan
Oleh.Zulfikri Armada
Berangkat
dari kasus Bupati Garut Aceng Fikri yang tentu saja masih segar dalam ingatan
kita sekalian, bahwa untuk pertama kalinya di Indonesia kasus pemakzulan (impeachment)
pada pimpina eksekutif daerah terjadi bukan karena adanya tuntutan dalam permasalahan
kebijakan ekonomi atau politik, tetapi lebih karena dorongan publik yang begitu
besar terhadap permasalahan etika, dan moralitas Aceng Fikri sebagai pribadi
yang juga berimpitan dengan posisinya sebagai pejabat publik.
Oleh.Zulfikri Armada
Pada
kasus ini Mahkamah Agung mengabulkan permohonan dari DPRD Garut dengan argumen
bahwa posisi sang Aceng Fikri sebagai kepala daerah tak dapat dipisahkan dalam
kapasitasnya sebagai pribadi, artinya jabatan Bupati yang diemban oleh Aceng
melekat pada tindak tanduk yang dilakukannya baik itu atas nama pribadi maupun
institusi. Jadi keputusannya untuk menikahi anak gadis berumur 18 tahun secara
sirih lalu dengan ringannya kemudian ia menceraikan gadis tersebut melalui sebuah
pesan singkat dari hape, membuat publik menjadi berang.
Pemimpin adalah sumber inspirasi |
Etika
kepemimpinan pemerintahan dapat kita maknai sebagai implementasi kepemimpinan
pemerintahan yang mempedomani nilai-nilai pemerintahan, dalam konteks
kepemimpinan nasional tentu saja nilai
itu terkristalisasi dalam Pancasila dan UUD 1945, dan dalam lingkup lokal,
kearifan budaya dan tata nilai masyarakat setempat juga harus terakomodir dan
teraktualisasikan dengan baik didalamnya.
sebagaimana
yang telah dikemukakan oleh Greetz bahwa pemimpin adalah examply center,
pemimpin memegang peran sentral dalam menetukan arah, corak dan dinamika yang
terjadi dalam suatu organisasi. Sederhananya begini kita dapat mengibaratkan
pemerintahan yang merupakan institusi netral sebagai gandum, ia berbentuk, nyata, tetapi masih netral tidak
berasa, dan pemimpin sebagai koki yang memiliki keleluasaan untuk dapat
memberikan perasa tambahan pahit ataupun manis, pemimpin secara terbuka berpeluang
untuk berbuat baik atau sebaliknya. Apabila pemerintah dikelola oleh pemimpin
yang memegang etika kepemimpinan pemerintahan, maka rakyat akan menerimanya
sebagai rahmat (Rasyid, 2001:422).
Pemimpin
yang beretika tidak akan pernah punya niat untuk menyingkirkan bakat – bakat
hebat yang menjanjikan masadepan cerah. Dia akan mengilhami semua orang dengan
motivasi dan keteladanan untuk mampu mencapai keunggulan, dan menstimulasi
semua orang untuk berpikir positif dan bekerja efektif. Dia tidak akan dengan gampangnya memutasi
serta menonjobkan pegawai berpotensi yang ada dibawahnya hanya karena dendam
politik semata, atau sekedar bagi-bagi kado kemengan Pilkada, memuaskan syahwat
kekuasaannya saja.
Pemimpin
beretika akan menjadi pemandu bakat dan potensi yang andal bagi para bawahan.
Dia seorang pemimpin yang mementingkan etika sebagai landasan membangun sistem
dan kultur kerja organisasi pemerintahan. Dia bukan seorang yang menjadikan
sistem dan kultur organisasi untuk kepentingan sempit dirinya sendiri, atau
sekedar memuaskan hasrat haus kekuasaannya semata, tetapi dia seorang pemimpin
yang berperan sebagai penunjuk jalan yang baik bagi semua orang yang dipimpinnya.
Pemimpin
pemerintahan dalam melaksanakan tugas, fungsi dan dalam berperilaku, perlu
memahami dan mengimplementasikan makna dari etika. Pemahaman akan etika
kepemimpinan pemerintahan merupakan landasan berpijak yang penting dalam
melaksanakan pola-pola kerja, baik yang bersifat hirakis formal maupun yang non
formal, sehingga terjalin kerjasama yang harmonis, yang mengantarkan kepada
semangat akan kesadaran untuk melaksanakan pengabdian kepada bangsa dan negara
dan tulus dan ikhlas.
Sebenarnya
kita beruntung terlahir di Indonesia, negri dimana kearifan timur dan filsfat
barat bisa bersenyawa. Kita sebenarnya tidak perlu kesulitan untuk menentukan
bagaimana pedoman etika yang baik dalam memimpin, toh kita bukan masyrakat yang
miskin perdaban dan tata nilai sosial.
Mungkin
masi terbayang dibenak kita peristiwa pelantikan Bupati Mesuji yang dilakukan
di Lembaga Kemasyarakatan oleh Gubernur Lampung 2012 silam, atau baru-baru ini
Presiden kita memutuskan turun gunung merangkap jabatan sebagai ketua Umum
sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai-nya (Demokrat). Dalam konteks hukum
positif tentu saja kita tidak menemukan secarik ayat pun yang secara tegas
melarang hal itu terjadi, tetapi dalam konteks etika publik, maupun etika
pemerintahan apakah hal tersebut patut untuk dilakukan?
Memang
etika bukanlah hukum positif, dan etika pun tidak perlu diformalkan, akan
tetapi alangkah arifnya kita sebagai bangsa untuk mau duduk menghimpun kearifan
etika dan nilai dari penjur tanah air untuk dapat kita jadikan sebagai Code of
Conduct dalam menjalankan pemerintahan. Sehingga jelas aturan mainnya, faham
kita tolak ukurnya, jadi tidak perlu lagi gamang dan meraba-raba.
Dengan
sistem pemerintahan presidensil, dimana kekuasaan eksekutif lebih dominan, bisa
menjadi bahaya laten jika permasalahan etika ini tidak kita selesaikan dengan
baik, dimana kekuasaan legitimate yang dipegang oleh pimpinan eksekutif dapat
saja ia gunakan menjadi alat pemuas syahwat kekuasaan dengan memanfaatkan
celah-celah yang ada pada hukum positif kita.
Jika
hal itu terus-terusan terjadi, maka sistem pemerintahan sebagai suatu rangakian
yang padu akan terhambat geraknya, bukankah kekuatan suatu rantai teretak pada
mata rantai yang paling lemah, jika sub-sub sitem pemerintahan kita sudah kuat
akan tetapi etika pemimpin dalam menjalankan kepemimpinan pemerintahannya
bermasalah, maka cepat atau lambat rangakaian rantai itu akan dan pasti
terputus, terhambur, dan tidak berguna lagi jika tidak segera diperbaiki. Kalau
ini sudah terjadi kita semualah yang bakal memikul akibatnya.
0 comments: