“STATUSISASI” VICKY PRASETYO, SEBUAH TRAGEDI PERADABAN



            Hampir seluruh orang yang mengikuti perkembangan media tidak asing lagi dengan nama yang satu ini, Vicky Prasetyo. Tunangan pedangdut cantik Zaskia Gotik ini  dalam beberapa hari belakangan konsisten wara-wiri mewarnai jagad infotainment dan berita Indonesia. Vicky mencuri perhatian masyarakat bukan hanya karena pertunangannya dengan Zaskia, bukan juga karena belakangan dia diketahui telah ditangkap oleh pihak Kejaksaan karena kasus penipuan, tetapi karena  bahasa yang dia gunakan begitu “unik”, dengan mantapnya Vicky memadu-padankan isitilah-istilah yang membuat dahi kita berkerinyit untuk dapat memahami satu-persatu apa yang sebenarnya ia maksudkan.

            Fenomena Vickynisme (Izinkan saya memakai istilah aneh ini), sebenarnya merupakan momen yang dapat kita jadikan bahan refleksi dan renungan bagaimana kita sebagai suatu bangsa diakui atau tidak akhir-akhir ini kurang lagi memperhaikan hasanah berbahasa yang baik dan benar. Menurut pakar linguistik dan tata bahasa dari Universitas Indonesia, Totok Suhardiyanto, sebenarnya mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan Inggris atau gado-gado itu menjadi fenomena umum. Dan percakapan itu biasa digunakan oleh pengamat, para intelektual, bahkan pejabat, Tapi sayang untuk kasus Vicky, dia hanya mengerti kulitnya saja. Vicky tidak berusaha memahami makna dari kata-kata yang ingin ia gunakan, dan hasilnya ia menjadi bahan tertawaan masyarakat.

            Ada sebuah kutipan menarik dari filsuf Jerman ,Wittgenstein, bunyi kutipannya seperti ini, "Die Grenzen meiner Sprache bedeuten die Grenzen meiner Welt," yang jika diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia artinya, "Batas Bahasaku adalah batas duniaku." Sebuah ungkapan yang sangat filosofis tentunya, tetapi memang begitulah adanya.


            Kita sadari atau tidak, bahasa merupakan unsur terpenting dalam perjalanan peradaban umat manusia, dengan bahasa kita dapat mengkomunikasikan ide, gagasan dan pendapat kepada orang lain, untuk menjalin kerjasama dalam membentuk sebuah peradaban. Tanpa kemampuan berbahasa, mungkin tidak akan pernah tercipta peradaban manusia di Bumi ini, tidak akan ada Musisi, Politikus, Profesor, bahkan tanpa bahasa tidak akan ada nama, tidak ada Zulfikri Armada, nasib kita hanya akan berujung seperti hewan mamalia yang tak berdaya.

            Keanehan linguistik Vicky Prasetyo bisa jadi merupakan fenomena gunung es, yang hanya telihat dengan kita hanya ujungnya saja, sedangkan bongkahan besarnya masih tersembunyi dan belum terobservasi dengan baik. Kita belum bisa pastikan seberapa banyak kaum Vickynisme disekitar kita.

            Kita berharap, dengan “tragedi Vicky” publik kita dapat kembali menginstropeksi diri (termasuk saya pribadi) sejauh mana kita mampu memahami dan menggunakan Bahasa pemersatu bangsa ini dengan baik dan benar, Bahasa Indonesia merupakan suatu rahmat dari Tuhan kepada bangsa Indonesia, Negara besar yang terdiri dari begitu banyak suku, bangsa, dan bahasa lokal, tetap mampu mengikat diri dalam suatu bahasa persatuan. Bahka Uni Eropa yang modern-pun hingga saat ini masih belum bersepakat mengenai bahasa persatuan mereka. India lebih parah lagi, hingga saat ini gedung Parlemen justru dipadati dengan para penterjemah bahasa, karena setiap anggota parlemen lebih bangga menggunakan dialek lokalnya masing-masing dalam berpidato dan berkomunikasi di Parlemen.

            Mari kita sama-sama mempelajari kembali penggunaan Bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah yang baik dan benar. Karena Bahasa Indonesia, merupakan bahasa ibu yang mempersatukan kita sebagai sebagai bangsa, sebuah identitas, dan kebanggan kita bersama.(ZA)


*Berikut saya lampirkan transkrip bahasa Vicky Prasetyo yang “unik” itu, bagi para pembaca yang mungkin belum membacanya

"Di usiaku ini, twenty nine my age, aku masih merindukan apresiasi karena basically, aku senang musik, walaupun kontroversi hati aku lebih menyudutkan kepada konspirasi kemakmuran yang kita pilih ya."
"Kita belajar, apa ya, harmonisisasi dari hal terkecil sampai terbesar. Aku pikir kita enggak boleh ego terhadap satu kepentingan dan kudeta apa yang kita menjadi keinginan."
"Dengan adanya hubungan ini, bukan mempertakut, bukan mempersuram statusisasi kemakmuran keluarga dia, tapi menjadi confident."
"Tapi, kita harus bisa mensiasati kecerdasan itu untuk labil ekonomi kita tetap lebih baik dan aku sangat bangga..."


            

0 comments: