FORMAT KADERISASI FUNGSIONARIS WAHANA WIYATA PRAJA DALAM PRESPEKTIF MERIT SISTEM

FORMAT KADERISASI
 FUNGSIONARIS WAHANA WIYATA PRAJA
 DALAM PRESPEKTIF MERIT SISTEM
Oleh : Adfin Rochmad Baidhowah
Fungsionari Wahana Wyata Praja (WWP) IPDN


Abstrak : Sejak berdirinya APDN Nasional tahun 1990, organisasi wadah kreativitas praja sebagai wujud tanggung jawab lembaga dalam pengembangan peserta didik telah terbentuk, yaitu Manggala Korps Praja yang kemudian seiring dengan kondisi  dinamis lingkungan nasional serta tragedi yang menimpa, nama organisasi serta sistem kerjanya pun berturut-turut menjadi : Wahana Bina Praja (angkatan V sampai dengan angkatan XVI STPDN), Badan Eksekutif Praja (angkatan  XVII), Organisasi  Korps Praja (angkatan XVIII), dan Wahana Wiyata Praja (angkatan XIX sampai dengan sekarang).
Tuntutan keberlangsungan hidup organisasi menjadikan proses regenerasi serta rekrutmen merupakan faktor urgensi organisasi yang didasarkan pada tiga kompetensi dasar, yaitu leadership, stewardship, dan statesmanship dengan memperhatikan minat, bakat, serta kebutuhan organisasi dalam bingkai lembaga pendidikan kepamongprajaan.
Keywords : merit  system, reform, empowering

PENDAHULUAN (KADER YANG PREMATUR)
Menghadapi kemajuan lingkungan strategis global menuntut setiap organisasi untuk selalu melakukan pertumbuhan dan ketahanan produktivitas kerja yang dilatar belakangi oleh pola perencanaan, rekrutmen pelaksana, kreativitas, kinerja, akuntabel, transparansi, evaluasi, sampai pada regenerasi kepemimpinan untuk menjadikan organisasi tersebut tetap surive. Setiap orang punya masa dan setiap masa memiliki permasalahan tersendiri, itulah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan mengenai makna penting dari regenerasi kepemimpinan yang bernuansa analisis perilaku lingkungan agar pemimpin merasa yakin saat meninggalkan kursi kepemimpinanya kepada orang yang tepat dengan integritas yang tinggi, ulet, cracership, visioner, leadership, serta kemampuan manajerial yang handal demi tercapainya tujuan menciptakan dan mendistribusikan nilai.
Bagi masyarakat praja yang di dalamnya terdapat organisasi Wahana Wiyata Praja proses regenerasi dilakukan setiap satu tahun sekali dengan sebutan pengkaderan dimana  pejabat organisasi (berpangkat Nindya Praja)  bertindak sebagai subjek dan sebagai objek sasaranya adalah masyarakat Praja (yang berpangkat Madya Praja)yang ditandai dengan pita pengkaderan. Kedudukan pengkaderan yang sangat strategis bagi Wahana Wiyata Praja sejauh ini memiliki beberapa kelemahan dimana pedekatan pengkaderan yang terdapat di kehidupan masyarakat Praja lebih condong ke arah primordialisme yang ditandai dengan pejabat organisasi yang mengarahkan junior dengan asal pendaftaran yang sama untuk bergabung dalam unitnya dimana sudah dapat dipastikan akan menggantikan posisi pejabat tersebut di periode berikutnya. 
Di sisi lain proses pengadaan (procurement) kader organisasi yang terdiri dari penarikan (recruitment), pemilihan (selection), penempatan (placement), dan orientasi (orientation and induction) [Prof. Dr. Tjutju yuniarsih] yang tidak memenuhi prinsip proporsionalitas menjadi bahan penyedap dalam bumbu regenerasi tersebut yang akan berakibat pada menghilangnya tujuan pengadaan pegawai sebagai  pencipta suasana baru di lingkungan kerja, sehingga terbuka peluang tumbuh gagasan segar yang konstruktif, mengurangi timbulnya  persaingan negative yang berdampak pada inproduktivitas, menghindari kolusi dan nepotisme, serta mendapatkan calon kader organisasi yang kompetitif. Masyarakat Praja yang menjadi objek dari pengkaderan tersebut diberikan mindset tentang aspek psikomotorik sebagai yang utama dalam mendapatkan posisi kerja sehingga mengesampingkan keseimbangan antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam mencapai tujuan akir.
Bertolak dari akar permasalahan tersebut akan berimbas pada ; mindset kader saat definitive nantinya, cara kerja, kualitas kerja, waktu kerja, ditambah dengan permasalahan overlaving tupoksi, bekerja tidak tuntas, bekerja asal jadi, tidak cermat dan tidak teliti, yang dalam istilah Max Weber dinyatakan sebagai kerja lamban, kerja yang berbelit-belit, kerja yang tidak efektif yang bermuara pada pertanyaan apakah ikut melaksanakan ketertiban dan kedamaian abadi ini?
Secara normatif Wahana Wiyata Praja berjiwakan Peraturan Rektor no 8 Tahun 2012 merupakan organisasi praktikum pemerintahan daerah bagi Praja dengan berlandaskan asas ; tertib penyelenggaraan, kepentingan umum masyarakat Praja, keterbukaan, proporsionalitas, akuntabilitas, efisiensi, efektivitas yang menunjukan adanya pagar yang kokoh agar dalam menuntun perjalanan organisasi ini. Namun aturan tersebut belum menggambarkan teknis pelaksanaan organisasi tersebut dari yang diawali dengan proses regenerasi sampai pada proses regenerasi berikutnya yang berimplikasi terhadap pembuatan standar pelaksanaan kegiatan berdasar pada pemahaman Praja sendiri sehingga makna dari mekanisme kehidupan organisasi sebagai praktikum pemerintahan daerah bagi Praja belum memberikan edukasi mengenai penyelenggaraan organisasi yang efektive,efisien, akuntabel, trnsparan, dan fleksibel.
Berangkat dari permasalahan tersebut perlu dilakukan suatu perubahan dalam system regenerasi dari organisasi Wahana Wiyata Praja dengan motor penggerak Kader Pamong Praja, yang akan menuju jalan kehidupan sosial masyarakat untuk menjadi pendamping, fasilitator, serta transformator empowerment society ke dalam merit system dengan disertai pemantapan system organisasi, system administrasi, proses kerja, dan personal [osberne & Plastrik] dalam Wahana Wiyata Praja.

REFORMASI ORGANISASI
Melihat situasi dan kondisi organisasi Wahana Wiyata Praja dewasa ini banyak kalangan yang menyayangkan, bahkan patut untuk dikawatirkan dengan praktik regenarasi premodialisme pengkotak-kotakan yang sangat jauh dari semangat lembaga pendidikan kepamongprajaan yaitu sebagai lem perekat bangsa yang disyarati dengan national and character building serta wawasan kebangsaan sebagai cita-cita dan pandangan hidup atau way of life.
Di sisi lain, setiap kader tidak memiliki pemahaman yang kuat tentang makna dari tempat mereka bekerja, tugas apa yang diemban, dan fungsi apa yang  dijalankan sehingga dalam praktik organisasi terkesan tidak inovatif dan kreatif dengan kondisi aktual pemerintahan daerah (pembahasan revisi UU 32 2004)yang dikatan oleh Wamen PAN & RB menuju pada efisiensi penyelenggaraan pemerintahan, derajat partisipasi masyarakat untuk menumbuhkan keberdayaan, dan perbaikan system akuntabel yang berkesinambungan.
Selanjutnya tidak terdapat adanya kesesuaian antara pola perencanaan dengan pelaksanaan yang dibarengi dengan lemahnya fungsi pengawasan yang merupakan faktor penting dalam manajemen dimana Luther Gulick (1930)menyebutnya sebagai reporting, sedangkan George R. Terry (1935) dan Henri Fayol (1949) dengan sebutan controlling yang di tempatkan di fungsi terakir manajemen yang bertujuan mencapai kesesuaian antara target dengan realisasi, senada dengan  pernyataan Stepen Robein bahwa kegiatan untuk menjamin (to ensure) jalanya pekerjaan dengan demikian dapat diselesaikan secara sempurna (accomplished) sebagaimana direncanakan sebelumnya dengan pengkoreksian beberapa pemikiran yang saling berhubungan tertuang dalam pengawasan.
Kondisi krisis manajerial, integritas, dan visi organisasi Wahana Wiyata Praja tersebut menuntut pembenahan diri dengan melakukan reformasi organisasi yang diawali dengan pembenahan system organisasi. Wahana Wiyata Praja harus mampu menemukan jati dirinya, landasan hidup organisasi sehingga organisasi memiliki daya berlaku yang mampu mereform serta mengontrol tiga system di dalamnya ; system administrasi, proses kerja, dan personal sebagaimana yang dilakukan oleh Margareth Tacher dan John major dalam Osborn & Plastrik yang menargetkan strategi pada level tinggi, system dasar yang mewadahi bekerjanya unti-unit dalam organisasi tersebut yaitu system pusat.
Perbaikan pada system pusat akan mendorong pada perbaikan system administrasi yang merupakan kumpulan berbagai pengaturan yang mengatur beroperasinya system pemerintahan yaitu  pengaturan bagaimana organisasi akan menggunakan anggaran yang ada, bagaimana melakukan pengadaan kader dituangkan dalam suatu standard prosedur minimal organisasi, bagaimana system pengawasan yang dijalankan untuk mengawal perencanaan yang telah dirumuskan sebelumnya.
Reformasi organisasi berikutnya tertuju pada proses kerja dari masing-masing individu yang akan mengatur untuk mengetahui dan memahami apa tugas pokok serta fungsinya dalam organisasi yang berakibat pada personal time schedule sebagai salah satu dasar penilaian fungsi kontrol target terhadap realisasi. Reformasi organisasi pada personal merupakan tahapan akir perbaikan organisasi yang menuntut bukan hanya mencari kader yang berkualitas tinggi namun juga menciptakanya dengan tidak menitikberatkan pada paham premodialisme karena manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan khalifah dimuka bumi dengan tiap insan memiliki ciri yang unik serta dibekali kelebihan-kelebihan masing-masing yang tidak dapat dipaksakan, hal tersebut berdasar pada teori aktualisasi yang dikemukakan oleh Mc. Clelland bahwa ketika seseorang diberi hak dan peluang yang sama dalam meningkatkan kemuampuanya, maka yang bersangkutan akan terpacu untuk meningkatkan potensi dirinya secara mandiri.
Reformasi organisasi dapat diartikan sebagai resolusi yang merupakan proses pemecahan suatu masalah dimana sebelumnya sudah ada solusinya namun tetap saja menimbulkan masalah berikutnya atau solusi tersebut dianggap belum tuntas, atau suatu kebulatan tekad untuk mengambil sikap baru, biasa juga melakukan tindakan baru serta menunjukan perilaku baru yang berbeda dengan tindakan dan perilaku yang sebelumnya [Erliyana Hasan]. Maka dari itu reformasi organisasi perlu dilakukan bagi organisasi yang mengalami krisis multidimensial.

EMPOWERING KADER ORGANISASI
Menurut Sulistyani (2004) secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut maka pemberdayaan atau empowerment  dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya dengan menginternalisasikan beberapa keunggulan dalam aspek IQ (intelegent Question), EQ (Emotional Quetin), SQ (Spiritual Question) yang kemudian dijabarkan menjadi aspek fisik, intelektual, emosi, estetika, social, etika, financial dan spiritual [Hery Margono, Syahrial yusuf, Jen Z.A. Hans] dalam diri manusia yang menunjukan kemandirian, smart problem solver,  dan new idea dengan pengelolaan yang selaras.
Upaya untuk menumbuhkan keberdayaan dengan melakuakan edukasi merupakan hal awal untuk mendapatkan kader organisasi yang memiliki rasa ingin tahu dan minat yang tinggi, berani mengambil keputusan dengan dasar kerja keras, keluar dari zona nyaman dengan terus melakukan inovasi di bidangnya dengan memiliki prinsip-prinsip; tidak takut gagal, spirit tinggi, kreatif inovatif, kalkulasi resiko, pantang menyerah, peka terhadap perubahan lingkungan, memiliki etika, mandiri, peduli, dan ambisius yang terwujud dalam prestasi kerja.
Prestasi kerja merupakan suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan menyelesaikan pekerjaan yang dibebankan kepadanya meliputi kualitas kerja, kuantitas kerja, keandalan, dan sikap kerja [Heidjrachman, Suad Hasan, 1992] dengan pertimbangan sebagai berikut
·         Pertama realisasi = target
Yang dipertanyakan disini adalah, tidakah target terlalu rendah? Berdasarkan anggapan bahwa target berfungsi sebagai motivating factor, mungkin saja realisasi lebih besar jika target ditetapkan lebih besar pula!
·         Kedua  realisasi > target
Yang dipertanyakan, apakah realisasi itu bebas, tidak terikat pada tuntutan lingkungan yang dinamis? Jika perkembangan sistem organisasi tetap, tidak menghiraukan perubahan lingkungan akan terjadi nihil profit! Selanjutnya apakah target tidak terlalu rendah? Mungkin saja perencanaan lemah.
·          Ketiga realisas i< target
Dengan pola perencanaan yang sungguh-sungguh, akan muncul pertanyaan apakah target tidak terlalu tinggi? Atau apakah ada penyelewengan dalam realisasi?[Kybernology]
Menurut Siagian faktor pemberdayaan masyarakat merupakan bagian dari etos kerja yang menjadi penentu syarat keberhasilan peningkatan produktivitas, yang mengartikan bahwa posisi sumber daya manusia sebagai unsur strategik dalam organisasi merupakan motor penggerak organisasi perlu adanya penanaman delapan etos kerja professional ( Jansen Sinamo);
·         Kerja adalah rahmat : aku bekerja ikhlas penuh kebersyukuran;
·         Kerja adalah amanah : aku bekerja benar penuh tanggung jawab;
·         Kerja adalah panggilan : aku bekerja tuntas penuh kesungguhan;
·         Kerja adalah aktualisasi : aku bekerja keras penuh semangat;
·         Kerja adalah ibadah : aku bekerja serius penuh kecintaan (combination of IQ, EQ, and SQ)
·         Kerja adalah seni : aku bekerja cerdas penuh kreativitas ( prasyarat : memiliki pengetahuan dan keahlian );
·         Kerja adalah kehormatan : aku bekerja serius penuh keunggulan;
·         Kerja adalah pelayanan : aku bekerja pari[purna penuh kerendahan hati.
Dan bagaimana Tjutju Yuniarsih menggambarkan empowering SDM dalam startegi untuk mencapai keunggulan kompetitif, yaitu :Strategi inovasi dengan menekankan pada pengembangan individu ke dalam perilaku kreatif, mandiri, namun kooperatif, dan siap menanggung resiko yang berorientasi pada target jangka panjang, memadukan aspek kualitas dengan kuantitas, serta mensinergikan proses dengan hasil berdasarkan kondisi input yang ada. Strategi tersebut akan berimplikasi pada kader yang memiliki ketrampilan tinggi dan penilaian kinerja jangka panjang.
Apabila konsep empowering tersebut dilaksanakan dalam menyiapkan kader organisasi yang handal maka hasil dari kinerja organisasi Wahana Wiyata Praja akan berjalan baik karena kader dibekali dengan ilmu sebagai pengantar dalam analisa permasalahan organisasi, ketrampilan sebagai pencipta keuletan dan self discipline, serta spiritual sebagai pengendali dalam hati yang berhubungan dengan Sang Pencipta. Pemberdayaan kader harus mulai bergerak pada sifat eksploratif dengan melakukan penggalian terhadap potensi-potensi diri mereka yang menjadi kebutuhan ditengah arus pembaruan dunia yang semakin bergerak maju sedangkan dalam diri organisasi cenderung stagnan bahkan mengalami degradasi sedikit demi sedikit yang berujung pada mati surinya organisasi.
Dalam hal ini masyarakat praja harus mulai memupuk kebanggaan diri bahwa mereka telah terjaring melaui seleksi administrasi, samapta, psikologi, potensi akademik, sampai pada pantukir tentunya telah menjadi dasar penilaian awal yang kuat mengenai kualitas diri serta landasan dalam aksi empowering yang intensif dari pejabat organisasi membuat perkembangan terhadap potensi diri demi progres organisasi bukan menidurkan kemampuan kreatif diri Praja.

MERIT SISTEM SEBAGAI BUDAYA ORGANISASI
Saat semua organisasi sedang bersaing meningkatkan budaya efektivitas dan efisiensi untuk mencapai produktivitas yang incremental, Wahana Wiyata Praja sebagai laboratorium praktikum keorganisasian Pemerintah Daerah bagi masyarakat Praja tidak dapat hanya mengurung diri dalam tempurung melainkan harus mulai bergerak dari zona nyaman. Dapat kita tarik studi banding saat terjadi tragedi bom Hirosima dan Nagasaki oleh sekutu yang meluluhlantahkan Jepang dengan kerusakan begitu dahsyat. Terjadi krisis ekonomi, social, dan politik desertai mereka tidak memiliki sumberdaya alam untuk melakukan pembangunan namun mereka tetap berjuang dengan peningkatan sumber daya manusia yang dipupuk dengan sifat disiplin tinggi berujung pada kemajuan dalam kurun waktu kurang dari 43 tahun yang mensejajarkanya dengan Negara-negara tua adidaya di bidang ekonomi dan militer seperti Amerika, Inggris, Perancis, Italia serta tak segan-segan Ilmuan Amerika Serikat Ezra F. Vogel meluncurkan buku yang diberi judul  “Japan as number one” sebagai wujud kekaguman dunia pada Jepang.
Budaya organisasi yang digunakan Jepang patut diadopsi sebagai jawaban dari permasalahan yang membelit Wahana Wiyata Praja dengan memberlakuan budaya merit system yang menempatkan seorang kader bukan atas pertimbangan lain hal kecuali keilmuanya, ketrampilan, disipli, dan cara berfikirnya  dimana dalam buku “Kybernologi dan Roda Berputar Dunia Bergulir” dikemukakan bahwa belum akan berakir angkara murka di muka bumi ini ketika aparatur belum bertindak sebagai seorang filsuf (berfikir sistematis incremental) dan seorang filosof bertindak sebagai pemimpin.
Teknik dan metode pemberlakuan merit system dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1.       Pengadopsian corporate culture dalam diri organisasi dengan pengawalan, pengawasan, dan pemotivator oleh pemimpin puncak organisasi agar pola rancang bangun corporate culture tetap dalam track yang telah direncanakan.
2.       Mengadakan pertemuan dengan pejabat berwenang untuk melakukan pembahasan mengenai Standard Operasional Prosedur Minimal pengkaderan Wahana Wiyata Praja disertai hukuman bagi pihak yang melanggar dengan berpedoman pada corporate culture yang dituangkan dalam peraturan direktur.
3.       Penggunaan test potensi akademik dan psikologi dalam mengukur derajat intelektual dan kecenderungan diri kader organisasi dengan bekerja sama pada pejabat lembaga pendidikan dan dosen pembimbing di kelas.
4.       Melakukan pembatasan terhadap hak wewenang masing-masing pejabat organisasi  Wahana Wiyata Praja dalam menentukan penggantinya melainkan dengan melakukan rapat tertutup yang dihadiri oleh Pejabat Pembina Organisasi dengan didasari hasil test yang telah dilaksananakan.  Pembatasan tidak memberikan makna penurunan kewibawaan pejabat organisasi di mata kader melainkan merupakan sebuah amanah besar dalam internalisasi serta transfer keilmuan, ketrampilan, attitude, serta nilai-nilai kepemimpinan.
5.       Penggunaan sifat rutinitas pada system pengawasan, evaluasi, dan penilaian proses pengkaderan untuk menjaga kesesuaian antara formulasi dengan implementasi.
Semangat merit system dalam corporate culture yang dewasa ini sebagai tren budaya organisasi pemerintah global dengan makna yang bukan hanya sekedar pembaruan efektivitas dan efisiensi melainkan menurut Osborne & Plastrik lebih dari hal tersebut yaitu mencari ukuran organisasi yang memaksimumkan kinerja sebagaimana bentuk harus mengikuti fungsi, ukuran harus mengikuti strategi yang berakir pada pembawaan penyelenggaraan organisasi yang baik.
Hal tersebut terbukti dengan kesimpulan dari riset yang dilakukan oleh Hardvard Bussines School (Kotter dan Heskett, 1992)mengenai budaya mempunyai dampak yang kuat dan semakin besar pada prestasi kerja organisasi :
1.       Budaya corporate dapat mempunyai dampak signifikan pada prestasi kerja organisasi dalam jangka panjang.
2.       Budaya corporate bahkan mungkin merupakan factor yang lebih penting dalam menentukan sukses atau kegagalan perusahaan dalam decade mendatang.
3.       Budaya corporate dapat dibuat untuk lebih meningkatkan prestasi.
PENUTUP
Perubahan organisasi Wahana Wiyata Praja bukanlah hanya sebagai “ the imposible dream” di tengah carut-marut budaya organisasi yang sudah mengakar kuat di dalamnya, dengan pengorganisasian yang baik serta tekad yang kuat dilandasi pada prinsip hari esok harus lebih baik dari pada hari ini tak ayalnya “the imposible dream” akan berubah menjadi “the posible dream” dengan menggunakan langkah-langkah strategis dalam paparan di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Ndraha, 2003. Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), , Jakarta:  Rineka Cipta.
Osborne, David : Plastrik, Peter, 2004. Memangkas Birokrasi (Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha), Jakarta : Teruna Grefica.
Yuniarsih, Tjutju : Suwanto, 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia (Teori, Aplikasi, dan Isu Penelitian), Bandung : Alfabeta.
Sunyoto, Danang, 2012. Teori, Kuesoner, dan Analisi Data Sumber Daya Manusia, Yogyakarta : Center for Academic Publishing Service.
Moeljono, Djokosantoso, 2005. Budaya Organisasi dalam Tantangan, Jakarta : Elex Media Komputindo.
Marbun, 1983. Manajemen Jepang, Jakarta : Djaya Pirusa.
Margono, Hery : Yusuf, Syahrial : Hans Z.A. Jen, 2010. Manajemen Insan Sempurna ( The Real Secret To Balance Your Life), Jakarta : Insan Sempurna mandiri.

Prasosjo, Eko, 2009. Pemerintahan Politik Lokal di Jerman dan Perancis, Jakarta : Salemba Humanika.

0 comments: