MEMAHAMI INFLASI: PENGERTIAN DAN METODE PENARGETAN

INFLASI



“Inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus.”

Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Kebalikan dari inflasi disebut deflasi.
Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat.
Indikator inflasi lainnya berdasarkan international best practice antara lain:
  1. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). Harga Perdagangan Besar dari suatu komoditas ialah harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama atas suatu komoditas. [Penjelasan lebih detail mengenai IHPB dapat dilihat pada web site Badan Pusat Statistik www.bps.go.id]
  2. Deflator Produk Domestik Bruto (PDB) menggambarkan pengukuran level harga barang akhir (final goods) dan jasa yang diproduksi di dalam suatu ekonomi (negeri). Deflator PDB dihasilkan dengan membagi PDB atas dasar harga nominal dengan PDB atas dasar harga konstan.


Pengelompokan Inflasi
Inflasi yang diukur dengan IHK di Indonesia dikelompokan ke dalam 7 kelompok pengeluaran (berdasarkan the Classification of individual consumption by purpose - COICOP), yaitu :
  1. Kelompok Bahan Makanan
  2. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau
  3. Kelompok Perumahan
  4. Kelompok Sandang
  5. Kelompok Kesehatan
  6. Kelompok Pendidikan dan Olah Raga
  7. Kelompok Transportasi dan Komunikasi.

PENARGETAN INFLASI
Pencapaian target inflasi yang rendah merupakan agenda besar yang saat ini sedang dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Target ini tentunya tidak terlepas dari strategi kebijakan moneter baru yang saat ini sedang diimplementasikan oleh Bank Sentral yaitu Inflation Targeting (IT).
Krisis keuangan dan moneter dimulai pada tahun 1997 banyak mendorong reformasi di bidang ekonomi, termasuk reformasi dalam strategi kebijakan moneter yang diarahkan untuk pelaksanaan pencapaian target stabilitas harga. Peralihan strategi kebijakan moneter IT ini diemban menggantikan amanat-amanat lama yang kurang realistis untuk diemban oleh otoritas moneter, seperti: pencapaian target pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran, dll. Hal ini tentu sangat terkait secara teoritis bahwa dalam jangka panjang, peningkatan jumlah uang beredar hanya berpengaruh pada peningkatan harga. Sehingga ranah Inflasi inilah yang dianggap sangat relevan untuk diemban oleh BI tentu didasarkan dengan instrumen-instrumen yang dimiliki oleh BI.
Secara umum ada beberapa karakterisitik yang harus diemban bank sentral jika menerapkan kebijakan IT, antara lain :
  1. Adanya publikasi mengenai target inflasi kedepan pada publik.
  2. Adanya komitmen untuk menjaga stabilitas harga sebagai tujuan utama kebijakan moneter.
  3. Penggunaan information inclusive strategy, yang mana banyak variabel-variabel, tidak hanya variabel moneter, digunakan sebagai informasi dalam implementasi IT.
  4. Peningkatan transparansi strategi kebijakan moneter
  5. Peningkatan akuntabilitas dari bank sentral tentang pencapaian tujuan IT. (Mishkin, 2000)

Pemilihan strategi kebijakan IT tentu juga tidak terlepas dari beberapa Negara-negara maju yang lebih dulu sukses mengimplementasikan kebijakan ini. Namun tentunya tidak bisa ditelan mentah bagi Negara-negara lain yang ingin mengimplementasikan kebijakan IT, hal ini disebabkan karena ada perbedaan mendasar antara Negara maju dan berkembang. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain :
  1. Lemahnya institusi fiskal di Negara berkembang
  2. Lemahnya institusi dan sistem keuangan, termasuk regulasi dalam implementasi prinsip kehati hatian dan supervisi bank
  3. Rendahnya kredibilitas institusi moneter, dalam hal ini bank sentral
  4. Currency  substitution and liability dollarization
  5. Negara berkembang sangat rentan terhadap sudden stop khususnya dalam keluar masuk modal. (Mishkin, 2000)
Keadaan inilah yang secara umum mempertanyakan kembali apakah negara berkembang termasuk Indonesia relevan dalam mengimplementasikan strategi moneter.
Pemilihan target inflasi (IT) didasari oleh rasional bahwa inflasi yang rendah akan mendorong pencapaian stabilitas makroekonomi yang kuat. Selain itu, kebijakan IT juga sangat mudah difahami oleh masyarakat dan sangat transparan karena adanya sosialiasi rutin dari bank sentral untuk menjelaskan keadaan ekonomi dan strategi moneter kedepan.
Disisi lain, strategi kebijakan IT juga mendorong peningkatan independensi BI yang diyakini akan mengurangi kemungkinan jatuhnya bank sentral dalam keadaan ”Time inconsistency trap”. Dimana salah satu sumbernya berasal dari political pressure dari pemerintah yang menekan bank sental untuk melakukan kebijakan yang terlalu ekspansif (overly expansionary). Kebijakan ini biasanya dilakukan untuk menstimulasi perekonomian, karena kebijakan moneter ekspansif (ex: peningkatan jumlah uang beredar) dianggap dapat menurunkan suku bunga, yang pada akhirnya dapat mendongkrak investasi dan output. Meski perlu disadari juga, kebijakan ini beresiko pada terjadinya inflasi yang tinggi. Oleh karena itu mengapa optimalitas pencapaian strategi kebijakan moneter IT ini membutuhkan syarat ”Independensi” Bank Sentral yang kuat, karena memang Bank Sentral harus terlepas dari tekanan-tekanan yang dapat menggugurkan sasaran atau target BI itu sendiri.
Meskipun kebijakan IT memiliki peran dalam mendukung perekonomian, namun harus difahami bahwa kebijakan IT tidak semudah kebijakan-kebijakan moneter lain dalam pencapaiannya (seperti, target moneter ataupun target nilai tukar). Hal ini disebabkan karena begitu kompleksnya faktor-faktor yang berkontribusi terhadap naik turunnya tingkat harga atau inflasi, dan begitu sulitnya mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi Inflasi. Sebagai contoh, efek kebijakan moneter BI memiliki lag atau waktu tunda yang panjang terhadap inflasi. Hal ini berbeda sekali dengan efek intervensi BI dipasar valas untuk mencapai target nilai tukar yang mudah sekali dilihat pengaruhnya dalam jangka pendek.
Secara umum, Mishkin (2000) menginventarisir 7 poin kerugian dalam implementasi IT antara lain :
  1. IT terlalu rigid (adanya kekakuan harga. karena sifat harga yang sticky).
  2. Implementasi IT memungkinan terjadinya banyak diskresi.
  3. Implementasi IT berpotensi meningkatkan instabilitas output.
  4. Implementasi IT berpotensi mengurangi pertumbuhan ekonomi.
  5. Implementasi IT hanya akan berpotensi mengurangi akuntabilitas bank sentral karena sulitnya mengontrol inflasi dan lamanya Lag  dari instrumen kebijakan moneter dalam mempengaruhi inflasi.
  6. Implementasi IT sulit untuk menghambat dominasi fiskal.
  7. Fleksibilitas nilai tukar yang dipentingkan dalam kebijakan IT, dapat mengancam instabilitas sistem keuangan.
Bagi negara-negara berkembang, poin kelima, enam dan tujuh memliki tendensi yang dapat mengurangi keberhasilan implementasi IT di negara berkembang. Oleh karena itu keberhasilan implementasi IT sangat tergantung dari upaya Bank sentral dalam mencari solusi untuk mengantisipasi permasalahan tersebut.

3 fondasi utama
Dalam rangka mensukseskan kebijakan IT, ada 3 fondasi dasar kesuksesan untuk menjamin terlaksananya pencapaian target inflasi secara optimal. Pertama, kebijakan IT membutuhkan independensi yang kuat dari Bank Sentral. Kedua, Kebijakan IT membutuhkan posisi fiskal yang sehat. Ketiga, Kebijakan IT membutuhan sistem keuangan yang kuat.
Faktor independensi Bank Sentral memiliki alasan kuat bahwa otoritas moneter seharusnya dberi ruang gerak yang luas dan independen untuk menentukan strategi kebijakan moneter kedepan. Dalam konteks ini BI tentunya harus terbebas dari tekanan-tekanan ekonomi politis dari pemerintah, meskipun pada akhirnya sinkronisasi tujuan bersama yaitu kesejahteraan ekonomi masyarakat harus dapat diwujudkan secara bersama-sama antara pemerintah dan bank sentral.
Dalam pengimplementasian kebijakan IT, bank sentral tentu akan dihadapkan pada pilihan yang sulit yaitu pengorbanan tingkat output. Karena memang pencapaian target inflasi yang rendah berpotensi menimbulkan instabilitas output. Oleh karena itu Bank Sentral dituntut jeli untuk melihat dan menimbang pencapaian targetnya. Jangan sampai pencapaian target inflasi yang rendah harus dibayar mahal dengan pengorbanan penurunan output yang tinggi, karena penurunan output tentu juga akan berpotensi menimbulkan pengangguran dan permasalahan sosial ekonomi di masyarakat.
Faktor kedua yaitu fiskal memiliki potensi yang kuat dalam menjamin keberhasilan pencapaian target inflasi. Pelajaran penting dari  “unpleasant monetarist arithmatic” yang di diskusikan dalam Sargent and Wallace (1981) dan teori fiskal tentang tingkat harga (woodford, 1994 dan 1995) adalah bahwa kebijakan fiskal yang terlalu ekspansif akan memberi tekanan terhadap otoritas moneter untuk memonetisasi hutang yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan uang dan inflasi yang tinggi. Jika ketidakseimbangan yang terjadi sangat besar (fiscal dominance) maka kebijakan moneter untuk menjaga inflasi tetap pada kisarannya akan sulit untuk di realisasikan. Selain itu, IT akan memungkinkan partisipasi dari pemerintah yang pada akhirnya akan membatasi ekspansi fiskal yang berlebihan (kebijakan ini menyangkut koordinasi dari penyesuaian jangka panjang untuk goverment-controlled prices).
Sama halnya dengan kebijakan fiskal, disektor keuangan juga dibutuhkam kondisi yang sehat untuk menjamin implementasi IT, sebagai contoh jika sistem perbankan tidak sehat maka kebijakan moneter ”peningkatan suku bunga” untuk menurukan inflasi akan sulit dilakukan  karena suku bunga yang tinggi akan membahayakan kinerja sektor perbankan. Jika pasar menyadari bahwa telah terjadi krisis di sektor perbankan maka akan terjadi aliran modal keluar (sudden stop) yang akan menyebabkan depresiasi yang tajam terhadap nilai tukar yang pada akhirnya akan mendorong terjadinya inflasi.
Ketiga fondasi utama diatas tentu bisa dijadikan acuan pokok pelaksanaan strategi IT. Bagi Indonesia, faktor pertama yaitu tentu independensi Bank Sentral sudahlah mutlak dimiliki oleh BI. Hal ini telah diperkuat oleh regulasi dan perundang-undangan tentang independensi Bank Sentral. Namun apakah kondisi fiskal dan sistem keuangan di Indonesia telah memenuhi syarat atau paling tidak sudah mendukung pelaksanaan IT? Pertama, Jika kita lihat posisi fiskal negri ini, sudah jelas bahwa jeratan hutang (debt trap) masih mendominasi pembiayaan fiskal. Tingginya pembiayaan bunga dan modal hutang luar negri pemerintah tentu masih memberikan kontribusi yang besar terhadap implementasi IT. Kesehatan posisi fiskal secara sederhana dapat dianalisis dari besar gap penerimaan dan pengeluaran pemerintah, jika ketidakseimbangan yang terjadi nilainya negatif dan signifikan maka sangat sulit bagi bank sentral untuk mencapai srategi IT.
Kedua, jika kita lihat secara umum kondisi perbankan di tanah air memang belum banyak memberikan kejutan yang signifikan jika dilihat dari perkembangan aset, kredit dan intermediasi perbankan. Selain itu dominasi pemberian kredit di sektor konsumsi yang sangat tinggi juga berpotensi menimbulkan tekanan terhadap Inflasi. Belum lagi, semakin bermunculannya lembaga-lembaga keuangan non bank dalam pemberian kredit tentu akan menjadi ancaman tersendiri bagi pencapaian target inflasi. Hal ini disebabkan karena pemberikan kredit yang ”terlalu” mudah akan berpotensi untuk meningkatkan konsumsi masyarakat diluar batas kemampuan seharusnya. Resiko default atau resiko tidak terbayarnya pinjaman akan terjadi ketika situasi ekonomi menurun secara tiba-tiba, yang akan mengurangi pendapatan masyarakat secara umum. Sehingga kemampuan masyarakat untuk membayar pinjamannya akan berkurang yang pada akhirnya akan mempengaruhi performa institusi keuangan dan perbankan karena tingginya angka non performing loans atau kredit macet.
Penetapan Target Inflasi
Target atau sasaran inflasi merupakan tingkat inflasi yang harus dicapai oleh Bank Indonesia, berkoordinasi dengan Pemerintah. Penetapan sasaran inflasi berdasarkan UU mengenai Bank Indonesia dilakukan oleh Pemerintah. Dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah dan Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan untuk tiga tahun ke depan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Berdasarkan PMK No.66/PMK.011/2012 tentang Sasaran Inflasi tahun 2013, 2014, dan 2015 tanggal 30 April 2012  sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk periode 2013 – 2015, masing-masing sebesar 4,5%, 4,5%, dan 4% masing-masing dengan deviasi ±1%.
Sasaran inflasi tersebut diharapkan dapat menjadi acuan bagi pelaku usaha dan masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonominya ke depan sehingga tingkat inflasi dapat diturunkan pada tingkat yang rendah dan stabil. Pemerintah dan Bank Indonesia akan senantiasa berkomitmen untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan tersebut melalui koordinasi kebijakan yang konsisten dengan sasaran inflasi tersebut. Salah satu upaya pengendalian inflasi menuju inflasi yang rendah dan stabil adalah dengan membentuk dan mengarahkan ekspektasi inflasi masyarakat agar mengacu (anchor) pada sasaran inflasi yang telah ditetapkan (Lihat Peraturan Menteri Keuangan tentang sasaran inflasi 2013, 2014, dan 2015)
Angka target atau sasaran inflasi dapat dilihat pada web site Bank Indonesia atau web site instansi Pemerintah lainnya seperti Departemen Keuangan, Kantor Menko Perekonomian, atau Bappenas. Sebelum UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan oleh Bank Indonesia. Sementara setelah UU tersebut, dalam rangka meningkatkan kredibilitas Bank Indonesia maka sasaran inflasi ditetapkan oleh Pemerintah.
Tabel perbandingan Target Inflasi dan Aktual Inflasi
Tahun
Target Inflasi
Inflasi Aktual
(%, yoy)
2001
4% - 6%
12,55
2002
9% - 10%
10,03
2003
9 +1%
5,06
2004
5,5 +1%
6,40
2005
6 +1%
17,11
2006
8 +1%
6,60
2007
6 +1%
6,59
2008
5 +1%
11,06
2009
4,5 +1%
2,78
2010
5+1%
6,96
2011
5+1%
3,79
2012
4.5+1%
4,30
2013*
4.5+1%
-
2014*
4.5+1%
-
2015*
4+1%
-

*) berdasarkan PMK No.66/PMK.011/2012 tanggal 30 April 2012.
Jangka Waktu
Design jangka waktu nya adalah pengumuman target tahunan dan medium term 5 tahun. Sejak tahun 2006, target tahunan dirubah jangka waktunya menjadi 2 tahun sesuai dengan lag kebijakan moneter untuk dapat mempengaruhi inflasi. Pertimbangan pemilihan jangka waktu tersebut mengacu pada jangka waktu target yang ideal yakni sesuai dengan lag kebijakan moneter mempengaruhi inflasi s.d. 8 triwulan. Namun demikian, untuk acuan bagi pelaku pasar, maka diperlukan pula target atau path tahunan. Jangka waktu target ini berpengaruh pada respon kebijakan moneter yaitu cenderung reaktif untuk target yang berjangka waktu pendek dan respon yang lebih smooth apabila jangka waktunya lebih panjang.
Target yang panjang akan memberikan ruang bagi BI untuk mengembalikan inflasi ke dalam targetnya dan semakin besar kesempatan bagi stabilitas output. Namun apabila target yang ditetapkan terlalu panjang (lebih dari 2 tahun), maka hal ini akan mengurangi kepercayaan akan komitmen BI untuk mengembalikan inflasi ke dalam targetnya. Sebaliknya, jangka waktu yang terlalu pendek dengan range yang sempit dapat mengakibatkan masalah kontrolabilitas inflasi, ketidakstabilan instrument yang digunakan BI, dan fluktuasi output yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, untuk menghindari masalah kontrolabilitas, instabilitas instrument dan fluktuasi output terdapat 2 jalan keluar yang dapat ditempuh yaitu dengan escape clause dan melebarkan deviasi target.

BI Rate sebagai sinyal dari respon kebijakan moneter
Respon kebijakan moneter ditetapkan untuk menjamin agar pergerakan inflasi dan ekonomi kedepan tetap berada pada jalur pencapaian sasaran inflasi yang telah ditetapkan. Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam kenaikan, penurunan, atau tidak berubahnya BI Rate. Perubahan BI Rate dilakukan secara konsisten dan bertahap. Perubahan BI Rate dilakukan sebesar 25 basis point (bps). Dalam kondisi untuk menunjukkan intense Bank Indonesia yang lebih besar terhadap pencapaian sasaran inflasi, maka perubahan BI Rate dapat dilakukan lebih dari 25 bps dalam kelipatan 25 bps.
BI Rate adalah suku bunga instrumen sinyaling Bank Indonesia yang ditetapkan pada RDG triwulan untuk berlaku selama triwulan berjalan, kecuali ditetapkan berbeda oleh RDG bulanan dalam triwulan yang sama. BI Rate diumumkan ke publik setelah ditetapkan dalam RDG sebagai sinyal dari respon kebijakan moneter dalam merespon prospek pencapaian sasaran inflasi ke depan. BI Rate digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan operasi pengendalian moneter untuk mengarahkan agar rata-rata tertimbang suku bunga SBI 1 bulan hasil lelang operasi pasar terbuka (OPT) berada di sekitar BI Rate.
BI Rate merupakan respon bank sentral terhadap tekanan inflasi ke depan agar tetap berada pada sasaran yang telah ditetapkan. BI Rate ditetapkan oleh Dewan Gubernur secara diskresi dengan mempertimbangkan dua hal. Pertama adalah rekomendasi BI Rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi kebijakan dalam model ekonomi untuk pencapaian sasaran inflasi. Perimbangan kedua didasarkan pada berbagai informasi lainnya seperti leading indicators, survey, pendapat para ahli ekonomi, asesmen faktor resiko dan ketidakpastian serta hasil-hasil riset ekonomi dan kebijakan moneter.
Perubahan BI Rate dilakukan terutama jika deviasi proyeksi inflasi terhadap targetnya (inflation gap) dipandang telah bersifat permanen dan konsisten dengan informasi dan indikator lainnya.

 Kesimpulan
Implementasi kebijakan IT membutuhkan suatu strategi yang integral menyangkut kekuatan institusi BI yang terefleksi dari kekuatan independensi dan kredibilitas dalam penyelenggaraan tugas pengelolaan moneter. Dalam konteks ini BI membutuhkan partisipasi berbagai pihak termasuk pemerintah khususnya dalam mengembangkan koordinasi dan pencapaian sinkronisasi kebijakan makro-moneter dalam rangka pencapaian target inflasi yang diharapkan. Disisi lain, BI juga diharapkan dapat berperan aktif dalam fungsi komunikasi dengan masyarakat. Hal ini dilakukan sebagai upaya membekali pengetahuan masyarakat atas objectives dan framework kebijakan moneter BI dalam pencapaian target inflasi, disisi lain komunikasi dibutuhkan untuk memberikan pengaruh yang positif terhadap pembentukkan ekspektasi masyarakat. Sehingga pada akhirnya upaya tersebut dapat berkontribusi pada upaya pencapaian stabilitas makroekonomi dan pencapaian target inflasi yang diharapkan.


0 comments: