Oleh. Zulfikri Armada.
Semua sepakat bahwa tahun 2014 ini akan menjadi tahun
yang penuh dengan dinamika, energi serta “kejutan”. Kenapa penulis katakan
demikian, karena selain pada tahun ini akan digelar even Piala Dunia 2014 di
Brazil, dalam lingkup domestik, akan dihelat pertandingan akbar yang bakal
menentukan masa depan bangsa. Bukan pertandingan bola tentu saja, melainkan
pertandingan untuk merebut suara rakyat (Baca: Pemilu) yang akan digelar pada
bulan April nanti.
Meskipun
genderang pertarungan (izinkan penulis mengatakannya demikian) belum
ditabuhkan. Akan tetapi perlahan namun pasti, kita mulai terbawa dalam
semaraknya kumparan pertarungan perebutan kursi para wakil rakyat ini. Para
calon legislatif yang memperebutkan kursi yang ada di Senayan (DPD-DPR) mapun
kursi-kursi legislator tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, mulai menebarkan
pesonanya, dengan semangat para calon legislator mulai memaku gambar wajah
senyum sumringah beserta nama dan nomor urutnya di pohon-pohon atau dimanapun
mereka bisa pasang. Masa bodoh dengan program yang akan diperjuangkan, yang penting
masyarakat bisa memandang wajah tampan mereka disepanjang jalan.
Pemilu,
sebagai buah dari demokrasi sebagaimana yang lazimnya kita fahami merujuk pada
argumen dari Linclon (1963) prinsipnya seharusnya “by the people, rule the
people and for the people”. Akan tetapi, kecenderungan yang terjadi pada saat
ini, kita hanya baru menikmati demokrasi seremonial, dan kehilangan substansi
dari demokrasi itu sendiri, sehingga rakyat hanya dijadikan subjek demokrasi
saja, perantara meraih kekuasaan saja.
Kenapa
penulis katakan demikian, hingga saat ini Partai Politik baru memandang Pemilu
sebagai sarana untuk meraih “orgasme kekuasaan”. Sebagai contoh, coba sebutkan
satu saja Parpol yang hingga kini memiliki: kejelasan ideologi dan prinsip yang
ditawarkan; melakukan pembinaan politik yang baik pada basis konstituennya;
serta bekerjanya mesin kaderisasi kaum intelektual pada internal partainya
dengan baik?. Pembaca pasti kesulitan memutuskan jawaban dari pertanyaan
sederhana tersebut.
Prihatin sebenaranya, tetapi memang hingga
saat ini masih belum ada parpol yang serius benar melakukan apa yang seharusnya
mereka lakukan. Bahkan beberapa hari ini penulis dibuat terperangah dengan
manuver Partai yang dulu cukup penulis kagumi, namun kini demi mendulang suara,
tega tebarkan wacana untuk mencalonkan “Raja Dangdut” untuk menduduki tampuk
pimpinan RI-1 (bukan main). Selain itu banyak pula Parpol yang pasang
artis-artis yang masih “hijau” tentang politik dan pemerintahan di nomor urut 1
pada daftar Caleg-nya pada April 2014 mendatang. Maaf, bukan penulis meragukan
kapabilitas mereka, tapi tak elok rasanya jadikan perhelatan akbar (Pemilu) ini
menjadi semacam dagelan, kasihan nanti rakyat kita yang jadi korban.
Ternyata
Pemilu kita selain tidak efektif dan efisien mekanisme pelaksanaanya (baca
catatan: "Penyederhanaan Mekanisme Pemilu dan Pemilukada") ternyata dalam aspek budaya politik, kita juga
masih terbelakang. Lantas siapa yang salah? Mari berbesar hati mengakui bahwa kita
semualah yang salah. Parpol harus insyaf
dengan mulai merobah sifat pragmatisnya dan kembali kejalur yang benar. Kemudian, kita sebagai masyarakat juga harus
mengambil peran aktif dalam menyukseskan Pemilu 2014 mendatang. Besar ataupun kecil
tak masalah, yang penting sama-sama kita kawal pelaksanaannya, karena ini
adalah Pesta kita, perhelatan kita, kitalah tuan rumahnya!.
Oleh
karena itu, mulai dari sekarang kenali calonnya, pelajari programnya, dan ketika
nanti mereka terpilih, jangan lupa kawal kinerjanya, tuntut janjinya, kritisi
kesahalahannya. Karena memang sudah sepatutnyalah kita mulai mencoba untuk menikmati
substansi dari demokrasi, agar perhelatan akbar 2014 nanti tak hanya jadi
sekedar dagelan.
0 comments: