PENYEDERHANAAN MEKANISME PELAKSANAAN PEMILU DAN PEMILUKADA DI INDONESIA

PENYEDERHANAAN MEKANISME PELAKSANAAN
 PEMILU DAN PEMILUKADA DI INDONESIA

Oleh: Zulfikri Armada, Laode Syarif Indrawan, Nurul Millah
(Institut Pemerintahan Dalam Negeri)



Salah satu wujud pelibatan masyarakat dalam proses politik adalah terselenggaranya  pemilihan umum di suatu negara. Pemilu merupakan media bagi rakyat untuk dapat menyalurkan aspirasinya dalam menentukan figur dan arah kepemimpinan negara atau kepemimpinan daerah dalam satu periode tertentu. Di era globalisasi saat ini, demokratisasi merupakan salah satu agenda Dunia untuk mewujudkan pemerintahan yang representatif, efektif dan pro rakyat.

Demokrasi sebagaimana yang lazimnya kita fahami merujuk pada argumen dari Linclon (1963) by the people, rule the people and for the people[1]. Di dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khas yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian diharapakan akan memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga negara[2].

Implementasi nyata dalam pelaksanaan pemilu dapat kita temukan kepada pelaksanan Pemilihan Umum, Pemilihan Umum merupakan suatu sistem yang memberikan rakyat hak yang kuat dalam menentukan wakil-wakilnya baik di parlemen maupun di eksekutif sebagai kepala pemerintahan (pejabat politik).

Demokrasi di Indonesaia mengalami keterpasungan selaman puluhan tahun kurun era orde lama dan orde baru, dan antiklimaksnya pada tahun 1998 munculah geraka reformasi yang dimotori oleh para mahasiswa, reformasi timbul karena semangat untuk menciptakan pembaharuan di Indonesia. Ada 6 tuntutan utama masyarakat pada saat itu, yaitu Amandemen UUD1945; Pengahapusan doktrin Dwi Fungsi ABRI; Penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan KKN, Otonomi Daerah; Kebebasan Pers; dan Mewujudkan Kehidupan Demokrasi.

Salah satu substansi penting pada Amandemen UUD 1945 adalah diberlakukannya sistem pemilhan Presiden secara langsung[3] melalui mekanisme pengajuan calon melalui partai politik atau gabunga partai politik peserta pemilu[4], yang kemudian secara lebih lanjut diatur dalam UU No.42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum.

Pada UU No.42 Tahun 2008 Proses pemilihan presiden di Indonesia dilaksanakan setelah pemilu legislatif digelar, dan dalam hal pengajuan pasangan Presiden dan Wakil Presiden oleh Parpol atau gabungan parpol, diberlakukannya syarat kepeilikan jumlah kursi di parlemen sebesar 20% atau memperoleh 25% dari suara sah nasional pemilu anggota DPR sebelum pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Mekanisme dan persyaratan pengajuan pasangan calon Presiden dan wakil Presiden ini tidak sejalan denga prisip sistem pemerintahan Presidensil yang dianut oleh Indonesia, sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Montesque bahwa pemisahan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam artian seharusnya pemilahan presiden tidak memerlukan prasyarat ketercapaian kuota kursi di parlemen.

Praktik yang lazim di negara-negara penganut sistem presidensial adalah pemberlakuan ambang batas minimum bagi keterpilihan presiden. Dengan kata lain, konteks pemberlakuan presidential threshold bukanlah untuk membatasi pencalonan presiden, melainkan dalam rangka menentukan persentase suara minimum untuk keterpilihan seorang presiden. Dalam konteks Indonesia, prasyarat presidential threshold sudah sangat jelas dalam konstitusi. Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden”.

Pola pemilu Presiden dan Wakil Presiden saat ini selain tidak konsisten dengan sistem Presidensil, sangat boros biaya, juga mengakibatkan instabilitas pemerintahan, karena pemilu legilatif dan eksekutif dilaksanakan secara parsial, sehingga mematikan kecerdasan berpolitik masyarakat. Seandainya pemilu legislatif dan eksekutif dilaksanakan serentak maka masyarakat dapat memilih presiden serta mendukung partai pengusung Capres/Cawapres yang ia dukung, sehingga stabilitas pemerintahan lebih tercapai.

Dalam tuntutan pelaksanaan otonomi daerah dan mewujudkan kehidupan yang demokratis, maka lahir lah UU No.22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, yang didalamnya diatur mengenai sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung baik pada tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota[5].

Secara teoritis Pelaksanaan pilkada secara langsung dan pemilihan anggota DPRD merupakan salah satu syarat utama terwujudnya pemerintahan daerah yang akuntabel, akomodatif dan responsif (Smith, 1985; Arghiros, 2001). Pemilihan secara langsung ini memberikan kedudukan politis yang kuat bagi kepala daerah terhadap DPRD, seperti pola ”strong mayor” di Amerika Serikat (USA) dan ”Oberbuergermeister” di Jerman.  Hal ini juga sejalan dengan amanat konstitusi Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan soal penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Asas langsung dimaknai publik secara langsung memberikan suaranya menurut hati nuraninya tanpa perantara dan tanpa tingkatan.

Konsekuensi dari rumusan ayat tersebut dengan keadan Indonesia sekarang yang memiliki 34 Provinsi, 417 Kabupaten dan 94 Kota[6] timbulnya beberapa permasalahan serius, yaitu, pertama, tingginya ongkos demokrasi. Berdasarkan catatan Fatah (2008)[7], pemilukada dilaksanakan rata-rata setahun kurang lebih 103 kali[8]. Dari sisi ongkos pemilukada, menurut Jusuf Kalla (2008), setiap tahun negara menganggarkan biaya kurang lebih 200 triliun[9].

Imbas lain dari kesalahan sistem pilkada adalah terciptanya oligarki kekuasaan di daerah, dan munculnya politisi “haji mumpung”, Keluarga Ratu Atut di Prov.Banten dan Keluarga Syahrul Yasin Limpo di Sulawesi Selatan merupakan bentuk nyata dari oligarki kekuasaan elit di daerah. Hal ini terjadi karena jadwal Pilkada yang tidak serentak, sehingga memberikan kesempatan yang luas kepada seseorang yang terlebih dahulu terpilih menjadi kepala daerah untuk mendorong keluarganya maju pada pemilihan kepala daerah di daerah lain. Muncul juga calon yang setelah gagal pada Pilkada disatu daerah mencoba lagi peruntungannya di daerah lain.

Anomali antara teori dan praktik penyelenggaran dalam konteks pemilukada terjadi karena kesalahan konsep Pemilu kita yang memiliki banyak sekali celah dan kekurangan. Kita sepakat bahwa membangun demokrasi adalah suatu keharusan, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah membangun bangsa (nation building), agar Indonesia mampu menjadi Negara yang maju, cerdas, sejahtera, aman, dan terhindar dari berbagai konflik. Penataan ulang kembali pelaksaan Pemilu merupakan suatu kebutuhan bagi Indonesia, agar energi bangsa tidak terkuras setiap hari hanya untuk mengurusi persoalan pemilu.


Pilkada dan Disharmonisasi Perencanaan Pembangunan Nasional-Daerah

Pemilu di Indonesia yang dilaksanakan terpisah-pisah dan tidak terjadwal dengan baik menciptakan problema serius pada tingkat lokal maupun nasional, salah satunnya yaitu tidak berkesinambungannya perencanaan pembangunan pada tingkat nasional dan daerah.

Menurut Conyers & Hills (1994), perencananaan didefinisikan sebagai suatu proses yang berkesinambungan yang mencakup keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan berbagai alternatif penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pada masa yang akan datang. dari definisi Conyer & Hills tersbut jelas bahwa dalam proses perencanaan diperlukan kesinambungan dalam pengambilan kebijakan guna peroleh hasil yang maksimal. Dalam konteks perencanaan pembangunan di Indonesia maka dengan sistem desentralisasi saat ini maka Pemda diberikan kewenangan untuk merekonseptualisasikan model perencanaan pembanganunan sesuai dengan kondisi yang ada di tiap-tiap daerah otonom. Akan tetapi proses perencaan tersebut tetap saja harus mendukung dan berkesinambungan dengan perencanaan pembangunan Nasional.

Berdasarkan konsep pembangunan nasional, perencanaan daerah dan penganggaran daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari (proses) manajemen strategis, dimana dalam proses formalnya diawali oleh penyusunan rencana strategis (renstra).  Dengan demikian, dalam aplikasinya di sektor publik, penganggaran daerah (juga) dikaitkan dengan renstra daerah. Dalam khazanah tata urutan konstitusi, “renstra daerah”, merupakan bagian dari “renstra nasional” untuk memenuhi tujuan-tujuan strategis dan tujuan nasional/negara sebagaimana tertuang dalam UUD 1945[10].

Secara sederahana alur perencanaan pembangunan kami sajikan dalam bagan alur 1 berikut ini (berdasarkan UU No.25/2004):








Dari bagan alur mekanisme perencanaan pembangunan tersebut jelas bahwa sistem perencanaan pembangunan nasional merupakan satu kesatuan tata cara perencanaa pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan dipusat dan daerah dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Dengan kata lain, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, perencanaan pembangunan daerah merupakan subsistem dari pernecanaa pembangunan nasional sehingga disusunlah pernecanaan pembangunan daerah tersebut sebagai satu kesatuan dalam sistem pernecanaan pembangunan nasional.
Permalasalahan yang terjadi adalah realitas dilapangan berkata sebaliknya. Akibat sistem pemilu kita yang tidak terjadwal dengan baik, terjadi disharmonisasi perencanaan pembangunan tingkat pusat-daerah. Hal ini terjadi akibat perbedaan periodesasi masa jabatan kepemimpinan politik anatara pimpinan eksekutif di pusat dan didaerah yang berbeda-beda. Semisal Presiden yang terpilh pada tahun 2005 telah menetapkan RPJM Nasional tahun 2005-2010, sedangkan satu daerah yang baru selesai melaksanakan Pilkada tahun 2008 akan menyusun RPJM 2008-2013, yang berbeda pula dan tidak mengakomodir keberlanjutan perncanaan pembangunan yang telah ditetapkan oleh kepala daerah periode sebelumnya, hal ini menciptakan missing link antara perencanaan pembangunan nasional dan daerah.
Salah satu indikasi adanya ketidaksingkronan perencanaan pembangunan Pemerintah  dan Pemerintah Daerah adalah, diluncurkannya program Master Plan Perencanaan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) oleh Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian.
Sebagai dokumen kerja, MP3EI berisikan arahan pengembangan kegiatan ekonomi utama yang sudah lebih spesifik, lengkap dengan kebutuhan infrastruktur dan rekomendasi perubahan/revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang perlu dilakukan maupun pemberlakuan peraturan-perundangan baru yang diperlukan untuk mendorong percepatan dan perluasan investasi[11]

MP3EI sebenarnya tidak perlu dilakukan jika saja perencanaan pembangunan nasional dan daerah dapat bersinergi dan berjalan dengan baik, selain itu MP3EI tidak konsisten dengan semangat otonomi daerah yang terkandung dalam UU No.32/2004.

SOLUSI

Dari pemaparan diatas ada beberapa permaslahan pokok yang terjadi akibat mekanisme Pemilu yang kita gunakan saat ini, antara lain:
1.      Inkonsistensi sistem presidensil, dan instabilats pemerintahan. Karena pengajuan Capres/Cawapres bergantung kepada hasil perolehan kursi legislatif yang telah dilaksanakan terlebih dahulu.
2.      Pemilukada Provinsi dan Kabupaten/Kota yang waktu pelaksanaannya tidak serentak,  menggerogoti Keuangan Negara dan menganggu porsi belanja publik di daerah.
3.      Munculnya tren politik dinasti atau oligarki kekuasaan pada tingkat pusat dan daerah.
4.      Disharmonisasi perencanaan pembangunan nasional dan daerah.

Salah satu solusi logis untuk menjawab permasalahan diatas adalah melalui upaya penataan ulang pelaksanaan Pemilu di Indonesia. Pentaan ulang yang kami maksudkan adalah penyederhanaan pelaksanaan Pemilu yang lebih efektif, efisien, serta mampu menghadirkan output pemerintahan yang baik dan handal.

Pada saat ini kita mengenal denga tiga kali penyelenggaraan pemilu, yaitu pemilihan legislatif, presiden, dan kepala daerah, akan tetapi jika kita bedah lebih dalam lagi kemungkinan penyelenggaran pemilu  saat ini bisa sampai 7 (tujuh) kali dalam 5 tahun[12], yang secara psikologis dapat menciptakan kebosanan masyarkat hingga angka partisipasi Pemilu menjadi rendah. Selain itu pola seperti ini sangat boros anggaran.

Oleh karena itu kia dapat menyederhanakan penyelenggaran pemilu menjadi dua momentum saja, yang pertama Pemilu Presiden dan Pemilu legislatif yang dislenggaran serentak dalam satu hari-H, kemudia Pemilu Kepala Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota serentak se-Indonesia.

Selain penghemantan anggaran hal penting lainnya adalah tersiptanya Stabilitas dan efektivitas pemerintahan pascapemilu inilah yang menjadi dasar pelaksanaan pemilu serentak (Mark Pyane dkk, 2002). Konsep dan desain ini lahir berdasarkan pengalaman negara-negara Amerika Latin yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial, tetapi justru jalannya pemertihanan menjadi tidak stabil akibat pertikaian antara presiden terpilih dengan parlemen yang mayoritas anggotanya tidak berasal dari partai presiden atau partai koalisi pendukung presiden.
Pemilu serentak mulai diterapkan di Brazil sejak awal 1994 dan berhasil menstabilkan dan mengefektifkan pemerintahan, sehingga dalam kurun 15 tahun kemudian, Brasil menjadi kekuatan ekonomi dunia. Sukses Brasil kemudian diiukuti oleh negara-negara lain di kawasan tersebut.
Mengapa pemilu serentak yang menggabungkan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif dapat menciptakan kekuatan legislatif dan eksekutif yang kongruen? Shugart (1996) bilang, pemilu serentak menimbulkan coattail effect, di mana keterpilihan calon presiden akan mempengaruhi keterpilihan calon anggota legislatif. Maksudnya, setelah memilih calon presiden, maka pemilih secara cerdas akan cenderung memilih partai politik atau koalisi partai politik yang mencalonkan presiden yang dipilihnya.

Dalam hal Oligarki kekuasaan didaerah, dengan melaksanakan pemilu secara serentak. Merupakan solusi yang aplikatif dapat mencegah terjadi politik dinasti. Apalagi memang dalam sistem pemerintahan presidensil dapat diaplikasikan pemilu serentak. Yang mana eksekutif dan legislatif dipilih  secara langsung oleh rakyat. Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer, pilihan eksekutif ditentukan oleh pilihan legislatif yang menjadi pemenang  pemilu dan menguasai mayoritas kursi parlemen. Dengan melakukan desain ulang terhadap waktu penyelenggaraan pemilu dapat dipetik beberapa keuntungan.

Pertama, desain pemilu secara serentak. Dengan pemilu yang bersamaaan antara pemilu legisltif dan eksekutif. Dapat mempertegas sistem presidensil yang kita anut, secara dapat mereduksi praktek politik transaksional, dan pragmatis antara eksekutif dan legislatif. Karena sedari awal partai politik sudah menguatkan barisan koalisinya, agar terpilih Capres yang diusungnya. Pada saat yang  sama Presiden juga tidak akan “menguras tenaga” membangun koalisi jika terpilih. Bangunan koalisi yang ideal yang dapat mengatrol dan mendukung kebijakan eksekutifpun pada titik ini. Terbangun dalam format koalisi yang proporsional. Bukan lagi format koalisi yang rapuh atau format koalisi obesitas, yang pada akhirnya tidak efekif dan kabinetpun disesaki oleh menteri-menteri yang ditempatkan karena politik transaksional dan pragmatis, sehinnga dapat menghambat efektifitas penyelenggaran pemerintahan.

Kedua, penyelenggaraan pemilu serentak pemilu legislatif dan pemilu eksekutif bisa dikongkritkan dan akan menghemat uang negara yang tidak sedikit. Karena selama ini pos terbesar dalam pengeluaran dana biaya pemilu adalah pada honorarium petugas pemilu, yaitu sebanyak 65 persen biaya pemilu, yang harus dibayarkan setiap kegiatan pemilu. Kalau dalam kurun lima tahun hanya terjadi dua kali kegiatan pemilu, yakni pemilu legislatif dan pemilu eksekutif serta pemilu kepala daerah, dana negara yang digunakan untuk membiayai pemilu bisa ditekan sampai tiga atau empat kali lipat.

ketiga, karena pemilu yang dilaksanakan hanya satu kali dalam satu periode (lima tahun). Maka secara otomatis akan menghalangi niat dan politik para kerabat, untuk melanggengkan anggota keluarganya, mengganti kedudukannya yang dijabati saat itu. Logikanya bagaimana mungkin menggiring angota keluarganya kedalam lingkatan kekuasaan dengan posisi yang ia miliki. Kalau pada waktu mencalonkan dirinya sebagai pejabat eksekutif terkendala dengan batasan waktu. Kondisi ini juga sejatinya akan memaksimalkan kinerja anggota legislatif. Agar tidak mencalonkan lagi sebagai kepala daerah di provinsi, kabupaten  atau kota. Kita bisa membandingkan kondisi yang terjadi sekarang, setiap orang pada memburu kursi DPR, DPD, dan DPRD. Mereka yang sudah merebut kursi diparlemen maupun yang gagal, bergerak ke bawah berebut jatah kursi kepala daerah. Bagi pemilik kursi yang telah merasakan kursi empuk senayan, jika berhasil menjadi kepala daerah, akan meninggalkan kursinya untuk orang lain, yang boleh jadi adalah  kerabatnya sendiri. Sementara yang kalah pada pemilu legislatif memiliki tempo/jeda untuk kembali meraih kursi jabatan eksekutif sebagai kepala daerah. Sehingga praktek “Haji mumpung” dapat kita hapuskan dan mati dengan sendirinya jika pola Pemliu serentak ini kita terapkan

Mengenai penjadwalan ulang adalah bagaimana menata ulang jadwal pilkada yang berserakan agar kekosongan masa jabatan kepala daerah tidak menimbulkan instabilitas politik lokal. Sesungguhnya, instabilitas politik lokal bisa terjadi apabila kekosongan masa jabatan kepala daerah itu tidak didesain sebelumnya. Namun jika sedari awal sudah direncanakan dan diumumkan, maka kekosongan masa jabatan kepala daerah akibat penataan jadwal pilkada tidak perlu dikhawatirkan. Pemerintah dalam hal ini Kementrian Dalam Negri dapat mendisain payung hukum yang mengatur masalah penunjukan Pejabat pengisi kekosongan jabatan kepala daerah akibat dari penjadwalan ulang pelaksanaan Pilkada serentak ini.
Keempat, Dengan penataan ulang jadwal Pilkada maka harmonisasi perencanaan jangka panjang, menengah dan tahunan antara pemerintah dan pemerintah daerah dapat dioptimalkan, sehingga tidak perlu lagi pemerintah membuat program MP3EI untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di Indonesia, karena semuanya sudah tertuang didalam RPJP nasional. Meskipun kementrian koordinator bidang eknomi mengatakan bahwa MP3EI bukan dimaksudkan untuk mengganti dokumen perencanaan pembangunan yang telah ada seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025 (UU No. 17 Tahun 2007) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, akan tetapi pada tahap pelaksanaannya akan bertentangan dengan semangat otonomi daerah karena MP3EI sendiri merupakan wujud dari ketidakpercayaan pemerintah kepada pemerintah daerah untuk mampu mengakselerasi pembangunan infrastruktur dan ekonomi di daerahnya, sehingga akan muncul tarik-ulur asas-asas otonomi daerah yang seharusnya dijalankan sebagai konsensus yang telah kita putuskan bersama.

2019
2020
2024
Pemilu Presiden dan
Pemilu Legislatif
Pemilihan Kepala Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota Serentak se Indonesia

Eksekutif dan Leegislatif Nasional menyusun RPJM Nasional, berisi kangkah strategis percepatan pembangunan di Indonesia, baik aspek pembanungan fisik (ifrastruktur) mapun non fisik (regulasi, SDM, dsb)
Harmonisasi dan sinkronisasi pelaksanaan dokumen RPJM Nasional-Daerah


Untuk proyek-proyek infrastruktur strategis dapat dilempahkan kepada daerah melalui intensifikasi dan transfer apakah itu DAU ataupun DAK, sehingga pemerintah daerah apat terlibat aktif dalam perencanaan pembangunan strategis nasional mapun daerah, dan hal ini hanya akan mungkin terlaksana apabila periodisasi kepemimpinan nasional dan daerah seragam, sehingga tidak akan muncul dokumen perencanaan pembangunan baru ditengah pelaksanaan perencanaan pembangunan nasional yang telah ada.

Pada akhirnya keseriusan dan ketegasan pemrintah kita nantikan dalam menyikapi kesemerawutan pelaksanaan Pemilu di Indonesia. Penyederhanaan dan penataan waktu pelaksaan merupakan opsi logis yang segera harus diambil, agar permasalahan-permasalahan yang muncul akibat dari ketidakberesan sistem pemilu kita tidak terus-menerus terjadi, yang dalam waktu lama akan menjadi bom waktu bagi keberlangsungan bangsa dan negara ini.




[1] Dielaborasi kembali oleh Ryaas Rasyid dalam Makna Pemerintahan, Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan, Yarsif Watampone, 2002, hal.39
[2] Drs. Astim Riyanto, SH., MS. (2000). Teori Konstitusi. Bandung: Penerbit YAPEMDO. Hal 336
[3] Pasal 6A ayat (1) UUD 1945
[4] Pasal 6A ayat (2) UUD 1945
[5] Pada uu 32 tahun 2004 pasal 56 ayat (1) disebutkan bahwa Kepala daerah dan Wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
[6] Data sampai diundangkannya UU No.16 Tahun 2013 tentang Pembentukan Kabupaten Musi Rawas Utara di   Provinsi Sumatera Selatan
[7] Eep Saeful Fatah, bahan ceramah dalam seminar Konsolidasi Demokrasi oleh MIPI
[8] Artinya, dengan logika sederahana, setiap satu bulan ada kurang lebih 8 pemilukada, dalam seminggu ada 2 kali pemilukada, atau setiap 3 hari rata-rata di Indonesia terdapat satu kali pemilukada
[9] Jusuf Kalla, Republika, 2008
[10] Dijelaskan oleh Sony Yuwono dkk, dalam buku memahami APBD dan Permasalahannya (Panduan Pengelolaan Keuangan Daerah)
[11] Dikutip dalam buku Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, diterbitkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
[12] Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden putaran I, Pemilu Presiden Putaran II, Pilkada Provinsi putran I, Pilkada Provinsi putaran II, Pilkada Kabupaten putran I, Pilkada Kabupaten Putaran II

0 comments: