PENYEDERHANAAN
MEKANISME PELAKSANAAN
PEMILU DAN PEMILUKADA DI INDONESIA
Oleh: Zulfikri Armada, Laode Syarif
Indrawan, Nurul Millah
(Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
Salah satu wujud pelibatan masyarakat dalam proses politik adalah terselenggaranya pemilihan umum di suatu negara. Pemilu merupakan media bagi rakyat untuk dapat menyalurkan aspirasinya dalam menentukan figur dan arah kepemimpinan negara atau kepemimpinan daerah dalam satu periode tertentu. Di era globalisasi saat ini, demokratisasi merupakan salah satu agenda Dunia untuk mewujudkan pemerintahan yang representatif, efektif dan pro rakyat.
Demokrasi
sebagaimana yang lazimnya kita fahami merujuk pada argumen dari Linclon (1963) by the people, rule the people and for the
people[1].
Di dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional,
undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khas yaitu membatasi kekuasaan
pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat
sewenang-wenang. Dengan demikian diharapakan akan memberikan perlindungan
terhadap hak-hak warga negara[2].
Implementasi
nyata dalam pelaksanaan pemilu dapat kita temukan kepada pelaksanan Pemilihan
Umum, Pemilihan Umum merupakan suatu sistem yang memberikan rakyat hak yang
kuat dalam menentukan wakil-wakilnya baik di parlemen maupun di eksekutif sebagai
kepala pemerintahan (pejabat politik).
Demokrasi
di Indonesaia mengalami keterpasungan selaman puluhan tahun kurun era orde lama
dan orde baru, dan antiklimaksnya pada tahun 1998 munculah geraka reformasi
yang dimotori oleh para mahasiswa, reformasi timbul karena semangat untuk
menciptakan pembaharuan di Indonesia. Ada 6 tuntutan utama masyarakat pada saat
itu, yaitu Amandemen UUD1945; Pengahapusan doktrin Dwi Fungsi ABRI; Penegakan hukum,
HAM, dan pemberantasan KKN, Otonomi Daerah; Kebebasan Pers; dan Mewujudkan
Kehidupan Demokrasi.
Salah
satu substansi penting pada Amandemen UUD 1945 adalah diberlakukannya sistem
pemilhan Presiden secara langsung[3]
melalui mekanisme pengajuan calon melalui partai politik atau gabunga partai
politik peserta pemilu[4],
yang kemudian secara lebih lanjut diatur dalam UU No.42 Tahun 2008 Tentang
Pemilihan Umum.
Pada
UU No.42 Tahun 2008 Proses pemilihan presiden di Indonesia dilaksanakan setelah
pemilu legislatif digelar, dan dalam hal pengajuan pasangan Presiden dan Wakil
Presiden oleh Parpol atau gabungan parpol, diberlakukannya syarat kepeilikan
jumlah kursi di parlemen sebesar 20% atau memperoleh 25% dari suara sah nasional
pemilu anggota DPR sebelum pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Mekanisme dan
persyaratan pengajuan pasangan calon Presiden dan wakil Presiden ini tidak
sejalan denga prisip sistem pemerintahan Presidensil yang dianut oleh
Indonesia, sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Montesque bahwa pemisahan
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam artian seharusnya pemilahan presiden
tidak memerlukan prasyarat ketercapaian kuota kursi di parlemen.
Praktik
yang lazim di negara-negara penganut sistem presidensial adalah pemberlakuan
ambang batas minimum bagi keterpilihan presiden. Dengan kata lain, konteks
pemberlakuan presidential threshold
bukanlah untuk membatasi pencalonan presiden, melainkan dalam rangka menentukan
persentase suara minimum untuk keterpilihan seorang presiden. Dalam konteks
Indonesia, prasyarat presidential
threshold sudah sangat jelas dalam konstitusi. Pasal 6A ayat (3) UUD 1945
menegaskan bahwa, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan
suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum
dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di
lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan
Wakil Presiden”.
Pola
pemilu Presiden dan Wakil Presiden saat ini selain tidak konsisten dengan
sistem Presidensil, sangat boros biaya, juga mengakibatkan instabilitas
pemerintahan, karena pemilu legilatif dan eksekutif dilaksanakan secara
parsial, sehingga mematikan kecerdasan berpolitik masyarakat. Seandainya pemilu
legislatif dan eksekutif dilaksanakan serentak maka masyarakat dapat memilih
presiden serta mendukung partai pengusung Capres/Cawapres yang ia dukung,
sehingga stabilitas pemerintahan lebih tercapai.
Dalam
tuntutan pelaksanaan otonomi daerah dan mewujudkan kehidupan yang demokratis,
maka lahir lah UU No.22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU 32 Tahun
2004 tentang pemerintahan daerah, yang didalamnya diatur mengenai sistem
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung baik pada
tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota[5].
Secara teoritis Pelaksanaan
pilkada secara langsung dan pemilihan anggota DPRD merupakan salah satu syarat
utama terwujudnya pemerintahan daerah yang akuntabel, akomodatif dan responsif
(Smith, 1985; Arghiros, 2001). Pemilihan secara langsung ini memberikan
kedudukan politis yang kuat bagi kepala daerah terhadap DPRD, seperti pola ”strong
mayor” di Amerika Serikat (USA) dan ”Oberbuergermeister” di
Jerman. Hal ini juga sejalan dengan
amanat konstitusi Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan
soal penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil. Asas langsung dimaknai publik secara langsung
memberikan suaranya menurut hati nuraninya tanpa perantara dan tanpa tingkatan.
Konsekuensi
dari rumusan ayat tersebut dengan keadan Indonesia sekarang yang memiliki 34
Provinsi, 417 Kabupaten dan 94 Kota[6] timbulnya
beberapa permasalahan serius, yaitu, pertama, tingginya ongkos demokrasi.
Berdasarkan catatan Fatah (2008)[7],
pemilukada dilaksanakan rata-rata setahun kurang lebih 103 kali[8].
Dari sisi ongkos pemilukada, menurut Jusuf Kalla (2008), setiap tahun negara
menganggarkan biaya kurang lebih 200 triliun[9].
Imbas
lain dari kesalahan sistem pilkada adalah terciptanya oligarki kekuasaan di
daerah, dan munculnya politisi “haji mumpung”, Keluarga Ratu Atut di
Prov.Banten dan Keluarga Syahrul Yasin Limpo di Sulawesi Selatan merupakan
bentuk nyata dari oligarki kekuasaan elit di daerah. Hal ini terjadi karena
jadwal Pilkada yang tidak serentak, sehingga memberikan kesempatan yang luas
kepada seseorang yang terlebih dahulu terpilih menjadi kepala daerah untuk
mendorong keluarganya maju pada pemilihan kepala daerah di daerah lain. Muncul
juga calon yang setelah gagal pada Pilkada disatu daerah mencoba lagi
peruntungannya di daerah lain.
Anomali
antara teori dan praktik penyelenggaran dalam konteks pemilukada terjadi karena
kesalahan konsep Pemilu kita yang memiliki banyak sekali celah dan kekurangan.
Kita sepakat bahwa membangun demokrasi adalah suatu keharusan, akan tetapi yang
lebih penting lagi adalah membangun bangsa (nation building), agar Indonesia
mampu menjadi Negara yang maju, cerdas, sejahtera, aman, dan terhindar dari
berbagai konflik. Penataan ulang kembali pelaksaan Pemilu merupakan suatu
kebutuhan bagi Indonesia, agar energi bangsa tidak terkuras setiap hari hanya
untuk mengurusi persoalan pemilu.
Pilkada
dan Disharmonisasi Perencanaan Pembangunan Nasional-Daerah
Pemilu
di Indonesia yang dilaksanakan terpisah-pisah dan tidak terjadwal dengan baik
menciptakan problema serius pada tingkat lokal maupun nasional, salah satunnya
yaitu tidak berkesinambungannya perencanaan pembangunan pada tingkat nasional
dan daerah.
Menurut
Conyers & Hills (1994), perencananaan didefinisikan sebagai suatu proses
yang berkesinambungan yang mencakup keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan
berbagai alternatif penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu pada masa yang akan datang. dari definisi Conyer & Hills tersbut
jelas bahwa dalam proses perencanaan diperlukan kesinambungan dalam pengambilan
kebijakan guna peroleh hasil yang maksimal. Dalam konteks perencanaan
pembangunan di Indonesia maka dengan sistem desentralisasi saat ini maka Pemda
diberikan kewenangan untuk merekonseptualisasikan model perencanaan
pembanganunan sesuai dengan kondisi yang ada di tiap-tiap daerah otonom. Akan
tetapi proses perencaan tersebut tetap saja harus mendukung dan
berkesinambungan dengan perencanaan pembangunan Nasional.
Berdasarkan
konsep pembangunan nasional, perencanaan daerah dan penganggaran daerah
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari (proses) manajemen strategis, dimana
dalam proses formalnya diawali oleh penyusunan rencana strategis
(renstra). Dengan demikian, dalam
aplikasinya di sektor publik, penganggaran daerah (juga) dikaitkan dengan
renstra daerah. Dalam khazanah tata urutan konstitusi, “renstra daerah”,
merupakan bagian dari “renstra nasional” untuk memenuhi tujuan-tujuan strategis
dan tujuan nasional/negara sebagaimana tertuang dalam UUD 1945[10].
Secara
sederahana alur perencanaan pembangunan kami sajikan dalam bagan alur 1 berikut
ini (berdasarkan UU No.25/2004):
Dari
bagan alur mekanisme perencanaan pembangunan tersebut jelas bahwa sistem perencanaan
pembangunan nasional merupakan satu kesatuan tata cara perencanaa pembangunan
untuk menghasilkan rencana pembangunan jangka panjang, jangka menengah, dan
tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan dipusat dan
daerah dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Dengan kata lain, dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah, perencanaan pembangunan daerah merupakan
subsistem dari pernecanaa pembangunan nasional sehingga disusunlah pernecanaan
pembangunan daerah tersebut sebagai satu kesatuan dalam sistem pernecanaan
pembangunan nasional.
Permalasalahan
yang terjadi adalah realitas dilapangan berkata sebaliknya. Akibat sistem
pemilu kita yang tidak terjadwal dengan baik, terjadi disharmonisasi
perencanaan pembangunan tingkat pusat-daerah. Hal ini terjadi akibat perbedaan
periodesasi masa jabatan kepemimpinan politik anatara pimpinan eksekutif di
pusat dan didaerah yang berbeda-beda. Semisal Presiden yang terpilh pada tahun
2005 telah menetapkan RPJM Nasional tahun 2005-2010, sedangkan satu daerah yang
baru selesai melaksanakan Pilkada tahun 2008 akan menyusun RPJM 2008-2013, yang
berbeda pula dan tidak mengakomodir keberlanjutan perncanaan pembangunan yang
telah ditetapkan oleh kepala daerah periode sebelumnya, hal ini menciptakan missing link antara perencanaan
pembangunan nasional dan daerah.
Salah
satu indikasi adanya ketidaksingkronan perencanaan pembangunan Pemerintah dan Pemerintah Daerah adalah, diluncurkannya
program Master Plan Perencanaan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) oleh
Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian.
Sebagai
dokumen kerja, MP3EI berisikan arahan pengembangan kegiatan ekonomi utama yang
sudah lebih spesifik, lengkap dengan kebutuhan infrastruktur dan rekomendasi
perubahan/revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang perlu dilakukan
maupun pemberlakuan peraturan-perundangan baru yang diperlukan untuk mendorong
percepatan dan perluasan investasi[11]
MP3EI
sebenarnya tidak perlu dilakukan jika saja perencanaan pembangunan nasional dan
daerah dapat bersinergi dan berjalan dengan baik, selain itu MP3EI tidak
konsisten dengan semangat otonomi daerah yang terkandung dalam UU No.32/2004.
SOLUSI
Dari pemaparan
diatas ada beberapa permaslahan pokok yang terjadi akibat mekanisme Pemilu yang
kita gunakan saat ini, antara lain:
1. Inkonsistensi
sistem presidensil, dan instabilats pemerintahan. Karena pengajuan
Capres/Cawapres bergantung kepada hasil perolehan kursi legislatif yang telah
dilaksanakan terlebih dahulu.
2. Pemilukada
Provinsi dan Kabupaten/Kota yang waktu pelaksanaannya tidak serentak, menggerogoti Keuangan Negara dan menganggu
porsi belanja publik di daerah.
3. Munculnya
tren politik dinasti atau oligarki kekuasaan pada tingkat pusat dan daerah.
4. Disharmonisasi
perencanaan pembangunan nasional dan daerah.
Salah
satu solusi logis untuk menjawab permasalahan diatas adalah melalui upaya
penataan ulang pelaksanaan Pemilu di Indonesia. Pentaan ulang yang kami
maksudkan adalah penyederhanaan pelaksanaan Pemilu yang lebih efektif, efisien,
serta mampu menghadirkan output pemerintahan yang baik dan handal.
Pada
saat ini kita mengenal denga tiga kali penyelenggaraan pemilu, yaitu pemilihan
legislatif, presiden, dan kepala daerah, akan tetapi jika kita bedah lebih
dalam lagi kemungkinan penyelenggaran pemilu saat ini bisa sampai 7 (tujuh) kali dalam 5
tahun[12],
yang secara psikologis dapat menciptakan kebosanan masyarkat hingga angka
partisipasi Pemilu menjadi rendah. Selain itu pola seperti ini sangat boros
anggaran.
Oleh
karena itu kia dapat menyederhanakan penyelenggaran pemilu menjadi dua momentum
saja, yang pertama Pemilu Presiden dan Pemilu legislatif yang dislenggaran
serentak dalam satu hari-H, kemudia Pemilu Kepala Daerah Provinsi, Kabupaten,
dan Kota serentak se-Indonesia.
Selain
penghemantan anggaran hal penting lainnya adalah tersiptanya Stabilitas dan
efektivitas pemerintahan pascapemilu inilah yang menjadi dasar pelaksanaan
pemilu serentak (Mark Pyane dkk, 2002). Konsep dan desain ini lahir berdasarkan
pengalaman negara-negara Amerika Latin yang menggunakan sistem pemerintahan
presidensial, tetapi justru jalannya pemertihanan menjadi tidak stabil akibat
pertikaian antara presiden terpilih dengan parlemen yang mayoritas anggotanya
tidak berasal dari partai presiden atau partai koalisi pendukung presiden.
Pemilu serentak
mulai diterapkan di Brazil sejak awal 1994 dan berhasil menstabilkan dan
mengefektifkan pemerintahan, sehingga dalam kurun 15 tahun kemudian, Brasil
menjadi kekuatan ekonomi dunia. Sukses Brasil kemudian diiukuti oleh negara-negara
lain di kawasan tersebut.
Mengapa
pemilu serentak yang menggabungkan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif dapat
menciptakan kekuatan legislatif dan eksekutif yang kongruen? Shugart (1996)
bilang, pemilu serentak menimbulkan coattail effect, di mana
keterpilihan calon presiden akan mempengaruhi keterpilihan calon anggota
legislatif. Maksudnya, setelah memilih calon presiden, maka pemilih secara
cerdas akan cenderung memilih partai politik atau koalisi partai politik yang
mencalonkan presiden yang dipilihnya.
Dalam hal Oligarki
kekuasaan didaerah, dengan melaksanakan pemilu secara serentak. Merupakan
solusi yang aplikatif dapat mencegah terjadi politik dinasti. Apalagi memang
dalam sistem pemerintahan presidensil dapat diaplikasikan pemilu serentak. Yang
mana eksekutif dan legislatif dipilih secara langsung oleh rakyat.
Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer, pilihan eksekutif ditentukan oleh
pilihan legislatif yang menjadi pemenang pemilu dan menguasai mayoritas
kursi parlemen. Dengan melakukan desain ulang terhadap waktu penyelenggaraan
pemilu dapat dipetik beberapa keuntungan.
Pertama, desain pemilu secara serentak. Dengan pemilu
yang bersamaaan antara pemilu legisltif dan eksekutif. Dapat mempertegas sistem
presidensil yang kita anut, secara dapat mereduksi praktek politik
transaksional, dan pragmatis antara eksekutif dan legislatif. Karena sedari
awal partai politik sudah menguatkan barisan koalisinya, agar terpilih Capres
yang diusungnya. Pada saat yang sama Presiden juga tidak akan “menguras
tenaga” membangun koalisi jika terpilih. Bangunan koalisi yang ideal yang dapat
mengatrol dan mendukung kebijakan eksekutifpun pada titik ini. Terbangun dalam
format koalisi yang proporsional. Bukan lagi format koalisi yang rapuh atau
format koalisi obesitas, yang pada akhirnya tidak efekif dan kabinetpun
disesaki oleh menteri-menteri yang ditempatkan karena politik transaksional dan
pragmatis, sehinnga dapat menghambat efektifitas penyelenggaran pemerintahan.
Kedua,
penyelenggaraan pemilu serentak pemilu legislatif dan pemilu eksekutif bisa
dikongkritkan dan akan menghemat uang negara yang tidak sedikit. Karena selama
ini pos terbesar dalam pengeluaran dana biaya pemilu adalah pada honorarium
petugas pemilu, yaitu sebanyak 65 persen biaya pemilu, yang harus dibayarkan
setiap kegiatan pemilu. Kalau dalam kurun lima tahun hanya terjadi dua kali
kegiatan pemilu, yakni pemilu legislatif dan pemilu eksekutif serta pemilu
kepala daerah, dana negara yang digunakan untuk membiayai pemilu bisa ditekan
sampai tiga atau empat kali lipat.
ketiga, karena pemilu yang dilaksanakan hanya satu kali
dalam satu periode (lima tahun). Maka secara otomatis akan menghalangi niat dan
politik para kerabat, untuk melanggengkan anggota keluarganya, mengganti
kedudukannya yang dijabati saat itu. Logikanya bagaimana mungkin menggiring
angota keluarganya kedalam lingkatan kekuasaan dengan posisi yang ia miliki.
Kalau pada waktu mencalonkan dirinya sebagai pejabat eksekutif terkendala
dengan batasan waktu. Kondisi ini juga sejatinya akan memaksimalkan kinerja
anggota legislatif. Agar tidak mencalonkan lagi sebagai kepala daerah di
provinsi, kabupaten atau kota. Kita bisa membandingkan kondisi yang
terjadi sekarang, setiap orang pada memburu kursi DPR, DPD, dan DPRD. Mereka
yang sudah merebut kursi diparlemen maupun yang gagal, bergerak ke bawah
berebut jatah kursi kepala daerah. Bagi pemilik kursi yang telah merasakan
kursi empuk senayan, jika berhasil menjadi kepala daerah, akan meninggalkan
kursinya untuk orang lain, yang boleh jadi adalah kerabatnya sendiri.
Sementara yang kalah pada pemilu legislatif memiliki tempo/jeda untuk kembali
meraih kursi jabatan eksekutif sebagai kepala daerah. Sehingga praktek “Haji
mumpung” dapat kita hapuskan dan mati dengan sendirinya jika pola Pemliu
serentak ini kita terapkan
Mengenai penjadwalan ulang adalah bagaimana menata ulang jadwal pilkada yang berserakan agar
kekosongan masa jabatan kepala daerah tidak menimbulkan instabilitas politik
lokal. Sesungguhnya, instabilitas politik lokal bisa terjadi apabila kekosongan
masa jabatan kepala daerah itu tidak didesain sebelumnya. Namun jika sedari
awal sudah direncanakan dan diumumkan, maka kekosongan masa jabatan kepala
daerah akibat penataan jadwal pilkada tidak perlu dikhawatirkan. Pemerintah
dalam hal ini Kementrian Dalam Negri dapat mendisain payung hukum yang mengatur
masalah penunjukan Pejabat pengisi kekosongan jabatan kepala daerah akibat dari
penjadwalan ulang pelaksanaan Pilkada serentak ini.
Keempat, Dengan penataan
ulang jadwal Pilkada maka harmonisasi perencanaan jangka panjang, menengah dan
tahunan antara pemerintah dan pemerintah daerah dapat dioptimalkan, sehingga
tidak perlu lagi pemerintah membuat program MP3EI untuk mengakselerasi
pertumbuhan ekonomi di Indonesia, karena semuanya sudah tertuang didalam RPJP
nasional. Meskipun kementrian koordinator bidang eknomi mengatakan bahwa MP3EI bukan dimaksudkan untuk mengganti
dokumen perencanaan pembangunan yang telah ada seperti Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025 (UU No. 17 Tahun 2007) dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional, akan tetapi pada tahap pelaksanaannya
akan bertentangan dengan semangat otonomi daerah karena MP3EI sendiri merupakan
wujud dari ketidakpercayaan pemerintah kepada pemerintah daerah untuk mampu
mengakselerasi pembangunan infrastruktur dan ekonomi di daerahnya, sehingga
akan muncul tarik-ulur asas-asas otonomi daerah yang seharusnya dijalankan
sebagai konsensus yang telah kita putuskan bersama.
2019
|
2020
|
2024
|
Pemilu Presiden dan
Pemilu Legislatif
|
Pemilihan Kepala Daerah Provinsi,
Kabupaten dan Kota Serentak se Indonesia
|
|
Eksekutif dan Leegislatif Nasional
menyusun RPJM Nasional, berisi kangkah strategis percepatan pembangunan di
Indonesia, baik aspek pembanungan fisik (ifrastruktur) mapun non fisik
(regulasi, SDM, dsb)
|
Harmonisasi dan sinkronisasi pelaksanaan
dokumen RPJM Nasional-Daerah
|
Untuk proyek-proyek
infrastruktur strategis dapat dilempahkan kepada daerah melalui intensifikasi
dan transfer apakah itu DAU ataupun DAK, sehingga pemerintah daerah apat
terlibat aktif dalam perencanaan pembangunan strategis nasional mapun daerah,
dan hal ini hanya akan mungkin terlaksana apabila periodisasi kepemimpinan
nasional dan daerah seragam, sehingga tidak akan muncul dokumen perencanaan
pembangunan baru ditengah pelaksanaan perencanaan pembangunan nasional yang
telah ada.
Pada akhirnya
keseriusan dan ketegasan pemrintah kita nantikan dalam menyikapi kesemerawutan
pelaksanaan Pemilu di Indonesia. Penyederhanaan dan penataan waktu pelaksaan
merupakan opsi logis yang segera harus diambil, agar permasalahan-permasalahan
yang muncul akibat dari ketidakberesan sistem pemilu kita tidak terus-menerus
terjadi, yang dalam waktu lama akan menjadi bom waktu bagi keberlangsungan
bangsa dan negara ini.
[1] Dielaborasi kembali
oleh Ryaas Rasyid dalam Makna Pemerintahan, Tinjauan dari Segi Etika dan
Kepemimpinan, Yarsif Watampone, 2002, hal.39
[2] Drs.
Astim Riyanto, SH., MS. (2000). Teori Konstitusi. Bandung: Penerbit
YAPEMDO. Hal 336
[3] Pasal 6A
ayat (1) UUD 1945
[4] Pasal 6A
ayat (2) UUD 1945
[5] Pada
uu 32 tahun 2004 pasal 56 ayat (1) disebutkan bahwa Kepala daerah dan Wakil
kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara
demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
[6] Data
sampai diundangkannya UU No.16 Tahun 2013 tentang Pembentukan Kabupaten Musi
Rawas Utara di Provinsi Sumatera
Selatan
[7] Eep
Saeful Fatah, bahan ceramah dalam seminar Konsolidasi Demokrasi oleh MIPI
[8] Artinya,
dengan logika sederahana, setiap satu bulan ada kurang lebih 8 pemilukada, dalam
seminggu ada 2 kali pemilukada, atau setiap 3 hari rata-rata di Indonesia
terdapat satu kali pemilukada
[9] Jusuf
Kalla, Republika, 2008
[10]
Dijelaskan oleh Sony Yuwono dkk, dalam buku memahami APBD dan Permasalahannya
(Panduan Pengelolaan Keuangan Daerah)
[11] Dikutip
dalam buku Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia, diterbitkan Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian
[12] Pemilu
Legislatif, Pemilu Presiden putaran I, Pemilu Presiden Putaran II, Pilkada
Provinsi putran I, Pilkada Provinsi putaran II, Pilkada Kabupaten putran I,
Pilkada Kabupaten Putaran II
0 comments: