Menjadi KARTINI yang CUT NYAK DIEN
(Oleh: Zulfikri Armada, S.IP)
Mengenal Kartini dan
Cut Nyak Dien
R.A. Kartini dan Cut Nyak Dhien |
Pada tanggal 21 April nanti,
Perempuan disegenap penjuru tanah air akan memperingati kembali hari lahir
salah seorang sosok/ikon atas perjuangan emansipasi wanita di Indonesia. Sosok
tersebut tidak lain dan tak bukan adalah Raden Ajeng Kartini. Pertanyaan yang
kemudian muncul dalam benak kita ialah syapa sebenarnya R.A. Kartini ini.
R.A. Kartini lahir di Desa Mayong
Kabupaten Jepara pada tanggal 21 April 1879, Ia adalah putri dari seorang
Bupati dan hidup berkecukupan layakanya seorang bangsawan. Saat kecil, Kartini
dimasukkan ke sekolah elit orang-orang Eropa yaitu Europese Lagere School
(ELS) dari tahun 1885-1892. Di sekolah itulah, Kartini banyak bergaul
dengan anak-anak Eropa, sehingga Kartini mempunyai modal untuk bisa membaca dan
menulis.
Kemampuannya untuk mengejawantahkan
pemikiran serta kritiknya atas situasi sosial-budaya-agama yang dihadapinya
kedalam tulisanlah yang selanjutnya membuat Kartini di Kenang. Hasil
korespodensi surat antara kartini dengan sahabat penanya di Belanda yang
sebagian berisikan kritik dan kegelisahan hati atas budaya Jawa yang membatasi
ruang gerak wanita (memingit mereka didalam rumah saja), sehingga Kartini merasa
kaum wanita termarjinalkan dalam hal pendidikan dan kehidupan sosial. Kumpulan
surat-surat Kartini tersebutlah yang kemudian disusun oleh Mr. J.H.
Abendanonmenamai, dan diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti
harfiahnya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku kumpulan surat Kartini ini
kemudian diterbitkan pada tahun 1911.
Kemudian, selain RA Kartini, ada
juga Srikandi Indonesia lainnya yang patut kita tauladani, beliau adalah Cut
Nyak Dhien. Lain halnya dengan R.A. Kartini, perjuangan Cut Nyak tidak sebatas
emansipasi wanita semata, tetapi yang ia perjuangkan lebih luas daripada itu,
ia berjuang demi kemerdekaan dan kedaulatan Bangsa Indonesia dari Imperialisme Kaphee
Belanda (Sebutan Cut Nyak bagi orang Belanda) secara utuh, baik lahiriah maupun
bathiniah. Cut Nyak lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848. Dari keturunan
bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar.
Ketika Perang Aceh meluas tahun 1873, Cut
Nyak Dien memimpin perang di garis depan, melawan Belanda yang mempunyai
persenjataan lebih lengkap. Setelah bertahun-tahun bertempur, pasukannya
terdesak dan memutuskan untuk mengungsi ke daerah yang lebih terpencil. Dalam
pertempuran di Sela Glee Tarun, Teuku Ibrahim gugur.
Mendapatkan cobaan sebegitu hebat, Cut Nyak
seakan tak gentar, semangatnya tetap berapi-api untuk mengusir Kaphee Belanda
dari Indonesia. Ia terus melanjutkan perjuangan dengan Suami Keduanya Teuku
Umar. Beliau terus bertempur hingga dimasa tuanya ia tertangkap oleh Belanda
dan diasingkan ke Sumedang Jawa Barat.
Kedua sosok Srikandi Indonesia tersebut sebenarnya telah memberikan pesan kepada para kaum Hawa tentang konsepsi emansipasi wanita yang ideal. Yang satu bergerak melalui pemikiran dan pendidikan, yang satunya lagi bergerak dalam kancah pengimplementasian gagasan dan cita-cita secara lebih konkrit da nyata.
Emansipasi VS
Kesetaraan Gender
Jika dilihat dari
sejarah, konsep ”Emansipasi “ itu muncul sejak
adanya Deklarasi Hak-Hak Azazi Manusia pada tahun 1984, karena pada
saat itu perlakuan dari kaum laki-laki yang saat mendominasi dan memarjinalkan
perempuan, maka pada tahun 1963 melalui badan Ekonomi PBB (ECOCOC) konsep
Emansipasi ini dideklarasikan. Dilanjutkan dengan World Conference
International Year of women PBB di Mexico City tahun1975, muncul beberapa
ketentuan tentang persamaan hak yang diinginkan antara lain tentang;
pendidikan, pekerjaan, pembangunan bagi kaum perempuan, partisipasi dalam
pembangunan, tersedianya data dan informasi perempuan serta analisis perbedaan
peran berdasarkan jenis kelamin, dan untuk mewadahi aktifitas kegiatannya
dilakukan melalui Women In Development (WID).
Dalam konteks Indonesia baik secara kultur
maupun kelembagaan sebenarnya kita tidak terlalu asing dengan konsep emansipasi.
Catatan sejarah menyatakan bahwa kerajaan Majapahit yang kekuasaanya meliputi
hampir seluruh kawasan Asia Tenggara hingga ke Formosa dibagian utara dan
Madagaskar di barat, ternyata dalam silsilahnya pernah dipimpin oleh 2 dua
perempuan masing-masing “Tribhuwanatunggadewi (1328-1350) M”. dan Kusuma
Wardhani (1389-1429) M.
Emansipasi artinya memberikan hak yang
sepatutnya diberikan kepada orang atau sekumpulan orang di mana hak tersebut
sebelumnya dirampas atau diabaikan dari mereka. Dimana refleksi emansipasi yang
diperjuangkan oleh Raden Ajeng Kartini adalah untuk membawa perubahan besar
kepada perempuan Indonesia, yaitu perjuangan menuntut hak pendidikan bagi
perempuan. Karena kita ketahui bahwa dizaman dahulu, pendidikan bagi perempuan
ataupun kaum pribumi adalah hal yang sangat tabu dan sangat susah untuk
dicapai. Begitupun dengan Cut Nyak Dien
yang maju sebagai tokoh sentral dalam usaha mempertahankan harkat dan martabat
dari penjajahan kaum Belanda hinnga titik darah penghabisan, tidak hanya bagi
kaumnya tetapi seluruh bangsa Indonesia dalam satu kebulatan.
Sedangkan kesetaraan gender adalah suatu
keadaan setara dimana antara pria dan wanita dalam hak (hukum) dan
kondisi (kualitas hidup) adalah sama. Gender adalah pembedaan peran,
atribut, sifat, sikap dan perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Dan peran gender terbagi menjadi peran produktif, peran reproduksi serta peran
sosial kemasyarakatan.
Dari pemaparan diatas jelas tampak perbedaan
antara emansipasi dan kesetaraan gender. Dewasa ini banyak kaum feminist yang
menggembar-gemborkan kesetaraan Wanita dan Pria. Menurut penulis dari tinjuan
teologis dan kulutral wanita tidak bisa berpaling dari kodratnya sebagai wanita
seutuhnya, yaitu peran ia sebagai seorang istri dan seorang ibu, yang tentu
saja fungsi tersebut merupakan unifikasi alamiah yang diamanahkan Tuhan kepada
kaum hawa. Pria dan Wanita tentu saja boleh dipandang sebagai partner yang sejajar
hak dan kewajibannya, akan tetapi menyamakan secara total seluruh hak,
kewajiban dan peranan antara Pria dan Wanita tentu saja sebuah kesalahan
sintesis dalam berfikir. Spirit
emansipasi yang harus kita pelihara dewasa ini adalah perlawanan terhadap
budaya “kolot” yang tak memberikan banyak hak kebebasan perempuan untuk
menentukan nasibnya sendiri dan spirit tentang penghilangan diskriminasi bagi
perempuan. Sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Kartini dan Cut Nyak.
Peringatan Hari
Kartini, hiruk-pikuk tanpa esensi
Dalam Islam perempuan diwajibkan
menggenakan jilbab, hal ini menurut penulis, secara tersirat merupakan revolusi
besar terhadap cara seluruh semesta memandang wanita. Dahulu dizaman jahiliah
wanita hanya dijadikan objek keindahan dan pelampiasan hasrat durjana dari kaum
Pria. Kemudian Islam datang memberikan antithesa atas kesesatan yang telah
terjadi, Wanita diagungkan kedudukannya, jilbab selain kewajiban, juga
merupakan pesan bahwa wanita tidak boleh dipandang sebagai objek keindahan
karena fisiknya semata, tetapi yang harus diutamakan dan dihormati adalah
akhlaq, budi-pekerti, pemikiran, idealisme serta visi kehidupan yang ia punya.
Begitupun selanjutnya dengan R.A
Kartini dan Cut Nyak Dhien, perjuangan mereka menitikberatkan kepada perlawanan
terhadap dehumanisasi baik itu kepada perempuan secara khusus dan keseluruhan
elemen bangsa secara umum.
Karena mampu membaca surat kabar dan
majalah kartini bisa mengetahui berbagai macam kemajuan-kemajuan yang dimiliki
oleh kaum wanita di Negeri Belanda, hal itulah yang menimbulkan dan
membangkitkan pemikiran-pemikiran beliau. Karena semangat anti keterjajahan dan ideologi yang teguhlah lantas Cut Nyak Dhien tak gentar angkat senjata mengusir
belanda. Pertanyaanya sekarang, lantas apa yang dilakukan perempuan-perempuan
muda Indonesia dalam meperigati Woman’s Day (Hari Kartini)?
Sebuah keprihatinan yang sangat
mendalam bahwa sebagian besar hanya memperingatinya dengan berkebaya-ria dalam
satu hari saja. Bahkan dilembaga pendidikan sebesar IPDN-pun tak luput dari
perayaan tanpa esensi. Sudah menjadi sebuah tradisi setiap hari kartini akan
diadakan pemilihan Putri Nusantra, yang katanya dinilai dari 3 aspek: brain,
beauty, and behaviour. Sejarah kembali terulang wanita bangga dijadikan objek
keindahan karena lahiriahnya, fisiknya, parasnya. Hal ini merupakan bentuk
resistensi dari semangat Kartini maupun Cut Nyak Dhien yang berusaha
mengeluarkan perempuan dari “kekolotan nilai” yang di-amini oleh masyarakat
pada saat itu.
Momen Hari Kartini pada tahun ini,
semoga bisa menjadi titik renungan bagi seluruh kalangan, para feminist,
pejuang emansipasi, dsb. Untuk kembali mendudukkan spirit emansipasi ketataran
ideal sebagaimana yang diperjuagkan oleh para Srikandi Indonesia, perempuan
Indonesia harus maju, perempuan Indonesia tentulah harus cerdas, ia boleh
mengaktualisasikan dirinya, setinggi yang ia mau, tetapi jangan lupa tugas
lebih penting lainya bahwa ia adalah calon ibu bagi anak-anaknya (garda
terdepan dalam membina generasi, fondasi dari sebuah peradaban), ia adalah
istri bagi suaminya (penopang dikala lelah, pendorong untuk mencapai asa), ia
adalah matahari bagi peradaban Indonesia yang mandani.
Wanita
Indonesia jangan ragu untuk menjadi
Kartini yang Cut Nyak Dhien! (ZA)
0 comments: