PEMILU 2014 DAN WABAH VANDALISME VERBAL

Pemilu 2014 dan Wabah Vandalisme Verbal
Oleh: Zulfikri Armada

Jujur saja sebenarnya penulis tidak terlalu berminat untuk turut serta mengomentari, apalagi sampai berletih-letih merecoki segala dinamika seputaran permasalahan Pilpres dari mulai pencalonan hingga persengketaan di MK pada tahun ini, selain karena memang banyak hal lain yang harus dilakukan dan juga karena sedari awal penulis berpendapat bahwa mekanisme pemilihan yang ada tidak menyokong sistem presidensil murni (Baca: Penyederhanaan Mekanisme Pemilu dan Pemilukada). Namun melihat perkembangan yang ada akhirnya penulis menyerah untuk pura-pura menutup mata.

Yang paling meresahkan dari pemilu 2014 ini adalah bukan tentang kelemahan atau berbagai kekurangan yang ada dalam pelaksanaanya. Tetapi, berkembangnya pemandangan umum soal begitu masivnya masyarakat yang mulai terbiasa untuk saling melemparkan kecaman dan hujatan,  diberbagai media sosial seperti facebook dan twitter terhadap orang-orang yang berseberangan pandangan dan pilihan politiknya. Bullying dalam bentuk vandalisme verbal ini tak tanggung-tanggung, saling hujat antar pendukung bahkan secara terbuka menjadikan kedua pasang capres-cawapres yang berkompetisi dalam pemilu sebagai objek atau target dari berbagai kata-kata tercela.


Pada galibnya, perbedaan pandangan antar individu maupun kelompok dalam negara demokrasi adalah sebuah pemandangan yang ajek dan umum yang harus dihargai dan dijunjung tinggi. Fenomena yang berkembang saat ini justru memperlihatkan secara gamblang bahwa secara kuantitatif Indonesia boleh diakui dunia sebagai negara Demokrasi muslim terbesar di Dunia, akan tetapi secara kualitatif-substantif pelaksanaan kehidupan berdemokrasi kita masih begitu prematur dan belum kokoh. Masyarakat masih menikmati pemilu seperti layaknya kontes idol-idolan, partisipasi politiknya seperti gaya suporter sepak bola yang tak terdidik, fanatis mendadak, kontraproduktif dan  minim kearifan.

Ada sebuah kutipan menarik dari filsuf Jerman ,Wittgenstein, bunyi kutipannya seperti ini, "Die Grenzen meiner Sprache bedeuten die Grenzen meiner Welt," yang jika diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia artinya, "Batas Bahasaku adalah batas duniaku." Sebuah ungkapan yang sangat filosofis tentunya, tetapi memang begitulah adanya.

            Kita sadari atau tidak, bahasa merupakan unsur terpenting dalam perjalanan peradaban umat manusia, dengan bahasa kita dapat mengkomunikasikan ide, gagasan dan pendapat kepada orang lain, untuk menjalin kerjasama dalam membentuk sebuah peradaban. Tanpa kemampuan berbahasa, mungkin tidak akan pernah tercipta peradaban manusia di Bumi ini.
I La Galilo, ditulis dengan aksara Bugis (Source:wikipedia)

Dalam khazahan berbahasa kita, dunia mencatat bahwa Indonesia adalah bangsa beradab dalam bertutur tulis dan bertutur kata. Karya sastra Sureq I La Galigo dari Tanah Bugis, Sulawesi Selatan yang kini sebagian naskah aslinya (manuskrip) ‘ditahan’ di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en VolkenkundeLeiden, Belanda merupakan masterpiece di jagad sastra. Sureq I La Galigo adalah karya sastra terpanjang di dunia, bahkan mengalahkan kisah Mahabarata dari India. Sureq I La Galigo merupakan kristal keadaban tutur kata dan tutur tulis yang diakui dunia. Sureq I La Galigo bukti otentik betapa tinggi peradaban bangsa Indonesia di bidang kesusasteraan. Ia mestinya terpelihara ke dalam aliran darah bangsa Indonesia hingga hari ini.

            Perjalanan panjang leluhur kita bangsa kita yang begitu berperadaban semoga mampu menjadi refleksi bagi kita untuk sama-sama mendewasakan diri dalam keteduhan hidup berbangsa dan bernegara. Indonesia dengan sejarahnya yang panjang seharusnya bisa menjadi role model dalam kehidupan berdemokrasi bagi dunia internasional.

Begitu besar harapan penulis bahwa tone negatif dalam komunikasi politik kita pada saat ini hanyalah letupan-letupan kecil yang sifatnya temporer saja. Setelah putusan MK telah sama-sama kita dengar, penulis mengajak semua elemen masyarakat mau untuk beristighfar dan kembali ke jalan yang benar. Membuang jauh-jauh berbagai koleksi umpatan, lalu merapatkan barisan untuk kembali menapaki jalan menuju bangsa besar yang berperadaban.

0 comments: