Florence,
Pak Jokowi dan Sujudin yang Meninggal di SPBU
Beberapa hari terakhir sepertinya publik
tanah air dibuat terperangah dengan dengan
berbagai rentetan peristiwa yang memaksa kita untuk kembali menghela nafas
panjang, merenung dan kemudian menyadari bahwa kita perlu segera berbenah.
Diawali dengan kasus Florence ‘Ratu SPBU’
dari Jogja, yang karena merasa tidak terima dengan perlakuan petugas yang menolak
mengisi BBM karena ia dengan sadar MEMOTONG jalur antrian, dengan ringannya
mengumpat masyarakat Jogja dan Sultan
melalui akun sosial Path dan Twitter, tentu saja tindakan Vandalisme Verbal
tersebut menyulut kemarahan masyarakat Jogja. Sebenarnya memenjarakan Flo tak
bijak juga, karena masih banyak Florence-Florence lain di Indonesia, yang
menjadikan akun Sosial sebagai “kotak sampah” pribadinya, padahal jika
berbicara ranah sosmed, kita tidak mengenal istilah privasi, semua informasi
beredar secara sporadis. Belajar dari Flo, kita harus lebih bijak menggunakan
jejaring sosial, terutama semenjak adanya UU ITE yang sedikit “membelenggu”,
tetapi memang pada khitahnya bukankah Prof.Noorsyam sudah menjelaskan bahwa filsafat
Hak Asasi Manusia di Indonesia disandarkan kepada Kewajiban Asasinya.
Beralih dari Florance 'Ratu SPBU', masih seputar BBM, beberapa hari belakangan
publik juga dibuat galau dengan manuver yang dilakukan oleh Presiden terpilih
kita Ir.Jokowidodo, beliau secara tersirat “membujuk” Presiden SBY ketika
bertemu di Bali untuk mau menanggung beban politik untuk mengurangi subsidi BBM
sebelum Pak SBY lengser keprabon. Hal ini cukup menarik karena 10 tahun belakangan
kita meyaksikan bahwa PDI-P merupakan partai yang paling getol menolak kenaikan
harga BBM. Manuver ini seakan meruntuhkan argumentasi yang telah dibangun bertahun-tahun
oleh Partai berlambang banteng ini tentang bahwa mengurangi subsidi bbm bukan langkah
terbaik dalam menutupi devisit APBN, banyak alternatif lain yang bisa
dilakukan, publikpun bertanya dimana kini alternatif yang pernah disebut-sebut banyak
tersebut?.
BBM sebagai sumber energi yang
teramat vital memang menjadi isu strategis dibelahan bumi manapun, termasuk di
Indonesia, Isu ketahanan energi memang tak pernah kehilangan pesonanya. Ketahanan
energi, paling sederhananya, berhubungan dengan mengamankan energi masa depan
suatu bangsa dengan cara mendapatkan sumber daya energi yang stabil dan
berkecukupan dengan harga terjangkau. Terdengar cukup sederhana namun di bawah
permukaan definisi simpel ini terselubung gunung persoalan yang kompleks yang
harus kita pecahkan. Kegagalan untuk melakukannya berisiko membahayakan masa
depan energi kita untuk jangka waktu yang lama.
Mari penulis
jelaskan maksud dari kata “membahayakan”
diatas: Konsumsi energi primer kita telah meningkat lebih dari 50 persen sejak
tahun 2000 hingga 2010. Kini, konsumsi bahan
bakar minyak (BBM) Indonesia sekitar 1,2 juta barel per hari, sedangkan tingkat
produksinya berkisar 900 ribu barel per hari sehingga sisanya dipenuhi dari
impor.
Dari sisi cadangan, pada
akhir 2011, total cadangan minyak Indonesia hanya sekitar 2 persen dari
cadangan total minyak dunia yang mencapai 1.652 miliar barel. Saat ini,
cadangan minyak terbukti di Indonesia 3,6 miliar barel, dan 53 persen sisa
cadangan itu terletak di lapangan-lapangan skala besar. Sejauh ini cadangan minyak nasioanl terus terkuras. Pda 2012, rasio cadangan minyak terhadap produksi hanya 52%. Padahal, semestinya setiap produksi 1 barel miyak digantikdan temuan cadangan minyak dengan jumlah yang sama pula.
Dibawah kepemimpinan Presiden baru, diharapkan pemerintah kita bisa
lebih “move on” dari ketergantungan BBM dan bisa fokus dalam mengembangkan
energi alternatif dan perbaikan infrastruktur yang menjadi tulang punggung bagi
transportasi kebutuhan pokok penduduk Indonesia. Kita harus faham bahwa cadangan
minyak kita tak sekokoh Rusia maupun Iran, oleh karena itu MP3EI (Masterplan
Percepatan dan Perluasan Perkembangan Ekonomi Indonesia) harus di drive untuk pengembangan
energi alternatif disetiap kawasan, serta membangun infrastruktur transporasi
masal yang lebih terjangkau dan tak bergantung pada BBM. Pembangunan jalur
kereta api trans-Sumatera, Kalimantan, Sulawei dan Papua,serta pembangunan pelabuhan
barang harus segera dirintis, sehingga distribusi komoditas barang-barang pokok
tidak lagi bertumpu pada jalur darat konvensional (Bus/Truk), sehingga pengurangan
subsidi BBM tidak lagi memicu inflasi yang merepotkan masyarakat menegah
kebawah.
Kisah terkahir ialah mengenai Pak Sujudin di Kediri, ia merupakan sebuah balada pilu yang menjadi pertanda siaga merah bagi kita, pemerintah, untuk segera membenahi pengelolaan energi di
Negri ini. Pak Sujudin merupakan korban meninggal pertama karena kelangkaan BBM
di Indonesia, ia berpulang kerahmatullah saat sedang mengantri di SPBU pada
Sabtu 30/08/2014. Dibawah kepemimpinan pemerintahan yang baru, publik tentu
berharap dan mendoakan, nahkoda baru kita Bapak Ir.Jokowidodo dapa membenahi
permasalaha yang krusial ini.
Semoga saja..
Wasalam.(Bang Zul)
0 comments: