Menanti Realisasi Janji Suci Trisakti Presiden Jokowi
Oleh: Zulfikri Armada S.IP
Foto: Okezone.com |
Pelantikan Joko Widodo dan M.Jusuf Kalla sebagai Presiden
dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2014-2015 pada tanggal 20 oktober
2014, merupakan puncak dari pesta demokrasi yang berlangsung dengan genggap
gembita, penuh dinamika, yang pada akhirnya patut kita syukuri bahwa perhelatan
akbar ini berjalan dengan damai, transisi kepemimpinan telah dilakukan tanpa
hambatan yang berarti.
Hari minggu kemarin, Presiden Joko Widodo telah
mengumumkan 34 nama Menteri Kabinet Kerja, yang pada pundak mereka
masing-masing, publik menaruh begitu banyak pengharapan untuk Indonesia yang
lebih baik. Perlu kita catat selama masa kampanye Presiden Jokowi acap kali
menggaungkan kembali ajaran “Trisakti”-nya Bung Karno, ajaran ini mengamanatkan
pemerintah harus menciptakan indonesia yang berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian
dalam kebudayaan. Tentu saja ajaran tersebut masih relevan hingga saat ini,
pertanyaannya adalah, mampukan Kabinet Indonesia Hebat konsisten merealisasikan
ajaran Trisakti Bung Karno? Karena kita faham musuh terbesar ajaran ini adalah
neoliberalisme da neokapitalisme yang beberapa dekade terakhir berteman mesra
dengan para pemegang kebijakan di Negri ini.
Kunci dari ajaran Trisakti adalah
kemandirian, dan semangat untuk terlepas dari belenggu imperialisme gaya baru: kapitalisme. Berbicara tentang kemandirian agaknya kita benar-benar harus
bekerja keras mewujudkan hal ini, mengingat kemandirian kita sebagai negara-bangsa
dewasa ini merosot dalam multi aspek. Kemerosotan ini dapat kita lihat dari
beberapa paradoks. Dari negara yang mampu berswasembada beras pada tahun 1984,
Indonesia kini kita menjadi pengimpor beras terbesar ke-4 di Dunia. Dari
eksportir gula yang mashur pada era Hindia-Belanda, kini menjadi pengimpor gula
terbesar ke-2 di Dunia. Dengan panjang pantai 88.000 km (terpanjang ke-2 di
Dunia) dan matahari yang bersinar sepanjang tahun, pun hingga April 2013 kita
masih tercatat mengimpor 665,36 juta kilogram (kg) garam, yang lebih tidak
masuk akal lagi, Singapura mampu surplus garam dan mengekspor ke Indonesia
hingga 6,28 ribu kg.
Kita semakin terbiasa dan nyaman menjadi
Bangsa yang kurang mandiri, sehingga tidak sungkan untuk berhutang keluar negri
dan mengimpor dari sana-sini. Berbicara tentang kemandirian, salah satu
instrumen vital untuk mewujudkannya adalah membangun kembali “kepercayaan
diri”. Semangat kepercayaan diri ini lah yang kian lama kian pudar pada diri
kita sebagai sebuah negara-bangsa. Lantas apa saja dimensi-dimensi trisakti
yang harus diwujudkan oleh pemerintahan Presiden Jokowi untuk dapat
menghidupkan kembali semangat kemandirian bangsa tersebut.
Berdaulat
Dalam Politik
Pada galibnya di negara demokrasi manapun, partai politik
merupakan salah satu instrumen penting dalam pengelolaan negara. Parpol tak
hanya berperan dalam lembaga legisatif pusat maupun daerah, namun juga pada
proses nominasi dan pencalonan jabatan eksekutif dari mulai Presiden, Gubernur
hingga Bupati/Walikota. Demekian juga dengan jabatan kenegaraan; Gubernur BI,
duta besar, Ketua MA, Ketua KPK, serta Panglima TNI dan Kapolri pun harus
melalui fit and proper test di DPR
yang nota bene adalah orang-orang Parpol
Oleh karena itu pembenahan dan penguatan fungsi Parpol
merupakan jalan yang harus ditempuh. Masyarakat, pemerintah, dan internal
parpol itu sendiri harus terus mengawal kinerja parpol untuk tetap on the track dan konsisten dengan garis
ideologis yang telah disepakati. Agar kedepannya parpol tidak hanya menjadi
pencetak calon-calon koruptor baru (maaf jika kata-kata saya terlalu nyinyir),
atau sekedar even organizer yang
hanya hidup ketika ada Pemilu dan Pemilukada.
Perlu difahami bahwa politik bukan hanya tentang teknik
untuk meraih kekuasaan dan mengeruk sumberdaya yang ada. Tetapi politik harus
diarahkan ke ranah politik sebagai etik untuk mengabdi kepada rakyat, kepada
negara dan untuk meningkatkan kesejahteraan dan persatuan bangsa.
Dr.Muhadam Labolo senantiasa mengingatkan bahwa dalam
konteks negara demokrasi yang maju negara membutuhkan pemerintahan yang kuat
dan oposisi yang kuat pula. Kuat dalam artian memiliki visi yang unggul dan
idealisme yang mantap. Oleh karena itu publik sebenarnya tak perlu resah dengan
pergerakan partai-partai yang kini mendifusikan dirinya kedalam dua kubu besar
(Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat).
Di Amerika dinamika antara demokrat dan republik begitu
deras terjadi, di Inggris bahkan oposisi membentuk kabinet bayangan. Oposisi
yang kuat akan menjadikan rakyat menjadi optimis akan masa depannya, bagi
pemerintah ia akan menjadi cambuk yang efektif untuk memacu pemerintah bekerja
lebih baik. Oposisi yang kuat akan efektif mengawasi pemerintahan, dan bukankah
itu kebutuhan mendasar yang kita perlukan guna mewujudkan Negara yang sehat,
mengutip Lord Acton “Power tends to
corrupt, absolut power corrupts absolutly”.
Suasana
persaingan yang terukur dan transparan antara pemerintah dan oposisi, akan
menciptakan kebijakan-kebijakan yang matang, baik itu dalam kebijakan luar
negeri maupun dalam negeri yang muaranya adalah siapa yang mampu membuktikan
dirinya lebih pro-rakyat dan pro-kepentingan Nasional. Oleh karena itu Presiden Jokowi diharapkan mampu memanfaatkan hal
ini dengan baik, agar kekuatan yang ada sekarang mampu membuat kita berdualat
secara politik, dan tidak manut-manut lagi kepada Washington, tetapi menghamba
kepada rakyat dan kepentingan nasional.
Berdikari
dalam ekonomi
Mission
sacre bangsa kita untuk menciptakan “masyarakat adil dan
makmur” merupakan sebuah janji suci (meminjam istilah Rafi-Gigi) dari para
pendiri bangsa yang harus segera kita lunasi. Tujuan NKRI berdiri sangat jelas,
tertuang pada pembukaan UUD 1945 yaitu “...dengan mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Kita patut memuji keberhasilan pemerintahan SBY yang
secara konsisten dapat menjaga pertumbuhan perekonomian nasional 5-7% pertahun
bahkan ketika resesi ekonomi di Amerika dan sebahagian belahan dunia terjadi. Kemudian jumlah penduduk
miskin juga konsisten terus berkurang. Namun kita juga tidak dapat menafikan
fakta bahwa jarak antara golongan kaya dan miskin semakin jauh melebar dan
ketimpangan perekonomian antar wilayah di Indonesia juga kian mengkhawatirkan.
Pendekatan pembangunan berdasarkan Washington Concensus,
yang mengagungkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kemudian berharapa ada trickle down effect ke tengah
masyarakat, setelah 30 tahun ini jelas telah gagal total dalam menghapuskan
kemiskinan. Pendekatan Washington hanya menhasilkan multi-milyader baru yang
penghasilan pribadinya setara dengan APBN negara-negara miskin di Afrika.
Presiden Jokowi ditengah tantangan perekonomian regional
maupun internasional mesti benar-benar cermat dalam pengelolaan dan pengalokasian
APBN sebagai instrumen ekonomi yang dimiliki negara. Mengingat tahun 2015 kita
sudah masuk dalam era Masyarkat Ekonomi Asean, yang menyebabkan arus uang,
barang, dan orang dapat keluar-masuk tanpa hambatan antar negara di Asia
Tenggara. APBN harus diusahakan efektif untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi, dan juga sejalan dengan usaha membuka tenaga kerja dan pengentasan
kemiskinan sebagai prioritas utama dengan peningkatan kualitas SDM sebagai kata
kuncinya.
Ketimpangan ekonomi akan menghasilkan ketidakadilan
sosial, dan belajar dari kasus Arab
Spring, ketidakadilan sosial merupakan virus yang dapat memantik gejolak
sosial (social urest) memporak-porandakan bangunan sosial-politik bahkan
kedaulatan sebuah negara. Ia akan menjadi semacam alasan pembenaran untuk
tindakan pemberontakan, kekacauan dan revolusi. Oleh karena itu re-orientasi
kebijakan pembangunan ekonomi harus benar-benar diperhatikan oleh Presiden
Jokowi dan Kabinet Kerja-nya.
Berkepribadian
dalam berkebudayaan
Charles Darwin dalam
teori evolusinya mengatakan bahwa “it is
not the stronger nor the most intellegent of the spicies that survives, but the
one that is most adabtable to chages”. Perubahan adalah sebuah kepastian,
ketika kita gagal mengimbangi dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi
maka bersiapalah untuk tergilas dan membusuk dalam pusara sejarah. Siswono Yudo
Husodo dalam bukunya “menuju walfare state” menjelaskan bahwa Indonesia kini
sedang berada di-era transisi. Pertama, transisi dari sistem politik dan
pemerintahan yang otokratik menuju demokratis. Kedua, transisi dari sistem
ekonomi kapitalisme perkoncoan dan patron-klien (patron-client and crony
capitalist) menuju sistem ekonomi pasar yang aturan mainnya jelas (rule-based
market economy). Ketiga, transisi dari sistem sosial politik dan ekonomi yang
sentralistik menuju sistem yang terdesentralisasi.
Perubahan yang multi dimensional ini tentu saja
berpengaruh besar terhadap tatanan sosial-kemasyarakatan rakyat Indonesia. Buah
dari Transisi multi dimensional dan derasnya arus globalisasi membuat
nilai-nilai baru lahir dan hadir, lalu mencairkan nilai-nilai tradisional yang
telah ada pada tatanan masyarakat Indonesia. Permasalahannya adalah ketika
nilai baru ini masih belum mapan untuk dijadikan pedoman, maka yang lahir
adalah disorientasi nilai, sensitifitas, dan ekslusifitas antar
kelompok-kelompok masyarakat yang berpegang pada nilainya masing-masing, yang
pada beberapa kasus disertai dengan ekspresi-ekspresi fanatisme berlebihan,
agresif dan destruktif.
Indonesia yang diimpikan oleh para bapak bangsa kita
adalah Indonesia yang berkesetaraan, sesuai dengan isi Pasal 27 UUD 1945:
“setiap warganegara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan” Kita
patut berbangga hati, bahwa kasus Ambon dan Poso sudah dapat kita selesaikan,
perdamaian di Aceh telah berhasil kita wujudkan, akan tetapi tak pantas juga
rasanya kita berpuas diri, karena pada kenyataanya masih saja ada
kelompok-kelompok yang masih tertarik untuk menggunakan tindakan kekerasan dengan
mengatasnamakan agama, walaupun memang jumlahnya relatif menurun. Semangat
Bhineka Tunggal Ika sebagai sebuah konsepsi yang sangat modern dan visioner
harus terus dikonkritkan dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara
agar terus dapat menjaga kehidupan dengan keragaman, kesetaraan dan harmoni
semakin matang di Indonesia.
Kedepannya Indonesia yang berkepribadian unggul adalah
indonesia yang masyarakatnya menghargai kekayaan multikulturalisme, menjauhi
ekskulsifisme, dan memelihara semangat gotong-royong dan keguyuban. Semangat
keindonesiaan, lebih dari sekedar indentitas nasional, ia adalah pedorong
semangat kemandirian, kewibawaan serta harkat dan martabat bangsa. Semangat
keindonesiaan merupakan semangat yang membakar dan memutuskan rantai belengu
keterdiktean dan kelemahaan bangsa kita dari bangsa-bangsa lain.
Epilog
Setelah istirahat
makan siang tadi saya tertegun dengan berita yang ditayangkan oleh Global TV,
bahwa 65 Desa pada 18 Kecamatan di Sumba Timur, NTT, mengalami kekeringan,
masyarakat yang sudah kehabisan jatah raskin, terpaksa mengolah dan memakan
umbi-umbian liar beracun yang -maaf- babi pun enggan untuk memakannya. Hingga tulisan
ini hampir rampung saya masih tertegun mengingat berita tersebut.
Janji suci telah diucapkan, Kabinet Kerja telah dilantik,
dengan kesungguhan hati saya mendoakan semoga Presiden dan Wakil Presiden kita
Joko Widodo dan M.Jusuf Kalla dapat membawa Indonesia ke aras yang lebih baik,
sejahtera dan bermartabat. Indonesia memiliki segala alasan untuk dapat bangkit
dan menjadi negara-bangsa yang madani. Salah satu hal penting yang dapat menggerakan
segala potensi tersebut adalah semangat kemandirian, semangat untuk berdikari,
berdiri ditas kaki sendiri. Kesitulah revolusi mental yang diagendakan Jokowi
hendaknya dimuarakan.
Kita agaknya sependapat dengan Peter Drucker bahwa: “There is no under developed country, there
are only under managed country”. Pada Jokowi dan Kabinet Kerjanya publik
menggantungkan ekspektasi dan doa yang begitu besar agar kesemerawutan bangsa
ini dapat diselesaikan dengan baik.
Pada akhirnya setiap pemimpin negara adalah penunjuk arah
bagi masa depan bangsanya, dibawah Lee Kwan Yew kejayaan Singapura terukir,
Kemajuan Korsel tak lepas dari jasa Park Chung He, Mahatir telah meletakan
fondasi bagi Malaysia yang modern. Dan kesalahan yang dilakukan oleh Mugabe
dimasa lalu membawa Zimbawe manjadi bangsa morat-marit, kediktatoran Sadam Husein
di Iraq menciptakan Iraq baru sebagai negeri 1001 konflik. Dan pada akhir
tulisan ini kita bertanya, kemanakah arah yang akan ditunjukan oleh Presiden
Joko Widodo untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini??
-Biarlah nanti sejarah yang
menjawabnya.....(Bang Zul)
0 comments: