ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH GUNA
MEMPERKUAT NKRI
Zulfikri Armada S.IP
Berdasarkan beberapa teori modern, ada dua bentuk negara
modern yang menjadi corak umum yang dipakai diberbagai belahan dunia, yang
pertama ialah Negara Serikat atau Federasi dan selanjutnya ialah Negara
Kesatuan atau Unitarisme. Kesadaran bahwa Indonesia ialah sebuah negara besar
yang dibangun atas berbagai keberagaman (heterogenitas) baik dari aspek
geografis, demograis dan kulutral, oleh para pendiri bangsa dibangun sebagai
sebuah Negara Kesatuan (Unitary State), sehingga lahirlah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Negara Kesatuan (Unitary State) ialah bentuk Negara dimana wewenang
legislasi tertinggi dipusatkan pada satu badan legislatif nasional pusat. Azas
yang mendasari Negara kesatuan ialah azas unitarisme, yang dirumuskan oleh
Dicey sebagai “..The habitual exercise of supreme legislative authorIty by one
central power”[2]..
Negara kesatuan ialah suatu negara yang merdeka dan berdaulat dimana seluruh
negara yang berkuasa hanyalah satu pemerintah (Pusat) yang mengatur seluruh
daerah. Negara Kesatuan dapat dibedakan kedalam 2 bentuk:
1.
Negara Kesatuan dengan sistem sentralisasi.
2.
Negara Kesatuan dengan sistem desentralisasi.
Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah Negara Kesatuan dengan sistem desentralisasi. Perlu difahami
bahwa meskipun Pemerintah Daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) dengan asas
desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, Pemerintah Pusat tetap
mempunyai hak untuk mengawasi Daerah-Daerah Otonom tersebut. Dikarenakan
wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri tersebut merupakan pelimpahan
dari Pemerintah Pusat dan juga dikarenakan tanggung jawab tertinggi
penyelenggaraan negara terletak ditangan Presiden.
Urusan pemerintah
dibidang Hankam; Moneter dan Fiskal
Nasional; Yustisi dan Politik Luar Negeri menjadi domain mutlak Pemerintah
Pusat (urusan absolut). Selebihnya, menjadi domain Pemerintah Daerah, yang
dibagi menjadi urusan wajib dan urusan pilihan (urusan konkuren). Dengan penyerahan
kewenangan-kewenangan urusan-urusan tertentu menjadi urusan rumah tangga Daerah
oleh Pemerintah Pusat, maka terjadilah hubungan kewenangan. Untuk keperluan
tersebut, kepada Daerah-Daerah Otonom diberikan sumber-sumber pendapatan
tertentu oleh Pemerintah Pusat. Dengan demikian terjadilah hubungan keuangan
antara keduanya. Agar supaya urusan-urusan yang diserahkan dapat
diselenggarakan sesuai dengan tujuannya dalam arti sesuai dengan tujuan
penyerahan urusan-urusan tersebut yaitu membantu tercapainya tujuan Negara,
maka perlu diadakan pengawasan oleh Pemerintah Pusat terhadap Daerah-Daerah
Otonom tersebut. Pengawasan ini sangat penting sebab bagaimanapun juga tanggung
jawab terakhir dalam penyelenggaraan pemerintah seluruhnya berada di pundak
Pemerintah Pusat, sesuai dengan hakikat dari Negara Kesatuan.
Beberpa isu penting yang
menjadi sorotan terkait tentang harmonisasi pembangunan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah ialah terkait tentang Perencanaan dan Pengawasan. Dalam konteks
perencanaan pembangunan di Indonesia, dengan adanya desentralisasi kewenangan
urusan pemerintahan pada saat ini, Pemda diberikan kewenangan untuk menyusun
dokumen perencanaan pembanganunan yang sesuai dengan kebutuhan riil di
tiap-tiap daerah otonom. Akan tetapi yang harus difahami adalah, proses
perencaan pembanguanan tersebut tetap harus sinkron dengan perencanaan
pembangunan nasional.
Berdasarkan konsep
pembangunan nasional, perencanaan daerah dan penganggaran daerah merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari (proses) manajemen strategis, dimana dalam
proses formalnya diawali oleh penyusunan rencana strategis (renstra).
Dengan demikian, dalam aplikasinya di sektor publik, penganggaran daerah (juga)
dikaitkan dengan renstra daerah. Dalam khazanah tata urutan konstitusi, “renstra
daerah”, merupakan bagian dari “renstra nasional” untuk memenuhi tujuan-tujuan
strategis dan tujuan nasional/negara sebagaimana tertuang dalam UUD 1945[3].
Permalasalahan
yang terjadi adalah realitas dilapangan berkata sebaliknya. akibat sistem
pemilu kita yang tidak terjadwal dengan baik, terjadi disharmonisasi
perencanaan pembangunan tingkat pusat-daerah. Hal ini merupakan imbas dari
perbedaan periodesasi masa jabatan kepemimpinan politik antara pimpinan
eksekutif di pusat dan di daerah yang berbeda-beda[4].
Oleh karena itu Pemerintah melakukan beberapa langkah perbaikan dengan mulai
mendesai sistem Pilkada serentak di Indonesia.
Selanjutnya
mengenai pengawasan, berkacara dari implementasi UU No.32 Tahun 2004 tentang
pemerintah daerah yang pada perjalanannya belum dapat mengatur sistem
pengawasan yang baik antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka pada UU No.23
Tahun 2014 Jo. UU No.2 Tahun 2015 kita berupaya menghadirkan sistem pangawasan
yang lebih baik lagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, antara
lain:
1.
Hubungan Presiden dengan Gubernur dan
Bupati/Walikota serta
hubungan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dengan Bupati/Walikota
bersifat hierarkis
2.
Pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur secara jelas dengan berbagai
instrumen seperti evaluasi, klarifikasi, persetujuan, dan bentuk lainnya;
3.
Diatur sanksi bagi penyelenggara pemerintahan
daerah yang melanggar aspek-aspek kritis dan penting yang mempengaruhi
keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan;
4.
Kewenangan pembinaan oleh kementerian/LPNK yang
urusannya diotonomikan diperjelas berupa pengawasan teknis, sedangkan
pengawasan umum dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri
5.
Peran Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
dipertegas dan diperkuat dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
kabupaten/kota di wilayahnya. (diberi perangkat dan dibiayai APBN).
Membangun hubungan yang
harmonis antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan sebuah keniscayaan yang
harus kita lakukan oleh sebuah Negara Kesatuan dengan sistem desentralisasi
seperti Indonesia. Dengan penataan hubungan yang baik, maka akan lebih mudah
meningkatkan efektivitas pemerintahan dan tercapainya demokrasi di/dari bawah
(grass roots democracy), yang kesemuanya itu muaranya ialah kesejahteraan
masyarakat
.
[2] C.F.Strong, Modern
Political Institution to the Comparative Study of Their History and Existing
Form, Sidgwich and Jackson, London, 1960, hal.99
[3] Dijelaskan oleh Sony Yuwono dkk, dalam
buku memahami APBD dan Permasalahannya (Panduan Pengelolaan Keuangan Daerah)
[4] Semisal Presiden RPJM Nasional tahun 2015-2019, sedangkan satu daerah yang baru selesai melaksanakan
Pilkada tahun 2018 akan menyusun RPJMD
2018-2022 yang berbeda pula dan tidak
mengakomodir keberlanjutan perncanaan pembangunan yang telah ditetapkan oleh
kepala daerah periode sebelumnya, hal ini menciptakan missing link antara perencanaan pembangunan
nasional dan daerah.
0 comments: