Perkembangan Otonomi Daerah dan Pemekaran Daerah Pasca Reformasi di Indonesia

Perkembangan Otonomi Daerah dan Pemekaran Daerah
Pasca Reformasi di Indonesia
Zulfikri Armada, S.IP

Pasca terjadinya social and political turbulance pada tahun 1998 yang ditandai dengan berakhirnya rezim orde baru, terjadi banyak perubahan yang cukup dinamis dan signifikan dibawah semangat gerakan reformasi. Salah satu diantaranya ialah perubahan paradigma pengelolaan kekuasaan pemerintahan, yang pada awalnya lokus kewenagannya lebih dominan berada pada pemerintah pusat (sentralistik) kini kewenangan tersebut mengalir kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota (desentralistik) yang kemudian kita kenal dengan konsep otonomi daerah.      

Berbicara mengenai Otonomi daerah, maka kita tidak dapa memisahkannya dengan penataan/pembagian kewenangan,  lebih lanjut pemaknaan dari kewenangan tentu tidak dapat dilepaskan dari konsep kekuasaan. Salah satu bentuk dari kekuasaan adalah kewenangan. Namun keduanya memiliki perbedaan pada dimensi keabsahan (legitimasi), kewenangan adalah kekuasaan yang memiliki keabsahan (legitimate power)[2]. Oleh karena itu pembahasan tentang perkembangan otonomi daerah di Indonesia tidak bisa lepas dari Peraturan perundangan-undangan yang menjadi landasan pelaksanaanya.

Dalam UUD 1945 Pasal 17 dan Pasal 18, istilah baku yang dipakai adalah “urusan pemerintahan” bukan ”kewenangan”. Pemerintah Daerah, baik Provinsi, Kabupaten/Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi (desentralisasi dan dekonsentrasi) dan tugas pembantuan. Urusan pemerintah dibidang  Hankam; Moneter dan Fiskal Nasional; Yusitisi dan Politik Luar Negeri menjadi domain mutlak Pemerintah Pusat (urusan absolut). Selebihnya, menjadi domain Pemerintah Daerah, yang dibagi menjadi urusan wajib dan urusan pilihan (urusan konkuren).

Desentralisasi merupakan bentuk relasi pusat dan daerah dalam kerangka negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, seluruh bagian negara dikelola oleh pemerintah pusat. Karena luas wilayah dan karakter daerah yang luas, disamping keterbatasan pemerintah pusat untuk menangani seluruh urusan pemerintahan yang menjamin pelayanan publik, maka beberapa urusan diserahkan ke pemerintahan daerah. Hal ini berbeda dengan bentuk federal dimana bagian dari negara federal pada dasarnya adalah negara-negara bagian yang menyatu menjadi satu negara. Urusan yang tidak bisa dilakukan negara bagian, misalnya yang menyangkut hubungan lintas negara bagian, diserahkan ke pemerintah federal. Jika pada negara kesatuan kewenangan yang diberikan ke daerah merupakan pemberian pemerintah pusat, dalam negara federal urusan pemerintah federal disepakati diantara negara-negara bagian

Otonomi Daerah dimaksudkan untuk mempercepat pemerataan ekonomi, demokratisasi ditingkat lokal, peningkatan pelayanan publik, mendorong pemberdayaan masyarkat, dan menumbuhkan prakarsa serta kreatifitas dan peran serta masyarakat dalam pembangunan. Konsep otonomi di Indonesia berbeda dengan konsep otonomi yang diterapkan diberbagai negara. Jika otonomi di negara lain bercorak simetris (seragam), Di Indonesia, otonomi daerah diterapkan secara asimetris (tidak seragam). Desentralisasi asimetris adalah bentuk pelimpahan kewenangan khusus yang hanya diberikan kepada daerah-daerah tertentu. Dalam penelitian yang dilakukan oleh JPP Fisipol UGM (JPP-UGM 2010) menunjukkan setidaknya terdapat lima alasan mengapa desentralisasi asimetris harus dilakukan di Indonesia[3], antara lain:

1.    Sebagai affirmative action untuk menyelesaikan permasalahan konflik dan tuntutan separatisme. (Aceh, Papua, Papua Barat)
2.    Alasan Sebagai Ibukota Negara. (DKI Jakarta)
3.    Alasan Sejarah dan Budaya. (DI.Yogyakarta)
4.    Alasan Perbatasan. (Belum diterapkan)
5.    Pusat pengembangan ekonomi. (Belum diterapkan)

            Pasaca revisi UU No.32 Tahun 2004, perkembangan otonomi daerah di Indonesia terbagi kedalam 3 hal pokok, antara lain mengenai Pemerintahan Daerah (UU No.23 Tahun 2014); Desa (UU No.6 Tahun 2014) dan Pemilukada (UU No.1 2015 Jo.UU No.8 Tahun 2015). Sedangkan mengenai pemekaran daerah hanyalah bagian dari pengaturan di rezim UU Pemerintahan Daerah.

Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah memiliki perbedaan persepsi terhadap maksud dan tujuan serta proses pemekaran daerah. Pemerintah pusat, ketika merumuskan PP 129/2000 berkeinginan untuk mencari daerah otonom baru yang memang dapat berdiri sendiri dan mandiri. Oleh karena itu disusunlah seperangkat indikator yang pada hakekatnya berupaya mengidentifikasi kemampuan calon daerah otonom baru. Namun dari sisi lain, pemerintah daerah memiliki pandangan yang berbeda, Pemda melihat pemekaran daerah sebagai upaya untuk secara cepat keluar dari kondisi keterpurukan ekonomi.

Namun pada kenyataannya daera otonom baru (DOB) ternyata tidak berada dalam kondisi awal yang lebih baik dibandingkan daerah induk atau daerah kontrolnya. Bahkan evaluasi setelah lima tahun perjalanannya, DOB secara umum masih tertinggal dibanding daerah induknya, baik dalam aspek kinerja perekonomian daerah, kinerja keuangan pemerintah daerah, kinerja pelayanan publik, kinerja aparatur pemerintah daerah[4].

            Agar kedepan pemekaran daerah benar-benar diputuskan dengan matang dan dapat memberikan manfaat keada masyarakat, maka dirumuskanlah pengaturan baru tentang mekanisme pemekaran daerah dalam UU No.23 Tahun 2014, poin perbaikannya antara lain:

  1. Usulan pemekaran dari masyarakat dapat disampaikan kepada DPR, DPD atau Pemerintah, namun pembentukannya hanya melalui Pemerintah;
  2. Daerah tidak langsung diberi status daerah otonom, namun terlebih dahulu menjadi daerah persiapan selama 3 tahun. (dengan PP)
  3. Terdapat syarat dasar mutlak yaitu luas wilayah minimal dan jumlah penduduk minimal.
  4. Pembentukan daerah tidak hanya berdasarakn usulan dari daerah, tetap juga dapat atas pertimbangan kepentingan strategis nasional. (Top-down)

Perubahan peraturan terakit Otonomi Daerah ini terjadi akibat dari evaluasi dari implemetasi UU No.32 Tahun 2004 yang belum mencapai format ideal. Beberapa permasalahan yang terjadi seperti: lemahnya konsep/aturan tentang pilkada langsung; ketidakjelasan dalam pembagian urusan pemerintahan; Belum jelasnya posisi Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat; Lemahnya kapasitas kelembagaan dam pelaku/aktor Otonomi Daerah; Kurang Intensifnya pembimbingan, pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah, dan; Kultur birokrasi dan aparatur di daerah yang masih belum maksimal. Diharapkan dengan perbaikan regulasi terkait pengaturan otonomi daerah di Indonesia dapat menjadi aras perubahan bagi penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik, yang dapat memberikan kesejahteraan dan keadilan kepada seluruh rakyat Indonesia.



[2] Lihat Ramlan Surbakti, memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT.Gramedia, 1992, hal.57
[3] JPP-UGM (2010). Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi. Yogyakarta, Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM.
[4] Baca  hasil Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007 (2008) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bekerja Sama Dengan United Nations Development Programme (UNDP)

0 comments: