Prahara Friendzone dan Instabilitas Nilai Tukar Rupiah

Zulfikri Armada, S.IP

          Beberapa pekan terakhir publik dalam negeri mulai resah dengan pergerakan mata uang rupiah yang secara bertahap terus terdepresiasi terhadap dollar amerika, bahkan minggu ini sejak tahun 1998 untuk pertama kalinya nilai tukar rupiah terhadap dollar jatuh hingga ke titik Rp14.000,-. Lantas pertanyaan yang mengemuka adalah, apa penyebab hal ini terjadi? Siapa yang harus bertanggung jawab dan bagaimana penyelesaiannya?. Tulisan berikut mencoba untuk sedikit (saya ulangi lagi: sedikit) mencari jawaban dari beberapa pertanyaan diatas.

          Pelemahan rupiah terhadap dolar menjadi komoditi yang laku diperjual belikan di media masa kita beberapa pekan terakhir, sering kali beberapa talkshow maupun diskusi publik yang diadakan menjadi sekedar alat penyalur syahwat dan fantasi sekolompok orang untuk saling menyalahkan. Bagi oposisi, isu ini dijadikan amunisi untuk memojokan buruknya kinerja pemerintahan Jokowi-JK, ada pula yang berpendapat ini buah dari kegagalan pemerintahan SBY yang tidak dapat menata fundamental ekonomi negara kita dengan benar. Dan bagi sekelompok penikmat fantasi, ini adalah kesempatan baik unuk mengatakan bahwa “ini adalah konspirasi wahyudi, mamarika dan remason, titik!”. Dan ketiga meinstream diatas tampaknya tidak ada yang salah, karena ekonomi itu sendiri adalah ilmu sosial yang scientific, kuantitatif, terukur, tetapi disisi lain juga melibatkan fantasi, spekulasi dan kelabilan.

          Untuk tidak memperpanjang mukadimah mari kita bahas pertanyaan pertama: apa penyebab rupiah melemah terhadap dolar? Jawabannya:  “Friendzone”. Alkisah begini, pada tahun 2008 Amerika mengalami resesi ekonomi terburuk sejak 1930, perekonomian melambat dan imabasnya cukup mengguncang hampir separuh belahan Bumi. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut maka digagaslah format stimulus fiskal oleh Alan Greenspan berupa Quantitative Easing (QE) guna merangsang ekonomi US. Caranya adalah, The Federal Reserve/The Fed (Bank sentral US) menggelontorkan dollar untuk membeli obligasi (surat hutang) US, dengan harapan dollar tersebut dapat mengucur dan bisa digunakan oleh perusahaan dan untuk keperluan lainnya. Lebih lanjut dollar yang melimpah tersebut juga mengalir deras ke negara-negara berkembang seperti Indonesia, Brazil, Vietnam, dll. Sesuai denga hukum suply/demand ketika suply (penawaran) suatu barang meningkat maka harganya akan menurun. Periode 2009-2012 mata uang negara berkembang terapresiasi terhadap USD. Malangnya mayoritas dollar tersebut datang bukan dalam bentuk foreign direct investment (investasi pada aset riil), tetapi lebih kedalam bentuk portofolio investment  (investasi pada aset finasial: pasar uang dan pasar modal) yang sifatnya sangat labil dan mudah berpaling hati.

          Pada tahun 2013 Perekonomian mulai membaik, ternyata 4 Triliyun USD yang disuntikan dalam program QE itu mujarab juga. Dan akhirnya US melakukan tapering off atas usulan om Bernanke, stimulus pembelian obligasi dikurangi secara bertahap. Walhasil sang dollar yang parkir di Indonesia dalam bentuk portofolio investment pun hanya singgah sesaat dan kembali kepujaan hatinya negeri Paman Sam (sial betul…)  Ditambah lagi dengan spekulasi The Fed akan menaikan suku bunganya pada september nanti, maka USD yang beredar semakin turun, padahal permintaannya tetap dan implikasinya nilai USD akan semakin naik (hukum suply/demand)  dan akhirnya rupiah kembali loyo secara bertahap. Dan pada saat inilah Pemerintah Indonesia baru sadar bahwa kita kena friendzone, perihnya lagi yang kena PHP-pun bukan cuma Indonesia, tetapi lusinan negara berkembang lainnya.  Mengapa “wanita” satu ini begitu digdaya? Karena 20% produksi barang dan jasa dunia di produksi di Amerika, dan secara de facto USD dipakai dalam transaksi internasional antar negara, Ia adalah perpaduan Raissa dan Oki Setiana Dewi. Oleh karena itu rumor-rumor kecil di The Fed dan seputar kebijakan ekonomi Amerika bisa membuat lusinan negara berkembang "Baper" dan tak bisa tidur siang dan malam..

          Lantas apakah ini semua salah Amerika, tentu saja banyak faktor lain, saya hanya mencoba menyederhanakan saja, Mulai dari suasana geopolitik global, harga minyak dunia, perlambatan ekonomi China, manuver pelemahan Yuan, hingga konsistensi anggota Platos Institute seperti: Ketut WahyuAhmad Oktabri, Laode Buzyali, Laode Syarif dan Hardiyanto Rahman yang selalu abu-abu kelabu dalam urusan asmara, semakin  membuat situasi kian pelik. Belum lagi dari segi internal fundamental ekonomi kita kurang baik. Negara kita tipikal jomblo yang kurang instropeksi diri, mengapa saya kata demikian, karena pertama, pola pembangunan kita dari zaman dahulu  fokus ke industri ekstraktif, sehingga kita bergatung kepada komoditas, tumpuan ekspor kita berada pada barang tambang dan tanaman perkebunan (migas, karet, kelapa sawit, dsb) yang sangat volatile terhadap kondisi ekonomi negara tujuan eksportnya, ekspor dengan basis SDM yang bernilai tambah tinggi (industri teknologi/manufaktur) yang cenderung tidak terlalu sensitif dengan pelemahan China dan Amerika justru belum tergarap dengan baik. Dan juga dari aspek impor, hampir 90% impor Indonesia adalah bahan baku dan bahan modal yang digunakan oleh industri manufaktur dalam negeri untuk meproduksi barang jadi untuk diekspor, inilah yang membuat pelemahan nilai rupiah tidak mendongkrak daya saing ekpor kita, tetapi justru sebaliknya jusru membebani biaya produksi karena komoditas bahan bakunya berasal dari impor. 

         Jadi ini salah siapa? Ya salah kita (baca: Pemerintah), selain karena fundamental ekonomi yang rapuh, negeri kita terkenal memiliki kepastian hukum yang rendah, sehingga orang takut untuk menaruh kapitalnya dalam bentuk foreign direct investment di negeri ini, karena penuh resiko. Lantas bagaimana solusinya? Dalam jangka pendek Pemerintah telah mengeluarkan 10 (Sepuluh) paket kebijakan, yaitu:
1.     Penguatan pembiayaan ekspor melalui National Interest Account.
2.     Penetapan harga gas untuk industri tertentu di dalam negeri.
3.     Kebijakan pengembangan kawasan industri.
4.     Kebijakan memperkuat fungsi ekonomi koperasi.
5.     Kebijakan simplifikasi perizinan perdagangan.
6.     Kebijakan simplifikasi visa kunjungan dan aturan pariwisata.
7.     Kebijakan elpiji untuk nelayan.
8.     Stabilitas harga komoditas pangan, khususnya sapi.
9.     Melindungi masyarakat berpendapatan rendah dan menggerakan ekonomi pedesaan.
10.   Pemberian Raskin atau Beras Kesejahteraan untuk bulan ke-13 dan ke-14.
Threatment ini diharap dapat menahan depresiasi rupiah terhadap USD. Namun perlu diingat dalam jangka panjang kita benar-benar harus memperbaiki fundamental ekonomi negara ini, dan hal tersebut tentu saja membutuhkan political will yang kuat dan kerja keras yang berkesinambugan.

        Pada akhirya kita semua harus mangut-mangut dan setuju bahwa sama halnya seperti cinta,  Perekonomian yang stabil dan maju bisa tercapai jika kita mampu melakukan pembenahan internal yang dapat memperbaiki daya tawar kita dalam percaturan perekonomian global yang begitu dinamis. Pantaskanlah dirimu agar mampu mendapatkan cinta yang berkualitas,  Demikian lah kira-kira.

Sekian, ayo kerja! 

0 comments: