BEN MBOI DAN SEMANGAT BESAR KEMANDIRIAN BANGSA

BEN MBOI DAN SEMANGAT BESAR KEMANDIRIAN BANGSA

Zulfikri Armada


Le tragedie de la vie n’est pas la mort, mais ce que nous laissons mourir en nous pendant notre vie- (Norman Cousins).
Sajak diatas kurang lebih berarti seperti ini “Tragedi kehidupan bukanlan kematian, melainkan sesuatu yang kita biarkan mati dalam diri kita selama hidup kita”. Walaupun telah wafat dan dimakamkan pada Juni 2015 lalu Ben Mboi akan terus hidup ditengah-tengah kita semua melalui kumpulan gagasan, harapan dan karya nyata yang salah satunya dapat kita selami melalui sebuah buku yang akan dilucurkan pada hari ini, “Ben Mboi, Percikan Pemikiran Menuju Kemandirian bangsa”. Buku ini mengajak kita mengenal, lebih dekat dan akrab dengan seorang Ben Mboi, melalui gagasan, pemikiran dan cintanya yang begitu besar dalam mengemban tugas segai Gubernur NTT yang ke-3. Dalam buku ini Ben Mboi berhasil meramu dengan apik pengalaman empiriknya selama dilapangan serta pengayaan konsep dan gagasan teoritik yang ia kembangkan kemudian.
Semasa hidupnya, Brigjen TNI dr. (Purn.) Ben Mboi, MPH, Gubernur provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) periode 1978-1988 itu mengakui bahwa dirinya masih terus-menerus belajar pada provinsi NTT. Beliau belajar dari seluruh dinamika dan aspek kehidupan provinsi NTT yang dia telah pimpin selama dua periode tersebut. Baginya NTT adalah sebuah Universitas tempat menggali ilmu,  dengan professor terpintar yangg bernama “Homo Flobamorensis”. kendati sudah tidak lagi memimpin NTT, Kegiatan belajar di Universitas NTT terus dilakukan sepanjang hidupnya karena dia merasa belum tamat atau lulus.
Dahulu, saat memberikan opini mengenai provinsi NTT.Kesan yang pertama kali muncul adalah “masyarakatnya miskin, bodoh, sering terjadi busung lapar, tanahnya tandus, dan rawan pangan.” Hal itu juga diakui Ben Mboi. Oleh karena itu,  selama masa kepemimpinannya Ben Mboi berusaha dengan tekad keras dan kecerdikan untuk menghilangkan citra rendah publik terhadap NTT. Bahkan, dia berharap agar kesan yang nantinya akan muncul bukan ketertinggalan melainkan keunggulan NTT. Penciptaan keunggulan NTT tentu saja bukan urusan jangka pendek yang dapat diselesaikan secara sederhana dan dalam tempo yang singkat. Menciptakan keunggulan NTT adalah sebuah karya yang “besar” dan “berkelanjutan” yang dipimpin oleh seorang gubernur yang “berhati, berjiwa. Berkemauan, dan berpikiran besar”. Pada titik inilah kita semua harus mengakui kapasitas Ben Mboi tidak sekedar sebagai pemimpin daerah, tetapi beliau adalah negarawan yang patut kita jadikan sebagai sumber mata air keteladanan, yang agaknya mulai langka akhir-akhir ini.
Kepemimpinan Ben Mboi selama 10 tahun di NTT membawa fondasi besar bagi ambisi dan cita-cita luhur untuk mewujudkan masyarakat NTT cukup sandang, pangan, papan, berpendidikan dan memiliki harkat, martabat serta kebanggaan menjadi seorang Indonesia, tak heran beliau begitu getol dalam merintis program diversivikasi pangan,  pemangunan infrastruktur dasar jalan, jembatan, pelabuhan, dsb. Bahkan beliau juga yang memprakarsai berdirinya Pabrik Semen Kupang (PSK). Sebagaimana diketahui kemudian pabrik semen yang diresmikan pada 14 April 1984 pada akhirnya ditutup dan tidak dapat beroprasi lagi. Dalam tulisannya Ben Mboi menyampaikan bahwa kematian pabrik semen itu merupakan sebuah paradoks Paskah. Disaat semua khotbah bicara “kebangkitan” menyangkut kebangkitan Yesus Kristus namun Pabrik Semen Kupang bicara “kematian” dengan kata lain: kebangkrutan.
Ben Mboi menyayangkan kegagalan pemerintah dalam memproteksi perusahaan nasional ketika diperhadapkan dengan pihak swasta yang memliki kapital yang lebih besar, Saya mengutip perkataan Ben Mboi pada buku ini:
semangat juang untuk menghidupkan PSK berhadapan “lingkungan ekonomi” yang “tidak ingin” PSK berhasil. Keberanian politik untuk membela eksistensi PSK sebagai “flag carrier industrialisasi NTT” masuk abad ke XXI, sense of ownership rakyat NTT terhadap PSK; Sense of heritage dan Sense of pride orang NTT melihat PSK sekadar suatu pabrik like any other; tidak sebagai warisan dan kebanggaan, sense of crisis, senses of urgency dan pada akhirnya sense of responsibility para elite NTT.
Dari sini kita memahami bahwa Ben Mboi merupakan representasi dari semangat Nawacita. Dengan kapasitas yang sedemikian rupa, tidak heran rasanya Beliau mendapatkan penghargaan baik dari dalam maupun luar negeri, salah satunya ialah penghargaan bergengsi Ramon Magsaysay Award, atas kemampuan beliau membawa kemajuan pedesaan dan memotivasi hampir tiga juta warga di NTT.
Sebagai seorang yang memiliki latar belakang pendidikan kedokteran Ben Mboi dengan mantap mendiagnosa “penyakit” yang dihadapi oleh daerahnya sembari memberikan treatment yang terukur dan pasti, sebagai seorang prajurit ketuntasan dalam mengemban tugas negara adalah harga mati baginya dan sebagai pamong praja tulen beliau memperlihatkan pengabdian sepenuh hati kepada masyarakat. ketelatenan beliau dalam mengkaji diranah ilmu pemerintahan baik dalam tataran empirik maupun filosofis-teoritik membuat Ben Mboi sebagai salah seorang cendikiawan pemerintahan yang kita punya.
Guna membangun NTT kedepan menurut Bem Mboi, Provinsi NTT membutuhkan empat jenis manusia yang mau mengatasi permasalahan NTT saat ini dan nanti. Dan pada kesempatan ini saya juga bersepakat dengan Almarhum bahwa Keempat jenis manusia ini tidak hanya dibutuhkan oleh NTT secara khusus tetapi juga dibutuhkan oleh Negara kita secara umum, keempat jenis generasi Indonesia yang kita butuhkan kedepan, sesuai dengan gagasa Ben Mboi adalah:
1.  Orang-orang yang bersedia memimpin Indonesia serta berani menerima resiko kepemimpinan.
2.  Orang-orang yang mampu dan mau menyumbangkan pikiran-pikiran bernas dan dapat diterapkan masyarakat Indonesia
3.  Orang-orang yang mau menanamkan uangnya bagi masyarakat Indonesia, membawa nilai tambah kualitas hidup masyarakat Indonesia, bukan saja berdagang hasil keringat masyarakat Indonesia.
4.  Masyarakat Indonesia yang mengejar kesejahteraannya sendiri dengan keringatnya sendiri, dengan kerjasama dalam solidaritas sosial, mengikuti petunjuk-petunjuk pemerintahnya, dan masyarakat yang bersedia berkorban dalam suatu perjalanan panjang kehidupan berbangsa.
Ben Mboi juga konsen terhadap dinamika penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, menurut Ben Mboi teori desentralisasi yang akan datang sebaiknya memperhatikan kondisi particular (khusus) setempat. Teori organisasi di Indonesia haruslah berorientasi pada kebutuhan khusus, pada aspek fisik, geografis, sosial, kultural, ekonomi, dan ekosistem. Secara garis besar dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: desentralisasi politik atau territorial tidak berhimpitan dengan desentralisasi fungsional, dengan kata lain pertimbangan-pertimbangan teknis fungsional tidak otomatis dapat selaras dengan pertimbangan-pertimbangan politik, demi efektifitas dan efesiensi pelayanan.
Kemudian Ben Moi juga menaruh perhatian pada pembangunan kawasan utamanya pada kawasan Indonesia Bagian Timur. Ben Mboi menjelaskan, membangun kawasan IBT membutuhkan peran pemimpin, dalam hal ini gubernur, bupati juga walikota pada kawasan tersebut. Tentu pemimpin yang memahami kterampilan serta ilmu kepemimpinan (leadership).Dia menambahkan kepemimpinan berperan penting dalam meningkatkan daya guna aparatur lewat peningkatan etos kerja, semangat menjalankan misi, semangat pengabdian, rasa tanggung jawab dan keberanian berkorban. Lebih lanjut, mengingat situsasi dan kondisi struktur makro IBT adalah “kondisi insuler” (kepulauan) yang khas, secara fisik kepulauan atau kantung-kantung permukiman terpencil di pulau-pulau besar. Struktur makro yang lain adalah hakikat agraris dari struktur ekonomi masyarakat IBT, oleh karena itulah pada UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah daerah Provinsi yang Bercirikan Kepulauan, diberikan wewenang asimetris dalam mengelola sumber daya alam di lautnya..
Melihat dari kacamata Pamong Praja, Ben Mboi menjelaskan tentan apa itu konsep daya guna (efisiensi) dan hasil guna (efektivitas). Daya guna merupakan perbandingan input terhadap output. Input dalam pandangan pemerintahan adalah partisipasi dari masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan atau partisipasi masyarakat. Efisiensi tinggi atau rendah ditentukan oleh tingkat partisipasi.Begitu pula dengan hasil guna.Efetivitas tinggi atau rendah apabila pemanfaatan oleh masyarakat tinggi atau rendah.Mengingat pertama, tujuan keberadaan (eksistensi) pemerintahan itu adalah dari, oleh dan untuk masyarakat, bukan untuk pemerintahan itu sendiri. Masyarakat selalu sebagai denominator, daya guna, maupun hasil guna. Kedua, pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa) disiptakan untuk memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan. Pemerintahan disebut baik apabila kefektifan ini sebaga dasar legitimasinya, selain cara pengangkatannya. Makin tinggi efektivitas, makin tinggi legitimasi suatu pemerintahan; dan sebaliknya. Legitimasi dan kredibilitas tinggi akan membuat kepercayaan masyarakat juga tinggi.
Akhirnya, apa yang ditulis Ben Mboi dalam buku ini bukan sekedar pemaparan kesuksesan beliau ketika menjabat Gubernur NTT (1978-1988), tetapi lebih dari itu, dari buku ini kita dapat melihat kecintaan Ben Mboi yang mendalam kepada NTT, alih-alih merasa memimpin, Ben Mbi dengan rendah hati justru mengatakan bahwa ia justru yang lebih banyak dari homo flobamorensi, masyarakat NTT. Disisi lain buku ini mampu menghanyutkan pembaca dalam alur pemikiran Ben Mboi yang brilian dan tersaji dengan lugas. Konsep-konsep yang berhasil dijalankannya seperti Dana Kesehatan Masyarakat, (program Asuransi bagi masyarakat miskin pedesaan). Operasi Nusa Makmur, Operasi Nusa Hijau dan Panca Warsa Benah Desa dapat memberikan inspirasi dan semangat bagi pembaca, utamanya penyelenggara pemerintahan daerah. Oleh karena itu, buku ini selayaknya memang pantas menjadi bahan rujukan dan pedoman bagi para Kepala Daerah, seperti Gubernur, Bupati/Walikota dan para pemangku kepentingan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta seluruh generasi muda yang ingin memahami tentang apa itu kepemimpinan.





0 comments: